KKAI minta pemerintah hargai kebebasan berpendapat, jangan sanksi mahasiswa yang berunjuk rasa
Jakarta, (ANTARA) - Koordinator Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) Dr Herlambang P Wiratraman meminta Pemerintah untuk menghargai kebebasan berpendapat dengan tidak memberikan sanksi pada mahasiswa yang berunjuk rasa.
"Mahasiswa dan juga akademisi di kampus memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat, berkumpul dan aksi sebagai bagian dari upaya mengembangkan tradisi berpikir kritis di kampus. Untuk itu kami minta Pemerintah menghargainya," ujar Herlambang dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Tradisi berpikir kritis merupakan upaya pengembangan pengetahuan ilmu dan teknologi, yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 8 dan 9, bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi.
"Ancaman sanksi yang dinyatakan Menristekdikti terhadap rektor, bertentangan dengan prinsip-prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik (2017), khususnya prinsip pertama yang mana kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik, dan prinsip kelima, otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik."
Menurut di, langkah meredam aksi mahasiswa atau kampus, merupakan bentuk tekanan politik birokrasi yang mirip dengan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang dilakukan Orde Baru.
Ia juga mendorong inisiatif semua pihak, terutama seluruh jajaran rektor di perguruan tinggi mendukung prinsip kebebasan akademik dan kehidupan demokrasi di kampus.
Sebelumnya, Menristekdikti Mohamad Nasir meminta rektor untuk tidak mengerahkan mahasiswa untuk aksi demonstrasi. Pihaknya akan memberikan sanksi pada rektor yang melakukan hal itu. (*)
"Mahasiswa dan juga akademisi di kampus memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat, berkumpul dan aksi sebagai bagian dari upaya mengembangkan tradisi berpikir kritis di kampus. Untuk itu kami minta Pemerintah menghargainya," ujar Herlambang dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Tradisi berpikir kritis merupakan upaya pengembangan pengetahuan ilmu dan teknologi, yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 8 dan 9, bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi.
"Ancaman sanksi yang dinyatakan Menristekdikti terhadap rektor, bertentangan dengan prinsip-prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik (2017), khususnya prinsip pertama yang mana kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik, dan prinsip kelima, otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik."
Menurut di, langkah meredam aksi mahasiswa atau kampus, merupakan bentuk tekanan politik birokrasi yang mirip dengan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang dilakukan Orde Baru.
Ia juga mendorong inisiatif semua pihak, terutama seluruh jajaran rektor di perguruan tinggi mendukung prinsip kebebasan akademik dan kehidupan demokrasi di kampus.
Sebelumnya, Menristekdikti Mohamad Nasir meminta rektor untuk tidak mengerahkan mahasiswa untuk aksi demonstrasi. Pihaknya akan memberikan sanksi pada rektor yang melakukan hal itu. (*)