Saatnya menghadirkan perdebatan politik yang lebih berkualitas

id perdebatan politik

Saatnya menghadirkan perdebatan politik yang lebih berkualitas

Seorang warga menuliskan pesan dan tanda tangan pada papan Pemilu Damai 2019 di Lhokseumawe, Aceh, Minggu (23/9).(ANTARA FOTO/Rahmad/kye/18./)

Meski era reformasi sudah berlangsung cukup lama, namun perilaku politik masyarakat Indonesi, nampaknya belum berkembang sebagaimana mestinya.

Hal itu dapat dilihat dari warna-warni aktivitas politik di ruang-ruang publik akhir-akhir ini. Misalnya, saat ini, pertukaran wacana politik di ruang-ruang publik dipenuhi dengan perdebatan yang kurang bermutu. Orang-orang sibuk membela membabi buta calon yang didukung, daripada berbicara tentang bagaimana harusnya negara ini dikelola.

Gejala demikian terlihat cenderung berlangsung merentang pada hampir semua kalangan. Baik pada golongan elit, maupun masyarakat awam. Baik tua maupun muda. Yang berpendidikan maupun tidak. Hampir semua orang terlibat politik hanya sebatas soal dukung mendukung.

Partisipasi politik warga sebenarnya tidak muncul begitu saja. Pada zaman kerajaan, partisipasi warga dalam pemerintahan sangat terbatas. Karena pada sistem kerajaan, warga hanyaobjek dari penguasa dan kekuasaan. Terkait kekuasaan, mereka hanya bisa tunduk dan patuh terhadap perintah raja atau kerajaan.

Namun, munculnya negara moder yang diselenggarakan berbasis hukum serta prinsip-prinsip demokrasi, memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai macam proses politik. Baik partisipasi secara pasif maupun aktif. Sekadar mendukung dan menjalankan keputusan-keputusan politik atau terlibat di dalam pembuatan keputusan.

Di Indonesia, ada beberapa fase perkembangan partisipasi warga dalam politik tersebut. Yang kesemuanya, memengaruhi partisipasi politik mereka saat ini. Pada masa kolonial, partisipasi politik demikian jelas menjadi hal yang sangat dibatasi. Para penjajah pada waktu itu cenderung untuk membuat keputusan-keputusan sepihak yang menguntungkan mereka.

Namun, sebagai akibat politik etis yang diterapkan Belanda, mulai awal abad kedua puluh, mulai muncul tokoh-tokoh yang menyuarakan tuntutan dan pesan politiknya pada pemerintah kolonial. Suara tersebut semakin hari semakin banyak, sampai akhirnya pada 1928, para pemuda Indonesia secara tegas menyatakan sikap dan pilihan politiknya lewat Sumpah Pemuda.

Selelah itu, para pejuang semakin intensif terlibat dalam aktivitas politik, baik dengan cara bekerja sama maupun tidak bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Tuntutan utamanya adalah Indonesia merdeka hingga pada 1945, Indonesia mencapai kemerdekaan. Peristiwa itu menjadi tonggak penting perubahan tatanan politik di Indonesia sehingga orang Indonesia sendiri mulai memiliki kendali atas keputusan-keputusan politik untuk dirinya sendiri.

Meskipun demikian, masyarakat Indonesia tidak serta merta memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri rumah tangga politik Indonesia. Belanda bersama kroninya berusaha merebut kemerdekaan. Dan baru pada akhir 1959, Indonesia benar-benar lepas dari cengkeraman kekuatan kolonial.

Setelah itu, seolah mengalami eforia kebebasan, sehingga masyarakat sangat aktif terlibat dalam aktivitas politik. Hal itu setidaknya terlihat dari banyaknya partai politik yang menjadi peserta pemilu ketika pemilu pertama di gelar pada 1955. Banyak kelompok masyarakat ingin terlibat dalam membangun ke Indonesiaan. Meskipun, dengan adanya semangat tersebut, serta usia Indonesia yang masih muda, serta banyaknya faksi-faksi politik yang terlibat, menyebabkan pemerintahan pada waktu itu cenderung berjalan kurang stabil. Yang mana, dalam satu dekade, ada pergantian sepuluh perdana menteri.

Masa-masa eforia politik pasca kemerdekaan atau orde lama terhenti pada 1965. Pada waktu itu ada proses transisi kekuasaan dari Soekarno ke Suharto. Dan, Indonesia masuk pada masa pemerintahan baru, yang dikenal sebagai masa Orde Baru, dengan Soeharto sebagai penguasa dan presiden.

Era tersebut berlangsung selama 32 dua tahun. Rentang waktu yang tidak pendek. Agak kontras dengan periode sebelumnya, pada masa orde baru, warga tidak memiliki kebebasan untuk terlibat aktif dalam politik. Waktu itu, kontrol pemerintah sangat kuat. Soeharto memerintah layaknya raja Jawa, yang menjadikan rakyat sekadar sebagai objek dari kekuasaan.

Suara-suara kritis dibungkam, dan kelompok-kelompok yang berseberangan dibatasi ruang geraknya, atau bahkan dihilangkan dari peredaran.

Periode gelap dalam sejarah Indonesia itu berakhir pada 1998, ketika pemerintahan Soeharto digulingkan oleh kekuatan rakyat dan mahasiswa, yang dikenal sebagai reformasi 1998. Peristiwa itu menandai fase baru partisipasi politik warga. Rakyat kembali mendapatkan kekuatannya untuk terlibat dalam proses-proses politik.

Sama dengan masa-masa awal kemerdekaan, pasca reformasi 1998, masyarakat juga mengalami euforia politik. Mereka seolah lepas dari jeruji penjara dibuat oleh orde baru. Makanya, ketika pemilu tahun 1999 digelar, jumlah pesertanya mencapai 49 partai. Di luar itu, masa-masa sekitar tahun 1998 adalah masa hari-hari penuh dengan demonstrasi. Bahkan, beberapa di antaranya sampai meletus jadi kerusuhan. Masyarakat seolah gagap untuk menyuarakan aspirasi politiknya, setelah dibungkam selama 32 tahun.

Perlahan, situasi mulai kondusif. Aneka perangkat kebijakan dan birokrasi untuk warga terlibat aktif dalam kegiatan politik dibentuk. Ada revisi terhadap undang-undang pers, partai politik, juga lembaga-lembaga yang lain. Dan, masyarakat memiliki kebebasan untuk menyuarakan aspirasi serta melakukan aneka ragam partisipasi politik. Situasi itu ditunjang dengan munculnya internet, khususnya media sosial, yang memungkinkan berbagai elemen di masyarakat untuk saling berkomunikasi secara mudah dan cepat, tanpa dibatasi sekat atau jarak geografis.

Setelah dua puluh tahun reformasi, dibandingkan masa-masa sebelumnya, partisipasi warga dalam politik tentu sudah lebih baik. Infrastruktur, baik berupa perangkat hukum, lembaga, juga kanal-kanal untuk warga terlibat dalam aktivitas politik sudah tersedia. Meskipun tentu belum sampai pada titik yang ideal, namun sudah cukup memfasilitasi warga. Paling tidak, kualitas perpolitikan warga hari ini lebih bermutu daripada dulu.

Namun demikian, sebagaimana penulis kemukakan di awal, bila kita tengok pertukaran wacana politik akhir-akhir ini, secara substantif keterlibatan politik warga masih di luar harapan. Interaksi antar kelompok yang berlangsung di ruang-ruang publik masih dipenuhi oleh pertukaran wacana yang remeh temeh. Bahkan, pada masa-masa menjelang pilpres, perdebatannya mengarah pada pertengkaran untuk tujuan saling menjatuhkan.

Misalnya, pada pilpres 2019 sekarang . Alih-alih beradu gagasan tentang visi dan misi, atau jual tawar gagasan tentang Indonesia ke depan, masing-masing tim sukses justru malah sibuk saling serang. Dan, sayangnya, publik kemudian banyak yang mengekor pada perilaku para elit tersebut. Sehingga, yang muncul kemudian adalah politik yang menjemukan dan tidak mencerdaskan.

Bahkan, karena situasi yang terlalu kompetitif, dan publik sudah membentuk framing kelompok-kelompok sosial hanya terbagi dalam dua kelompok, pendukung A dan B. Kondisi demikian menciptakan situasi kelompok-kelompok masyarakat kritis serba salah untuk menyuarakan pendapatnya.

Masyarakat sudah terlanjur mengalami sesat pikir, yang mana, semua bentuk pendapat akan dibingkai sebagai dukungan pro atau kontra terhadap calon presiden tertentu. Kritik terhadap calon A misalnya, akan dianggap sebagai serangan politik pada calon B atau sebaliknya, meskipun sebenarnya pandangan tersebut dibangun berdasarkan data dan realitas yang objektif.

Tentu, lingkaran pertukaran wacana yang tidak sehat tersebut harus diputus. Atau diarahkan pada partisipasi politik yang lebih berkualitas dan beradab. Lalu lintas wacana di ruang publik harus diisi dengan pemikiran-pemikiran jernih tentang beragam hal yang berkaitan dengan bangsa dan negara, serta kesejahteraan masyarakat. Partisipasi politik yang sekadar menonjolkan rivalitas tersebut harus ditinggalkan.

Dan untuk melakukan kerja-kerja tersebut adalah menjadi tugas dan tanggung jawab semua masyarakat. Dalam arti, semua orang harus turut ambil peran untuk melakukannya. Siapa pun mereka. Kita tidak bisa menunggu dan berharap tokoh-tokoh elit di masyarakat memulainya.

Karena, sejauh ini, justru dari mereka asal muasal politik yang sakit ini tumbuh dan berkembang. Gerakan-gerakan kecil di masyarakat, ketika ia dilakukan secara massif, ia juga dapat menjadi kekuatan besar yang akan menggerakan perubahan sosial. Sehingga, proses-proses politik di Indonesia menjadi lebih bermutu. (*)

* Penulis adalah Dosen Psikologi Sosial Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang