Dari sekian banyak dampak dari perubahan iklim, laut merupakan salah satu bagian bumi yang mengalami akibat langsung dan paling besar dari pada bagian bumi lainnya.
Apalagi Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sebagian besar wilayahnya terdiri lautan dengan beragam jenis biota.
Dari sekian banyak biota laut, salah satu yang terdampak atas perubahan iklim adalah penyu, yang merupakan spesies hewan purba yang masih bertahan hingga saat ini.
Dampak perubahan iklim terhadap penyu dapat terlihat dari beberapa hal, seperti terjadinya abrasi pantai yang mengakibatkan berkurangnya daerah peneluran hingga matinya terumbu karang yang yang menjadi kawasan bermain dan mencari makan bagi penyu.
Kenaikan permukaan air laut yang karena mencairnya gletser di kawasan kutub menjadi ancaman tersendiri bagi penyu untuk melakukan peneluran pada pasir di sepanjang kawasan pesisir pantai.
Peneliti penyu dari Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Sumatera Barat, Harfiandri Damanhuri, mengatakan karena terjadinya kenaikan permukaan air laut maka akan terjadi abrasi di sepanjang pesisir pantai.
Ia menyampaikan dalam berkembang biak, penyu akan mencari lokasi yang relatif tenang serta jauh dari hiruk pikuk dan keramaian, sebab penyu merupakan salah satu spesies yang sensitif terhadap gangguan.
Berangkat dari karakteristik tersebut, maka ketika bertelur penyu juga memiliki pilihan tersendiri dalam menentukan lokasi. Penyu biasanya akan mencari pantai yang landai, bersih, berpasir halus, tersembunyi serta jauh dari aktivitas manusia.
Lebih lanjut Harfiandi menjelaskan ketika terjadi abrasi, maka kemungkinan telur penyu akan terkena air laut cukup besar sehingga dapat berakibat gagalnya penetasan.
Sebagai spesies yang sensitif maka penyu cenderung akan mencari lokasi peneluran lain, sementara lokasi yang sesuai untuk peneluran terbilang susah untuk ditemukan.
Sekalipun dikenal sebagai hewan yang mudah menyesuaikan diri dengan suhu di dalam laut, akan tetapi dengan meningkatnya suhu lautan maka juga akan berdampak pada kelangsungan hidup penyu.
Dampak tersebut memang tidak secara langsung diterima oleh penyu, sebab yang akan terpengaruh dari adanya peningkatan suhu lautan adalah terumbu karang yang merupakan salah satu lokasi penyu dalam mencari makanan.
Peningkatan suhu air di lautan akan menyebabkan pemutihan pada karang atau yang biasa dikenal dengan istilah `bleaching". Fenomena ini terjadi hampir di seuruh kawasan Samudera Hindia.
Pemutihan atau bleaching ini ditandai dengan adanya perubahan warna pada karang yang mulai memucat dan lama kelamaan karang tersebut mati.
Harfiandi menyebutkan penyu juga dikenal sebagai hewan yang menjaga baik hubungan dengan lokasi yang ada di sekitar kawasan peneluran, yang dalam hal ini adalah ekosistem terumbu karang.
Setiap penyu yang akan bertelur biasanya terlebih dahulu akan singgah ke lokasi yang banyak terumbu karang untuk makan dan kawin, setelah itu baru mereka bertelur ke daratan.
Hal tersebut akan terjadi berulang-ulang selama proses bertelur. Oleh karena itu dapat dilihat penyu juga memiliki ketergantungan terhadap keberadaan terumbu karang.
Pada umumnya penyu mencari makan di sekitar terumbu karang, sekalipun juga ada penyu yang makan ubur-ubur, rumput laut, dan juga lamun, tergantung pada jenis penyunya.
Menurutnya penyu sisik akan mencari makan di sekitar terumbu karang dengan mengonsumsi spons karang, apabila terjadi bleaching maka spons juga akan mati sehingga akan menyulitkan penyu sisik dalam mencari makan.
Menurut Harfiandi yang paling mempengaruhi kelangsungan hidup penyu sebenarnya adalah manusia, baik dari pemburuan terhadap telur maupun maupun terhadap penyu itu sendiri.
Selain itu aktivitas manusia di kawasan pantai dan kawasan pesisir laut juga akan mempengaruhi penyu untuk melakukan peneluran.
Sekalipun manusia adalah faktor terbesar yang menyebabkan semakin berkurangnya populasi penyu, akan tetapi faktor-faktor alam juga tidak bisa diabaikan begitu saja karena secara tidak langsung juga akan mempengaruhi keberlangsungan hidupnya.
Terkait kerusakan terumbu karang, peneliti terumbu karang dari Universitas Bung Hatta Suparno menyatakan kondisi terumbu karang di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kepulauan Mentawai terus memburuk.
Menurutnya pada 2016 terumbu karang di kawasan tersebut ada pada kondisi tutupan karang hidup hanya 18,2 persen.
Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2014 di KKPD rata-rata tutupan karang hidupnya masih 25,67 persen.
Kondisi itu terus menurun pada 2015 dengan rata-rata tutupan karang hidupnya menjadi 23,36 persen, dan pada 2016 semakin parah ke angka 18,2 persen.
Sementara itu dari 2014 ke 2015 terjadi penurunan sebesar 2,31 persen, dan dari 2015 ke 2016 penurunannya sebesar 5,16 persen.
Dari data ini persentase pengelompokan tutupan karang mulai angka 0 hingga 25 persen tergolong buruk atau rusak, dari 25 hingga 50 persen tergolong sedang, angka 50 sampai 75 tergolong baik, dan 75-100 persen tergolong sangat baik.
Kerusakan ini, menurutnya, terjadi akibat fenomena alam, yaitu meningkatnya suhu air di lautan hingga angka 33 - 34 derajat pada April hingga Juni 2016.
Sebagai peneliti penyu, Harfiandi menegaskan upaya konservasi penyu hendaknya dilakukan dengan persiapan yang matang dan mempertimbangkan segala aspek.
Menurutnya, sekalipun ada berbagai faktor yang mengancam kehidupan penyu, akan tetapi tetap ada upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Dengan memperhatikan hubungan antara penyu dengan lingkungan di sekitar peneluran maka upaya konservasi dapat dilakukan dengan baik.
Di sekitar lokasi peneluran penyu biasanya ada ekosistem terumbu karang, hal ini yang harus sama-sama dijaga untuk kelangsungan hidup penyu, sekalipun berada dalam ancaman perubahan iklim. (*)