Padang (ANTARA) - Sosok sastrawan Ali Akbar (AA) Navis yang 100 tahun hari lahirnya ditetapkan UNESCO sebagai perayaan internasional menjadi inspiratif dan berkesan di mata sejumlah penulis dari Sumatera Barat.
Penulis prosa Deddy Arsya mengaku mengenal AA Navis bukan lewat cerpen-cerpen dalam Robohnya Surau Kami, tetapi melalui karya Hujan Panas & Kabut Musim.
"Dua kumpulan yang kemudian disatukan itu, saya pikir, ialah karya Navis yang paling mempengaruhi saya kemudian. Kelompok yang pertama, cemoohan atas berbagai praktik sosial dan politik Orde Lama, yang berikutnya tabiat-tabiat menjengkelkan kekuasaan Orde Baru yang sedang tumbuh masa itu," kata Deddy saat diskusi sastra 100 tahun AA Navis di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat di Padang, Sabtu.
Menurut Deddy, prosa-prosa Navis dalam buku itu merangkai berbagai problematika berlapis dan penuh kritik tajam dan cemooh.
Dalam prosa-prosanya, Navis cekatan memainkan ironi karena itulah kekuatannya.
Selain itu, menurut Deddy, tokoh-tokoh yang ditampilkan kuat secara karakter, dan karikaturis.
"Jadi, tertinggal dalam ingatan. Kadang dia menggunakan dirinya sendiri sebagai tokoh ceritanya. Keunggulan itu, berpengaruh besar bagi saya dalam menulis prosa," katanya.
Sementara itu, cerpenis Zelfeni Wimra mengatakan, estetika bahasa dan etos kepengarangan bisa menjadi refleksi bagi orang-orang yang mengenang 100 tahun kehidupan AA Navis.
Zelfeni mengatakan, menilai logika dan retorika berbahasa A.A. Navis tidak saja hidup dalam cerita dan karya tulisnya yang lain, melainkan juga mengejawantah, menubuh, ke dalam laku bahasa harian sastrawan itu.
Sedangkan etos kepengarangan menjadi hal penting yang perlu dicontoh karena AA Navis yang tidak bisa bernegosiasi dalam hal waktu.
"Dapat dibayangkan, dalam berurusan dengan orang lain saja, beliau sangat disiplin dalam menjaga waktu, belum lagi soal bagaimana ia menjaga kedisiplinannya dalam menulis," kata Zelfeni yang mendapatkan kisah pengalaman dengan AA Navis itu dari senior kampusnya.
Penulis sastra asal Sijunjung Afri Meldam menilai, dengan membaca novel dan cerpen Navis secara mendalam, pembaca bisa melihat persoalan sosial dan moral yang terus berulang.
"Persoalan itu di antaranya rapuhnya fondasi ideologi dan dangkalnya pemahaman serta pengejewantahan makna kesalehan, lunturnya penerapan ajaran adat dalam kehidupan sehari-hari, ‘kecacatan’ cara pandang masyarakat dalam menilai dan memaknai relasi antarmanusia, hingga dominasi dan represi kekuasaan," jelasnya.
Afri mengatakan, pada tataran berbeda, pembaca juga dapat menikmati karya-karya Navis sebagai bacaan yang menggelitik dan romantik.
Karya-karya Navis yang sarat cemoohan namun juga komikal agaknya memang dimaksudkan untuk membuat kita terhibur sekaligus berpikir, katanya. (*)