Anak tukang angkat itu kini jadi Wali Kota

id wako

Anak tukang angkat itu kini jadi Wali Kota

Wali Kota Padang Mahyeldi (kanan) bersama ayahnya Mardanis (tengah) dan istri (Harneli) pada peluncuran buku biografi Memimpin Adalah Melayani di Padang. Antara Sumbar/istimewa.

Padang, (Antaranews Sumbar) - Selepas Subuh melawan dinginnya hawa pagi Mardanis bergegas mengayuh sepeda kesayangan dari rumah menuju Pasar Banto Bukittinggi.

Menjalani profesi sebagai tukang angkat, warga Kenagarian Gadut, Tilatang Kamang, Kabupaten Agam itu sekurangnya tiga kali sepekan beraktivitas di pasar melayani pedagang dan pembeli yang butuh jasanya membawa barang belanjaan.

Menggunakan gerobak kayu Mardanis mengangkut barang pembeli hingga jualan para pedagang dari pasar ke mobil angkutan umum. Terkadang gerobak kayu tersebut disewakan kepada rekan lainnya sesama tukang angkat di Pasar Banto.

Bermodalkan gerobak kayu itu ia memperoleh rezeki untuk dibawa pulang guna menafkahi istri dan tujuh anaknya. Hujan dan panas pun jadi makanan sehari-hari demi mengumpulkan rupiah demi rupiah penyambung hidup.

Sebagai tukang angkat penghasilan Mardanis tak menentu, bila ia tidak ke pasar tak jarang keluarga ini harus meminjam kepada tetangga menjelang dapat uang guna membeli makanan.

Guna menopang pemasukan keluarga, sang istri Nurmi pun kerap membantu suami dengan membordir mukena yang diambil dari rumah tetangganya.

Setidaknya dalam sehari ia mampu menyelesaikan sehelai mukenah yang hasilnya bisa menunjang pemasukan rumah tangga.

Keluarga sederhana yang tinggal di gubuk sederhana itu pun tak punya sawah untuk diolah, hanya ladang warisan dari keluarga besarnya yang bisa diolah untuk menambah pemasukan dengan bertanam ubi.

Namun ditengah keterbatasan yang dimiliki Mardanis dan Nurmi punya tekad untuk menyekolahkan anak-anaknya agar kelak bisa hidup lebih baik.

Ia selalu menyakinkan kepada anak-anaknya bersungguh-sungguh belajar di sekolah agar mampu mengubah kehidupan yang pahit menjadi lebih baik di masa depan.

Bahkan Mardanis yang dipanggil apak oleh anak-anaknya mewanti-wanti bila ada yang tinggal kelas maka tak ada lagi sekolah.

Pesan Mardanis tersebut menjadi cambuk bagi anak-anaknya terutama putra pertamanya Mahyeldi untuk rajin belajar.

Menuntut ilmu di SD negeri Gadut Mahyeldi yang disapa Edi selalu masuk rangking 10 besar di kelasnya. Meski terlahir dari keluarga yang susah tak membuat ia minder.

Bahkan saat libur ia pernah ikut apak ke Pasar Banto membantu mengangkat belanjaan pembeli. Di pasar ia melihat langsung dengan mata kepala bagaimana apak berjibaku menyandang barang-barang berat di pundak demi memenuhi kebutuhannya.

Terbayang nyata di pelupuk mata tetesan keringat apak yang lelah meski wajah Mardanis selalu tersenyum.

Kendati Mardanis hidup dalam keterbatasan namun ia selalu berusaha melengkapi buku bacaan anaknya. Bila tak ada uang untuk membeli maka buku akan difotocopy.

Setelah lelah beraktivitas seharian saat malam tiga pertanyaan selalu ia tanyakan pada anak-anaknya. Apakah sudah shalat, sudah mengaji dan sudah belajar.

Mardanis menyakini pemahaman agama yang baik merupakan bekal bagi anak-anaknya menghadapi masa depan. Oleh sebab itu ia selalu mengingatkan putra putrinya agar tidak meninggalkan salat dan rutin mengaji.

Tidak hanya itu ia pun mewajibkan anak belajar karena tak ingin keturunannya bernasib sama.

Saat Mahyeldi duduk di kelas V SD, Mardanis sekeluarga harus meninggalkan kampung tercinta karena kesehatan memburuk dan diharuskan dokter tinggal di daerah yang cuacanya lebih panas.

Sakit asma yang diderita membuat ia harus membuat pilihan merantau ke Dumai demi mengikuti saran dokter agar kesehatannya membaik.

Setiba di Dumai Mardanis berjumpa teman sesama tukang angkat di Pasar Banto dan akhirnya ia menjalani profesi baru sebagai tukang becak yang disewa dari sahabatnya tersebut.

Mahyeldi kemudian bersekolah di SD Negeri 9 Suka Jadi Dumai. Karena rumahnya dekat pasar ia pun sering membantu para pedagang menjual barang untuk mendapatkan belanja tambahan.

Pesan apak kepadanya membuat Mahyeldi tidak malu untuk melakoni profesi itu sepulang sekolah. Ia diingatkan sebagai anak tertua harus mandiri.

Selepas SD Mahyeldi pun didorong orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke SMP. Kala itu ia mendaftar ke SMP Patimura Dumai yang merupakan salah satu sekolah favorit.

Untuk masuk ke sekolah itu ia bersaing ketat dengan anak-anak pejabat Pertamina hingga Caltex sehingga banyak yang menyangsikan bisa diterima.

Apak pun berharap putra sulungnya diterima dan untuk itu bernazar bila anaknya lulus maka seluruh penghasilan menarik becak hari itu akan disumbangkan kepada fakir miskin penyandang tuna netra yang merupakan tetangganya.

Begitu pengumuman keluar Mahyeldi girang karena ia termasuk salah seorang murid yang lulus. Ia pun bergegas pulang dengan becak yang dikayuh apak namun tidak langsung pulang ke rumah.

Apak membawanya ke rumah tetangganya dan menyampaikan perihal nazar sembari menyerahkan penghasilan hari itu kepada tetangga yang buta.

47 tahun berlalu hasil didikan Mardanis dan Nurmi yang berjuang mendidik buah hati mereka dengan penuh cinta ditengah keterbatasan ekonomi tak sia-sia.

Pada 13 Mei 2014 putra pertamanya resmi dilantik menjadi Wali Kota Padang periode 2014-2019 oleh Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno di gedung bundar DPRD Padang.

Mardanis sang ayah layak berbangga. Sulungnya menjadi orang nomor satu di ibu kota provinsi. Anak yang dibesarkan dengan tetesan keringat, air mata dan peluh kini ia saksikan dengan gagah berjas putih.

Adik-adik Mahyeldi pun semuanya berhasil menamatkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Kendati apak hanya seorang buruh angkat .

"Bapak saya tukang angkat di Pasar atas, saya tidak malu," katanya dalam suatu kesempatan.

Dimana-mana ia kerap memotivasi para generasi muda jika patuh kepada orang tua, bersungguh-sungguh mencapai cita-cita maka Allah akan memudahkan untuk mencapainya.

Hal yang menggembirakan ayahnya sampai saat ini Mahyeldi tidak berubah, masih seperti yang dulu.

Walau begitu sang ayah tetap berpesan agar Mahyeldi bisa menjadi orang yang lurus, "luruih masuak, luruih pulang". Artinya, sebelum masuk “balai kota” Mahyeldi adalah orang baik yang tidak ’macam-macam’. Ayahnya tetap menyimpan harap agar putranya konsisten dengan hal itu.

Pada pilkada Padang 27 Juni 2018 Mahyeldi kembali dipercaya warga Padang untuk menjalankan amanah sebagai Wali Kota Padang periode 2019 2024. Ia pun tetap berkomitmen menjalankan titah apak menjadi pribadi yang berintegritas.