Sinyal positif memantapkan demokrasi

id pilkada

Sinyal positif memantapkan demokrasi

Petugas TPS membantu salah seorang pemilih disabilitas untuk menggunakan hak suaranya untuk Pilkada Kota Padang, di Ulak Karang, Padang, Sumbar, Rabu (27/6). Dari data KPUD Kota Padang Tahun 2018 sebanyak 1.136 pemilih disabilitas yang akan menggunakan hak suaranya padang pemilihan Pilkada serentak Kota Padang yang berjalan aman. ANTARA SUMBAR/Adi Prima/Maril/18.

Padang (Antaranews Sumbar) - Terselenggaranya pencoblosan dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 pada hari Rabu 27 Juni 2018, yang secara umum berlangsung aman dan damai, dapat dipandang sebagai sinyal positif bahwa demokrasi di Tanah Air sedang menapaki jalan yang tepat dan wajar.

Yang menarik, di sejumlah tempat pemungutan suara, para warga yang menanti giliran untuk mencoblos, memanfaatkan waktu dengan obrolan berkisar tim-tim yang mereka favoritkan dalam pertandingan sepak bola di Piala Dunia 2018 di Rusia.

Tampaknya, bagi para pemilih, soal pasangan calon kepala daerah yang hendak mereka coblos sudah final. Sudah sejak dari masa-masa kampanye mereka sudah menentukan siapa jagoan yang akan mereka coblos. Itu sebabnya, obrolan tentang sepak bola, bagi mereka, sungguh lebih menggairahkan.

Peristiwa pencoblosan dalam pemilihan umum, baik untuk memilih pemimpin eksekutif di tataran nasional dan daerah, maupun memilih wakil rakyat di tingkat nasional dan daerah, adalah kejadian rutin yang natural untuk ajang perebutan kekuasaan secara damai, yang dibingkai dalam sistem politik demokrasi.

Demokrasi dengan demikian, sebagaimana Pancasila sebagai ideologi dasar negara, harus dipandang sebagai harga mati. Namun, yang perlu diwaspadai dalam mempraktikkan demokrasi, publik perlu terus mengikhtiarkan bahwa demokrasi yang berlangsung jangan sampai cuma sebatas demokrasi formal.

Demokrasi formal merujuk pada praktik-praktik politik, yang seolah-seolah demokratis karena terselenggara dalam sistem yang ditopang oleh lembaga-lembaga politik yang diniscayakan seperti adanya prinsip trias politika, dan terselenggaranya pemilihan umum.

Namun jika semua proses politik itu tidak melahirkan para pemimpin yang bersih, aspiratif, adil dan menyejahterakan rakyat banyak, belum maksimallah demokrasi itu. Sejak Reformasi 1998, publik telah memilih para pemimpin di lingkungan eksekutif maupun wakil rakyat di lembaga legislatif dengan beragam pencapaian.

Di antara mereka, ada yang berhasil menjalankan amanah yang dipercayakan oleh rakyat dan mengakhiri karier politik mereka dengan mulus. Ada juga yang berkhianat kepada rakyat dengan melakukan korupsi sehingga mereka harus mendekam di penjara.

Di tataran para pemimpin lokal yang dipilih lewat pilkada, ada pula yang secara riil memperlihatkan kemampuannya memajukan rakyat dan daerah yang mereka pimpin. Tanpa harus menyebut nama, sejumlah wilayah yang semula terbelakang dengan laju yang cukup kencang menjadi kawasan yang makmur, maju dan sentosa

Daerah kian maju

Berkat demokrasi yang substansiallah, sejumlah daerah menjadi kian maju dan berkembang, yang semula tak punya bandar udara, tak punya universitas bermutu menjadi memiliki infrastruktur dan institusi yang menjadi salah satu wujud peradaban modern itu.

Namun, apakah dengan demikian demokrasi yang kini sudah berjalan di jalur yang tepat itu dapat dipastikan tak lagi menemui hambatan atau tantangan yang signifikan? Tentu tak ada pihak mana pun yang menjamin kepastian semacam itu.

Sebab, pertarungan merebut atau mempertahankan kekuasaan kadang berlangsung sengit, yang kompleks dan tak mustahil diwarnai oleh kampanye negatif dan hitam. Dalam hitungan pekan belakangan ini, kepolisian menerima sejumlah aduan dari politikus yang merasa difitnah, dicemarkan namanya lewat media sosial.

Seorang bos partai politik difitnah melakukan perselingkuhan dengan politikus lain. Satu pasangan calon kepala daerah yang kebetulan berlainan jenis kelamin juga diisukan melakukan perselingkuhan.

Cara-cara pencemaran nama semacam inilah yang oleh esais Goenawan Mohamad dianggap dapat memerosotkan kualitas kampanye. Fitnah semacam ini, jika efektif dapat memengaruhi pemilih, cenderung diulang-ulang oleh pengampanye tak beretika untuk memenangkan politikus yang mereka dukung.

Pada titik inilah sukses demokrasi sangat bergantung pada kesanggupan aparat penegak hukum menemukan para penyebar fitnah. Bersamaan dengan kemampuan polisi meringkus penyebar fitnah politik, publik pun perlu semakin meningkatkan pemahaman politiknya. Setidaknya, mereka tak perlu mudah termakan oleh desas desus, kabar bohong tentang tuduhan perselingkuhan para kontestan dalam laga perebutan kuasa.

Dalam hal ini tentu perlu ditegaskan perbedaan esensial antara fitnah dan pengungkapan rekam jejak. Fitnah tersebar tanpa ada yang bertanggung jawab siapa penyebarnya. Pengungkapan rekam jejak bisa dibuktikan pelakunya. Jika ada perempuan yang secara terbuka mengaku di depan publik bahwa dia di masa lalu pernah dilecehkan secara seksual oleh seorang pemimpin politik yang sedang berkuasa, seperti pada kasus yang dialami Presiden AS Donald Trump, perkara itu tak bisa lagi disebut sebagai fitnah, tentu dengan catatan bahwa pengakuan itu terbukti kebenarannya.

Sebetulnya yang merapuhkan sendi-sendi demokrasi secara signifikan bukan kampanye-kampanye yang bermuatan fitnah tapi tiadanya integritas para politikus dalam menunaikan amanah yang dipercayakan oleh rakyat.

Dalam sejumlah kasus, terbentuknya apa yang disebut sebagai oligarki di kalangan elite politik justru lebih merongrong kepercayaan publik kepada demokrasi. Ini bisa terjadi ketika mereka yang mestinya menjalankan fungsinya sebagai oposan dalam praksis demokrasi malah merapat ikut menikmati kue kekuasaan dan membiarkan penguasa memerintah dengan abai terhadap janji-janji kampanye mereka.

Syukurlah bahwa sampai detik ini, setidaknya politikus di Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memilih bersuara keras mengkritik pemerintah. Suara oposan semacam inilah yang dibutuhkan dalam memantapkan dan mematangkan demokrasi.