Amani Balour, seorang dokter di sebuah rumah sakit di Ghouta Timur, Suriah menutup wajah dengan dua tangannya.
Dia duduk di lantai rumah sakit yang tak lagi bersih. Ia pun membelakangi seorang ibu yang berteriak histeris karena baru saja kehilangan anak laki-lakinya karena rumah mereka dihantam bom.
Dokter perempuan berbaju putih penuh dengan bercak darah itu mencoba meredam tangisannya sendiri. Dia tak tega mendengar suara tangis ibu tersebut yang meratapi kepergian anaknya.
"Saya menunggu anak lelaki saya meninggal," kata ibu itu, sementara anak lelakinya dengan badan berselimut debu terbaring di tempat tidur pasien.
Ibu itu melanjutkan, "Saya sedang membuatkan dia roti saat atap rumah kami roboh. Dia akan langsung masuk surga. Setidaknya di surga ada makanan."
Air mata mengalir di kedua pipinya yang penuh debu.
Anak lelaki itu akhirnya meninggal. Dia adalah satu dari sedikitnya 121 anak yang tewas akibat serangan rezim Bashar Al-Assad di wilayah Ghouta Timur sejak 18 Februari 2018. Sang ibu hanyalah satu dari 400.000 jiwa yang kehilangan anak dan sanak keluarga akibat bom yang dijatuhkan dari pesawat-pesawat tempur pemerintah rezim dan militer Rusia.
Serangan udara yang dianggap paling buruk di Suriah sejak 3 tahun terakhir ini telah menewaskan 520 orang dan melukai sedikitnya 2.000 orang.
Sementara itu, sekitar 390.000 jiwa yang masih berada di Ghouta Timur terperangkap oleh kekejaman rezim Assad. Sebagian dari mereka, terutama anak-anak dan perempuan, terpaksa bersembunyi di lorong-lorong bawah tanah yang lembap dan gelap, tanpa makanan, air minum, dan obat-obatan.
"Neraka" di Bumi
Di tengah kepanikan merawat pasien korban pengeboman yang terus-menerus masuk ke rumah sakitnya, Amani mengatakan bahwa selama 3 hari ada sebuah kampanye bengis untuk menghancurkan Ghouta.
"Mereka menggunakan berbagai macam senjata. Mereka menggunakan pesawat tempur, roket, dan tong-tong berisi bahan peledak," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa mental dan emosi masyarakat Ghouta telah hancur.
"Tak ada yang dapat kami lakukan. Kami sudah kehilangan segala-galanya," kata Amani.
Sementara itu, organisasi penyelamatan, Syrian Civil Defense atau yang juga dikenal dengan "the White Helmets" menyatakan bahwa telah ada serangan gas beracun di kota pinggiran Damaskus, Sheifouniyeh yang menewaskan sejumlah warga sipil, termasuk anak-anak.
Dalam sebuah video yang telah disebarkan melalui sosial media, seorang anggota organisasi tersebut menggendong jenazah seorang anak yang meninggal akibat gas beracun.
"Kami menyeru kepada seluruh organisasi di dunia, apa salah anak ini? Di mana kalian semua? Anak-anak kami tewas karena gas beracun ini," seru petugas tersebut.
Lembaga pengawas senjata kimia dunia kini tengah menyelidiki sejumlah serangan gas beracun itu untuk mengetahui apakah terjadi penggunaan amunisi yang dilarang.
Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons atau OPCW) sejak Ahad (25-2-2018) telah memulai penyelidikan atas laporan penggunaan berulang bom klorin pada bulan ini di sebuah distrik di Ghouta, dekat dengan ibu kota Suriah, kata sejumlah sumber diplomatik.
Senjata-senjata mematikan yang dijatuhkan oleh tentara rezim Assad dan Rusia di atas atap-atap rumah warga sipil Ghouta telah menciptakan kematian dan kerusakan, yang oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres dilukiskan sebagai "neraka" di Bumi.
"Saya sangat prihatin dengan penderitaan mengerikan penduduk sipil di Ghouta Timur, sebanyak 400.000 orang yang hidup di dalam neraka di Bumi," kata Guterres kepada Dewan Keamanan PBB sebelum dia membacakan pidato dalam debat mengenai tujuan dan prinsip Piagam PBB pada hari Rabu (21-2-2018).
Tanpa Rompi
Rezim Assad mengklaim bahwa Ghouta Timur, yang terletak sekitar 10 kilometer di sebelah timur ibu kota Suriah, Damaskus merupakan kantong pemberontak yang harus segera ditumpas. Sejak 2013 wilayah itu telah dikepung oleh militer pemerintah sehingga mengakibatkan penduduk sipil kekurangan makanan dan obat-obatan.
Serangan udara bertubi-tubi sungguh-sungguh terjadi, dan hanya membunuh rakyat Suriah yang tak bersalah. Mereka adalah anak-anak yang baru pulang dari sekolah, para ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk keluarga mereka, dan para orang tua renta yang tak berdaya.
Senjata militer rezim tidak menyentuh jantung pertahanan yang dianggap sebagai pemberontak, tetapi rumah-rumah warga, sekolah-sekolah, bahkan rumah-rumah sakit yang berisi korban pengeboman juga dihancurkan dalam sekejap.
Duka di Suriah adalah duka dunia yang dirasakan pula oleh masyarakat Indonesia. Hal itu diekpresikan oleh sejumlah sukarelawan yang tergabung dalam Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Jakarta Raya dengan menggelar aksi solidaritas "Selamatkan Ghouta" baru-baru ini.
"Sudah ratusan jiwa kehilangan nyawa. Kita tidak bisa diam. Kita suarakan ini, kita bantu yang masih hidup dan terkepung di Ghouta Timur. Tim Aksi Cepat Tanggap telah hadir di wilayah terdekat dengan area Ghouta untuk memberikan bantuan medis dan dapur umum," kata Wakil Presiden ACT (Aksi Cepat Tanggap) untuk Departemen Komunkasi Iqbal Setyarso yang hadir pada kegiatan tersebut.
Lembaga kemanusiaan ACT telah memberangkatkan tim SOS (Sympathy of Solidarity) for Syria menuju negeri tersebut pada Jumat (23-2-2018) dini hari yang membawa bantuan berupa dapur umum dan makanan siap santap bagi para pengungsi Suriah.
ACT juga sedang mempersiapkan pendirian "Indonesia Humanitarian Center" (IHC) atau Pusat Kemanusiaan Indonesia sebagai respon atas perang saudara di Suriah yang sudah berlangsung selama 7 tahun dan masih tampak jauh dari titik akhir.
"Kita tidak tahu kapan ini akan berakhir. Oleh karena itu, kami gulirkan program jangka panjang ini untuk bisa menyuplai kebutuhan logistik pengungsi Suriah yang serba terbatas," kata Senior Wakil Presiden ACT untuk Filantropi dan Komunikasi N. Imam Akbari.
Rencananya IHC akan didirikan di perbatasan Turki dan Suriah yang memiliki gudang logistik guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di wilayah konflik serta "shelter" untuk menampung korban perang.
Bantuan kemanusiaan yang dikumpulkan dari masyarakat Indonesia telah distribusikan kepada masyarakat Suriah oleh para sukarelawan ACT sejak 2013. Para sukarelawan yang datang ke Suriah bukanlah tamu negara sehingga tentu mereka tak mendapatkan pengamanan istimewa dan tidak mengenakan rompi antipeluru. Namun, mereka terus berupaya masuk ke palagan di bumi Syam walau banyak jalan diblokade dan bom terus berjatuhan.