Habibie dan "Kesetiaan" pasangan kepala daerah
Padang, (ANTARA) - "Ragamu di Taman Pahlawan bersama pahlawan lainnya. Jiwa, roh, batin dan nuranimu menyatu denganku. Di mana ada Ainun ada Habibie, di mana ada Habibie ada Ainun. Tetap manunggal dan menyatu tak terpisahkan lagi sepanjang masa,".
Begitu sepenggal puisi BJ Habibie untuk sang kekasih hati, Ainun. Puisi untuk memperingati 1000 hari kepergian belahan jiwa. Cinta yang tak pernah mati meski dipisah kematian. Cinta yang melahirkan kesetiaan, yang dengan bahagia menunggu pertemuan di keabadian.
Kisah cinta sang pencipta N250, pesawat anak negeri yang dipaksa mati oleh resesi ekonomi itu, seolah telah jadi legenda. Sumpah janji di hadapan Tuhan menjadi pengikat, erat melebihi kematian.
Habibie dan Ainun menikah 12 Mei 1962 di Rangga Malela, Bandung. Kemudian mengarungi awal-awal bahtera keluarga di Jerman. Seperti keluarga lain, bahtera itu juga dihadang riak dan gelombang. Namun, hingga Ainun berpulang pada 22 Mei 2010, mereka tetap setia pada sumpah dan janji.
Kepergian itu membuat BJ Habibie remuk. Hidupnya serasa pincang. Bagaimana bisa melanjutkan hidup bila sebelah jiwa tidak lagi ada? Namun, akhirnya ia memahami perpisahan itu hanya sebuah fase untuk pertemuan selanjutnya di alam yang berbeda. Itulah yang kemudian menjadi doa, lafaz yang terucap setiap malam.
"Dulu saya takut mati, karena takut meninggalkan Ainun, siapa yang akan menjaga dia kalau saya mati. Tapi sekarang saya tidak takut mati. Karena andai kata saya sakit dan sudah waktunya ke dimensi yang lain, saya tahu yang pertama kali menyambut saya di dimensi yang lain selain ibu saya adalah Ainun. Dia pasti akan berkata "Hey kamu sekarang di sini ya?" begitu katanya pada satu waktu, setelah kepergian Ainun.
Begitu hebatkah cinta hingga kematian pun tak lagi jadi ketakutan, tapi sebuah jalan untuk melepas segala kerinduan?
Pasangan kepala daerah
Begitu benarlah ikatan yang terjalin atas sumpah dan janji itu. Tidakkah begitu pula seharusnya dengan ikatan antara pasangan kepala daerah? Tidakkah ikatan itu juga berdasarkan sumpah dan janji untuk menyejahterakan rakyat? Orang-orang kemudian memberikan hak pilih kepada mereka?
Ikatan itu, meski hanya ikatan politik, seharusnya bisa saling mengisi kekurangan, saling menguatkan kelebihan, sehingga semua janji yang diucapkan saat kampanye kepada konstituen bisa diwujudkan.
Namun, hal kesetiaan itu, pasangan kepala daerah di Indonesia punya rapor merah. Jauh panggang dari api. Nilainya jelek. Amat jelek. Pada 2014, Kementerian dalam Negeri malah mengendus 95 persen pasangan kepala daerah di Indonesia tidak akur setelah dilantik.
Bahkan ada hubungan baik yang hanya bertahan dalam hitungan hari. Ikatan yang seharusnya terjalin untuk lima tahun, 1.825 hari, ternyata hanya bisa akur beberapa hari saja. Setelah itu, dimulailah "perang". Saling jegal, saling menjelekkan, adu pengaruh agar tidak kalah pamor untuk Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) selanjutnya.
Tidak jarang, perang itu tidak hanya sekadar perang pengaruh tetapi benar-benar jadi perang terbuka. Perang mulut. Adu jotos.
Pemerintah kemudian menerbitkan PP Nomor 12 tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan untuk mencoba mengatasi persoalan itu. Bupati dan wakilnya, wali kota dan wakilnya jika "perang", gubernur yang turun tangan melakukan pembinaan. Jika gubernur dan wakilnya, terpaksa Menteri Dalam Negeri jadi juru damai.
Bukan matahari kembar
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berkali-kali mengatakan kewenangan itu terletak pada bupati/wali kota atau gubernur, bukan pada wakilnya. Posisi wakil adalah untuk membantu, bukan menjadi matahari kembar yang bisa menyulut ketidakharmonisan dengan pimpinan.
Lahirnya PP Nomor 12 tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan itu sesungguhnya patut diapresiasi karena harmonisasi pasangan kepala daerah adalah salah satu faktor yang bisa memperbesar kemungkinan seluruh program yang dicanangkan melalui visi dan misi saat kampanye bisa berjalan dengan baik.
Pembangunan bisa berjalan dengan lancar sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan oleh rakyat. Orang yang menjadi konstituen, yang memberikan suara saat Pilkada bermimpi bahwa orang yang dipilihnya dulu, bisa mengubah nasib mereka.
Namun ternyata, setelah aturan itu dikeluarkan, pasangan kepala daerah tidak juga harmonis. Ataukah kepentingan politik itu memang tidak punya kesetiaan yang harus dipertahankan? Apakah kesetiaan politik itu memang hanya sekadar untuk meraih suara terbanyak?
Pecah kongsi
Hal serupa terjadi pula di Sumatera Barat. Tidak sedikit pasangan kepala daerah dari 19 kabupaten dan kota di daerah itu yang "pecah kongsi" setelah dilantik. Bahkan ada yang saling lantik dan pecat pejabat eselon II yang mendukung mereka.
Aksi yang membuat masyarakat menggeleng-gelengkan kepala karena tidak habis pikir itu, memaksa Gubernur Irwan Prayitno membentuk sebuah tim yang bertugas untuk menjaga keharmonisan kepala daerah dan wakilnya. Tim itu dinamakan tim harmonisasi.
Beberapa kepala daerah dan wakilnya yang "perang" diundang, difasilitasi oleh tim harmonisasi untuk dicarikan solusi atas persoalan yang membuat hubungan mereka retak.
Irwan Prayitno paham betul faktor yang menjadi penyebab keretakan pasangan kepala daerah itu, karena pada periode pertama pemerintahannya, ia juga memiliki persoalan serupa. Ia sebagai gubernur "pecah kongsi" dengan Wakil Gubernur waktu itu, Muslim Kasim. Pada akhirnya, dua tokoh tersebut bertemu head to head dalam Pilkada 2015.
Karena itu wajar jika ia berkali-kali menyampaikan, terutama saat pelantikan bupati/wali kota, agar pasangan kepala daerah harus akur. Jangan ada perang dingin di pemerintahan karena tidak akur keduanya. "Wakilnya harus sadar diri, jangan merasa jadi kepala daerah. Sabar tunggu lima tahun lagi," ujarnya.
Ikut andil
Pengaman politik dari Universitas Andalas Dr Asrinaldi menyebut tidak harmonisnya hubungan kepala daerah dan wakilnya muncul karena wakil kepala daerah juga merasakan punya andil besar dan berkontribusi memenangkan pilkada.
Ketika pencalonan diri, wakil kepala daerah juga harus memenuhi kewajiban sebagaimana halnya kepala daerah seperti untuk sumbangan pembiayaan aktivitas partai politik yang mencalonkan untuk pemenangan Pilkada maupun sumbangan lain terkait Pilkada. Karena itu dalam persepsi wakil kepala daerah, mereka punya hak yang sama seperti kepala daerahnya.
Ia mengatakan persoalan itu sebenarnya bisa diatasi dengan kesepakatan dan bagi tugas saat pencalonan. Sayangnya setelah terpilih, kesepakatan itu seringkali tidak dijalankan sehingga terjadi konflik yang tidak jarang tersulut menjadi "perang terbuka" di ruang publik.
Sudah saatnya pasangan kepala daerah itu berguru pada kisah cinta dan kesetiaan BJ Habibie. Apalagi kesetiaan untuk janji politik itu hanya untuk lima tahun saja, tidak seumur hidup seperti sang inspirator, Bacharuddin Jusuf Habibie.
Selamat jalan Eyang, semoga pasangan kepala daerah di Indonesia ini malu padamu. (*)
Begitu sepenggal puisi BJ Habibie untuk sang kekasih hati, Ainun. Puisi untuk memperingati 1000 hari kepergian belahan jiwa. Cinta yang tak pernah mati meski dipisah kematian. Cinta yang melahirkan kesetiaan, yang dengan bahagia menunggu pertemuan di keabadian.
Kisah cinta sang pencipta N250, pesawat anak negeri yang dipaksa mati oleh resesi ekonomi itu, seolah telah jadi legenda. Sumpah janji di hadapan Tuhan menjadi pengikat, erat melebihi kematian.
Habibie dan Ainun menikah 12 Mei 1962 di Rangga Malela, Bandung. Kemudian mengarungi awal-awal bahtera keluarga di Jerman. Seperti keluarga lain, bahtera itu juga dihadang riak dan gelombang. Namun, hingga Ainun berpulang pada 22 Mei 2010, mereka tetap setia pada sumpah dan janji.
Kepergian itu membuat BJ Habibie remuk. Hidupnya serasa pincang. Bagaimana bisa melanjutkan hidup bila sebelah jiwa tidak lagi ada? Namun, akhirnya ia memahami perpisahan itu hanya sebuah fase untuk pertemuan selanjutnya di alam yang berbeda. Itulah yang kemudian menjadi doa, lafaz yang terucap setiap malam.
"Dulu saya takut mati, karena takut meninggalkan Ainun, siapa yang akan menjaga dia kalau saya mati. Tapi sekarang saya tidak takut mati. Karena andai kata saya sakit dan sudah waktunya ke dimensi yang lain, saya tahu yang pertama kali menyambut saya di dimensi yang lain selain ibu saya adalah Ainun. Dia pasti akan berkata "Hey kamu sekarang di sini ya?" begitu katanya pada satu waktu, setelah kepergian Ainun.
Begitu hebatkah cinta hingga kematian pun tak lagi jadi ketakutan, tapi sebuah jalan untuk melepas segala kerinduan?
Pasangan kepala daerah
Begitu benarlah ikatan yang terjalin atas sumpah dan janji itu. Tidakkah begitu pula seharusnya dengan ikatan antara pasangan kepala daerah? Tidakkah ikatan itu juga berdasarkan sumpah dan janji untuk menyejahterakan rakyat? Orang-orang kemudian memberikan hak pilih kepada mereka?
Ikatan itu, meski hanya ikatan politik, seharusnya bisa saling mengisi kekurangan, saling menguatkan kelebihan, sehingga semua janji yang diucapkan saat kampanye kepada konstituen bisa diwujudkan.
Namun, hal kesetiaan itu, pasangan kepala daerah di Indonesia punya rapor merah. Jauh panggang dari api. Nilainya jelek. Amat jelek. Pada 2014, Kementerian dalam Negeri malah mengendus 95 persen pasangan kepala daerah di Indonesia tidak akur setelah dilantik.
Bahkan ada hubungan baik yang hanya bertahan dalam hitungan hari. Ikatan yang seharusnya terjalin untuk lima tahun, 1.825 hari, ternyata hanya bisa akur beberapa hari saja. Setelah itu, dimulailah "perang". Saling jegal, saling menjelekkan, adu pengaruh agar tidak kalah pamor untuk Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) selanjutnya.
Tidak jarang, perang itu tidak hanya sekadar perang pengaruh tetapi benar-benar jadi perang terbuka. Perang mulut. Adu jotos.
Pemerintah kemudian menerbitkan PP Nomor 12 tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan untuk mencoba mengatasi persoalan itu. Bupati dan wakilnya, wali kota dan wakilnya jika "perang", gubernur yang turun tangan melakukan pembinaan. Jika gubernur dan wakilnya, terpaksa Menteri Dalam Negeri jadi juru damai.
Bukan matahari kembar
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berkali-kali mengatakan kewenangan itu terletak pada bupati/wali kota atau gubernur, bukan pada wakilnya. Posisi wakil adalah untuk membantu, bukan menjadi matahari kembar yang bisa menyulut ketidakharmonisan dengan pimpinan.
Lahirnya PP Nomor 12 tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan itu sesungguhnya patut diapresiasi karena harmonisasi pasangan kepala daerah adalah salah satu faktor yang bisa memperbesar kemungkinan seluruh program yang dicanangkan melalui visi dan misi saat kampanye bisa berjalan dengan baik.
Pembangunan bisa berjalan dengan lancar sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan oleh rakyat. Orang yang menjadi konstituen, yang memberikan suara saat Pilkada bermimpi bahwa orang yang dipilihnya dulu, bisa mengubah nasib mereka.
Namun ternyata, setelah aturan itu dikeluarkan, pasangan kepala daerah tidak juga harmonis. Ataukah kepentingan politik itu memang tidak punya kesetiaan yang harus dipertahankan? Apakah kesetiaan politik itu memang hanya sekadar untuk meraih suara terbanyak?
Pecah kongsi
Hal serupa terjadi pula di Sumatera Barat. Tidak sedikit pasangan kepala daerah dari 19 kabupaten dan kota di daerah itu yang "pecah kongsi" setelah dilantik. Bahkan ada yang saling lantik dan pecat pejabat eselon II yang mendukung mereka.
Aksi yang membuat masyarakat menggeleng-gelengkan kepala karena tidak habis pikir itu, memaksa Gubernur Irwan Prayitno membentuk sebuah tim yang bertugas untuk menjaga keharmonisan kepala daerah dan wakilnya. Tim itu dinamakan tim harmonisasi.
Beberapa kepala daerah dan wakilnya yang "perang" diundang, difasilitasi oleh tim harmonisasi untuk dicarikan solusi atas persoalan yang membuat hubungan mereka retak.
Irwan Prayitno paham betul faktor yang menjadi penyebab keretakan pasangan kepala daerah itu, karena pada periode pertama pemerintahannya, ia juga memiliki persoalan serupa. Ia sebagai gubernur "pecah kongsi" dengan Wakil Gubernur waktu itu, Muslim Kasim. Pada akhirnya, dua tokoh tersebut bertemu head to head dalam Pilkada 2015.
Karena itu wajar jika ia berkali-kali menyampaikan, terutama saat pelantikan bupati/wali kota, agar pasangan kepala daerah harus akur. Jangan ada perang dingin di pemerintahan karena tidak akur keduanya. "Wakilnya harus sadar diri, jangan merasa jadi kepala daerah. Sabar tunggu lima tahun lagi," ujarnya.
Ikut andil
Pengaman politik dari Universitas Andalas Dr Asrinaldi menyebut tidak harmonisnya hubungan kepala daerah dan wakilnya muncul karena wakil kepala daerah juga merasakan punya andil besar dan berkontribusi memenangkan pilkada.
Ketika pencalonan diri, wakil kepala daerah juga harus memenuhi kewajiban sebagaimana halnya kepala daerah seperti untuk sumbangan pembiayaan aktivitas partai politik yang mencalonkan untuk pemenangan Pilkada maupun sumbangan lain terkait Pilkada. Karena itu dalam persepsi wakil kepala daerah, mereka punya hak yang sama seperti kepala daerahnya.
Ia mengatakan persoalan itu sebenarnya bisa diatasi dengan kesepakatan dan bagi tugas saat pencalonan. Sayangnya setelah terpilih, kesepakatan itu seringkali tidak dijalankan sehingga terjadi konflik yang tidak jarang tersulut menjadi "perang terbuka" di ruang publik.
Sudah saatnya pasangan kepala daerah itu berguru pada kisah cinta dan kesetiaan BJ Habibie. Apalagi kesetiaan untuk janji politik itu hanya untuk lima tahun saja, tidak seumur hidup seperti sang inspirator, Bacharuddin Jusuf Habibie.
Selamat jalan Eyang, semoga pasangan kepala daerah di Indonesia ini malu padamu. (*)