Berbicara tetang rokok di negeri tidak pernah habis-habisnya, karena rokok sudah masuk dalam pembicaraan segala bidang. Rokok disebut dalam pembicaraan masalah ekonomi, kesehatan, keluarga, budaya dan pendidikan.
Pada setiap pembicaraan rokok tersebut, sulit dipisahkan antara hal-hal yang positif dan hal yang negatif darinya.
Bahkan dalam bidang kesehatan sekalipun, rokok juga dianggap sudah memberikan kontribusi positif. Terlebih ketika ditetapkannya dana cukai rokok sebagai pengganti defisit Keuangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS.
Lalu bagaimanakan semestinya meletakkan rokok diantara kedua sudut pandang tersebut? Benarkah perokok telah berkontribusi positif bagi kesehatan bangsa ?
Kekuatan Ekonomi Rokok
Rokok sudah terbukti berperan dalam perekonomian rakyat, mulai dari petani, buruh yang belerja pada industiy rokok, hingga para pedagang. Keuntungan itu kasat mata dan langsung dapat dilihat.
Begitupun keuntungan langsung bagi negara yang didapatkan dari cukai dan pajak rokok. Pajak dikenakan pada pengusaha rokok sekitar 10 persen dari harga jual rokok pada setiap produksi rokok. Sedangkan cukai, secara perhitungan dibebankan kepada perokok.
Cukai rokok (produk tembakau) saat ini rata-rata 57 persen dari harga jual rokok tersebut, yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.156 tahun 2018, sebagai perubahan PMK No.146 tahun 2017.
Besaran cukai ini secara umum mengalami peningkatan, yang sebelunya hanya secara rata-rata 40 persen, berdasarkan PMK No.179/2012 dan No.198 tahun 2015.
Berdasarkan regulasi penerimaan cukai rokok tersebut, dengan besarnya jumlah perokok di Indonesia, maka dengan sendirinya penerimaan negara dari cukai juga cukup besar. Pada 2016 dan 2017, negara mendapatkan penerimaan cukai rokok sebanyak Rp138 triliun dan Rp148 triliun. Data ini menunjukkan bahwa perokok aktif di Indonesia menghabiskan uang untuk belanja rokok sebesar Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per hari.
Laporan hasil utama Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) oleh Kemenkes menunjukkan jumlah perokok dan konsumsi tembakau 33,8 persen dari semua penduduk berusia diatas 15 tahun pada tahun 2018, dengan proporsi rata-rata 62 persen pada laki-laki dan 4,8 persen pada perempuan. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2018 sebesar 265 juta jiwa, maka ada 64 juta perokok .
Dengan jumlah perokok sebesar 64 juta orang lebih, diestimasi jumlah belanja perokok adalah 962 milyar perhari atau 351 milyar pertahun. Dengan belanja perokok sebanyak ini, tentunya cukai juga semakin besar pula. Hal ini juga terbukti dari laporan pemerintah hingga akhir 2018 mendapatkan penerimaan dari cukai rokok sebesar Rp153 triliun.
Penerimaan negara yang besar dari pajak dan cukai rokok ini dilirik pula untuk membantu biaya kesehatan yang memang sangat besar.
Sebelumnya, melalui PMK No.102 tahun 2015 tentang cara pemungutan dan penyetoran pajak tembakau, sudah mengatur tentang pemanfaatan pajak rokok. Dalam hal ini, pemerintah daerah diwajibkan untuk mengalokasikan 50 persen dari pajak rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan. Begitu juga halnya dalam PMK No.222 tahun 2017 tentang penggunaan, pemantauan, dan evaluasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau, yang menyebutkan bahwa dana bagi hasil cukai tembakau (rokok) bagi pemerintah daerah harus digunakan untuk mendukung Jaminan Kesehatan Nasional, minimal 50 persen.
Lebih kuat lagi, pada Perpres nomor 82 tahun 2018 tentang JKN, juga disebutkan secara jelas bahwa ada alokasi pendanaannya yang langsung dapat dipotong oleh negara dari pembagian pajak untuk daerah sebesar 75 persen (pasal 99-100). Artinya, berdasarkan fakta penerimaan negara yang besar dari rokok dan dukungan regulasi penggunaannya untuk kesehatan, terlihat bahwa industri telah berperan terhadap pembiayaan kesehatan di negeri ini.
Belanja Rokok di Sumbar setara APBD
Belanja perokok di Sumbar juga tidak dapat dibilang kecil. Dengan jumlah penduduk diatas usia 15 tahun sebesar 3,78 juta jiwa, maka terdapat 1,27 juta perokok di provinsi ini pada 2018. Dengan perokok sebesar ini, maka belanja perokok di Sumbar mencapai Rp19 miliar perhari atau Rp6,9 triliun per tahun.
Sangat mencengangkan, angka belanja perokok di Sumbar menyamai APBD Provinsi pada tahun yang sama, yang mana APBD berjumlah Rp6,8 triliun atau Rp7,1 triliun setelah APBD perubahan).
Perokok Menyumbang untuk Kesehatan?
Secara kasat mata, jelas terlihat bahwa cukai dan pajak rokok telah disumbangkan untuk pembiayaan kesehatan.
Namun, pada semua kajian ilmiah, baik penelitian laboratorium dan empiris lapangan, merokok terbukti berisiko terhadap berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke, serta kanker paru.
Zat yang terdapat pada asap rokok terbukti mempercepat terjadinya aterosklerosis atau kekakuan pembuluh darah. Sehingga jika terjadi pada pembuluh arteri kecil pada jantung dan otak dapat terjadi penyumbatan, yang berujung pada serangan jantung atau stroke.
Terlebih lagi, zat-zat berbahaya pada rokok bersifat karsinogen, yang dapat memicu mutasi sel sehingga terjadi pertumbuhan kanker.
Tentu akan banyak dijumpai perokok yang tidak sakit tersebut, atau orang yang sakit bukan perokok. Akan tetapi, kajian ilmiah secara metodologis, risiko perokok bisa 20-100 kali lipat. Itu belum lagi termasuk, penyakit-penyakit lanjutan yang rokok juga sebagai faktor risikonya, seperti katarak, gagal ginjal, diabetes melitus, dan lainnya, yang kesemua penyakit tersebut mennggunakan pembiayaan pengobatan lebih besar secara nasional.
Oleh karena itu, cara pandangnya adalah bukan melihat para perokok telah ikut berperan dalam pelayanan kesehatan. Akan tetapi, "cukai adalah sebagai bentuk denda" bagi pelakunya. Sehingga jikalaupun dikembalikan kepada biaya pengobatan dan kesehatan, intinya lebih besar porsinya kembali kepada komunitas yang sama.
Penulis adalah dosen Kedokteran Komunitas dan Kedokteran Pencegahan, FK-Unand