Padang, (Antaranews Sumbar)- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat menilai ancaman ekologis dan kelestarian alam masih rawan terjadi di provinsi itu mengacu kepada temuan yang ada di lapangan.
"Berdasarkan identifikasi yang dilakukan terdapat tiga persoalan utama yaitu penyempitan lahan, kandungan bumi dan kultur manusia," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Uslaini di Padang, Kamis pada Seminar Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Mitigasi Perubahan Iklim.
Ia melihat kekayaan alam Sumatera Barat menjadi incaran pelaku bisnis dan mereka menggunakan pendekatan kekuasaan untuk bisa mengeksplorasinya.
Selain itu kultur masyarakat yang kian pragmatis turut menyumbang kerusakan lingkungan, deforestasi lahan dan ketidakseimbangan ekologis, ujarnya.
Menurutnya kekayaan alam yang ada di Sumatera Barat bisa menjadi ancaman saat dikelola dan dikuasai secara tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan catatan Walhi dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan trend eksploitasi sumber daya alam da saat ini terdapat 16 titik potensi panas bumi yang ada di Sumbar yang potensial.
Pada sisi lain Walhi mengidentifikasi terdapat 12 ancaman bencana di Sumbar mulai dari banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, abrasi pantai, letusan gunung api, puting beliung, gelombang ekstrem, gempa bumi, dan tsunami.
"Sebagian besar potensi ancaman bencana tersebut disebabkan oleh kerusakan lingkungan," kata dia.
Sementara peneliti Iklim Badan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sicincin Rizky Armei Saputra mengungkapkan perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi pangan di Sumbar karena terjadi peralihan komoditas yang ditanam petani.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 2017 sejumlah daerah di Sumbar kian kering yaitu Luhak, Situjuh, Sijunjung, Sukarami, Lima Kaum, Lubuk Basung, Padang laban, Sungai Dareh dan Sungai langsat, kata dia.
Menurutnya daerah yang mengalami kekeringan tersebut merupakan salah satu sentra padi di Sumatera Barat.
"Akibatnya petani di daerah itu yang biasa menanam padi dua atau sekali dalam setahun, karena kurangnya ketersediaan air memilih mengganti padi dengan palawija," katanya.
Ia menemukan cukup banyak saat lahan yang tidak dapat diolah menanam padi karena kurangnya ketersediaan air dan petani mengganti komoditas tanaman dengan menanam palawija.
Sebagai lumbung padi nasional berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan produksi padi Sumbar pada 2017 mencapai 2,773,478 ton per tahun dengan luas lahan sekitar 507,545 hektare.
Namun karena perubahan iklim dan kenaikan suhu udara berpengaruh pada pola tanam, waktu tanam, produksi dan kualitas hasil, katanya. (*)
Berita Terkait
BMKG sarankan masyarakat tunda perjalanan bila cuaca ekstrem
Minggu, 14 April 2024 16:26 Wib
Antisipasi dampak iklim ekstrim, Bupati imbau masyarakat lakukan percepatan olah tanam
Minggu, 31 Maret 2024 18:40 Wib
BMKG sebut 2023 tahun terpanas sejak pra industrialisasi 1850
Sabtu, 23 Maret 2024 17:04 Wib
Muhaimin nilai perlu langkah ekstra untuk tangani krisis iklim
Senin, 22 Januari 2024 5:10 Wib
Kabupaten Solok masukan upaya mitigasi perubahan iklim ke RPJPD
Jumat, 22 Desember 2023 15:05 Wib
PLN Sumbar ajak mitra kerja wujudkan iklim usaha sehat
Selasa, 31 Oktober 2023 11:53 Wib
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat terima penghargaan ProKlim 2023
Selasa, 24 Oktober 2023 19:51 Wib
BMKG tingkatkan literasi iklim untuk cegah krisis pangan
Rabu, 18 Oktober 2023 7:38 Wib