Padang (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan 12 kawasan konservasi perairan nasional. Dari 12 konservasi perairan laut nasional tersebut, Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya merupakan konservasi pertama di Indonesia yang menerapkan energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Sebelum dikelola KKP, Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya berada di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Konservasi ini beralih ke KKP sejak 2009 untuk dikembangkan sebagai pelestarian ekosistem bawah laut yang terdiri dari lima pulau utama, yakni Pulau Bando, Pulau Toran, Pulau Air, Pulau Pandan, dan Pulau Pieh.
Semenjak dikelola oleh KKP RI, upaya pelestarian serta pemeliharaan flora dan fauna yang ada di kawasan konservasi nasional dengan luas sekitar 39 ribu hektare (ha) lebih itu mengalami perubahan signifikan. Hal tersebut tidak terlepas dari peran berbagai pihak, di antaranya PT Pertamina Patra Niaga Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), Aviation Fuel Terminal Minangkabau, Sumatera Barat (Sumbar), Kelompok Konservasi Raja Samudera, hingga pelibatan masyarakat lokal.
Kolaborasi antarinstitusi serta peran kalangan akar rumput itu pada hakikatnya menjadi pondasi kuat dalam pengelolaan ekosistem yang ada di Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya, terutama di Pulau Bando.
Pulau Bando, salah satu pulau yang berada di sisi barat Pulau Sumatera bertopografi datar dengan tutupan lahan berupa pohon kelapa yang cukup lebat. Pulau itu berjarak sekitar 20 kilometer dari bibir pantai Kota Pariaman, Provinsi Sumbar. Di Pulau Bando inilah perusahaan di bawah BUMN itu menerapkan energi terbarukan sebagai salah satu wujud nyata dalam mendukung kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.
Sebagai perusahaan energi terintegrasi milik negara, Pertamina memahami penerapan energi bersih dan energi hijau menjadi suatu keharusan demi menjaga Bumi dari dampak perubahan iklim yang menjadi tantangan global. Apalagi, Indonesia memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC).
Terkhusus di Pulau Bando, memiliki potensi cahaya matahari dan angin tergolong besar, sehingga mendorong Pertamina Patra Niaga Sumbagut AFT Minangkabau memasang dua sekaligus energi terbarukan, berupa PLTB dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). PLTB vertikal axis wind turbine (VAWT) tipe H-Darrieus itu memiliki kapasitas 500 Watt, sementara PLTS yang menggunakan empat panel listrik berkapasitas 2.300 Watt Peak (WP).
Community Development Officer AFT Minangkabau Wahyu Hamdika mengatakan dua energi terbarukan tersebut merupakan sumber energi utama yang dipasang untuk mendukung kawasan konservasi di Pulau Bando. Implementasi energi ini ditujukan sebagai upaya intervensi penyelamatan habitat penyu.
Penggunaan PLTS dan PLTB ini juga dilatarbelakangi besarnya potensi energi angin dan tenaga surya di kawasan itu yang sama sekali belum dimanfaatkan. Berangkat dari potensi itu, Pertamina mulai membuat dan memasang PLTB dan PLTS di Pulau Bando di awal 2024.
PLTB berbentuk menara setinggi tujuh hingga delapan meter tersebut memiliki tiga baling-baling berwarna merah putih. PLTB ini tepat berdiri di depan posko Pulau Bando atau di samping pusat inkubasi penyu, berjarak 15 meter dari bibir pantai.
Sementara, PLTS dipasang di bagian tengah pulau atau berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai. PLTS ini mempunyai empat panel listrik, sehingga mampu menghasilkan daya listrik yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan konservasi. Gabungan keduanya (PLTB dan PLTS) memiliki energi listrik setara dengan 1.200 Volt Ampere (VA).
Keberadaan energi terbarukan tersebut sangat membantu pengelolaan kawasan konservasi di Pulau Bando. Sebab, sebelumnya konservasi ini masih dijalankan dengan cara-cara konvensional atau tanpa dukungan energi terbarukan.
Sebagai contoh, sebelum adanya PLTB dan PLTS, para enumerator (penyu rescue) kawasan konservasi mengandalkan mesin genset berbahan bakar minyak (BBM). Selain boros, cara ini juga tidak ramah lingkungan karena kepulan asap yang dikeluarkan dari hasil pembakaran secara tidak langsung ikut berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan.
Penerapan energi bersih dan hijau ini diharapkan menjadi percontohan bagi kawasan konservasi lain, sehingga transisi energi fosil ke energi terbarukan dapat terealisasi dengan maksimal.
Energi berkelanjutan
Sebagai kawasan konservasi perairan nasional pertama di Indonesia yang menerapkan energi baru terbarukan dengan pola hibdridasi, Yayasan Indonesia Cerah menyambut baik langkah Pertamina Patra Niaga Sumbagut AFT Minangkabau karena telah berupaya mewujudkan energi bersih dan hijau.
Research Associate Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Shalati mengatakan langkah yang dilakukan perusahaan pelat merah itu patut diapresiasi. Apalagi, penggunaan energi terbarukan sejalan dengan upaya dunia internasional dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
Penerapan energi terbarukan di Pulau Bando tidak hanya untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi, melainkan lebih dari itu, langkah tersebut dapat menjadi contoh nyata dan segera diikuti oleh konservasi alam lainnya yang masih menggunakan energi fosil.
Diharapkan langkah tersebut tidak terhenti hanya di kawasan konservasi, namun juga diikuti oleh berbagai institusi atau lembaga pemerintah hingga diterapkan di permukiman masyarakat.
Meskipun demikian, Pertamina dan pengelola Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya diharapkan agar menjamin keberlangsungan penggunaan energi terbarukan. Sebab, implementasinya tidak hanya sebatas seremonial atau sampai pada pelaksanaan satu program yang kemudian tidak ada jaminan keberlanjutan.
Untuk memastikan dan menjamin keberlanjutan penerapan energi terbarukan, Sartika mendorong Pertamina atau pengelola kawasan konservasi memberikan pelatihan perawatan PLTB dan PLTS secara berkala kepada petugas di pulau itu.
Apabila tidak ada pendampingan dan pelatihan perawatan PLTS maupun PLTB, dikhawatirkan para pengelola konservasi akan kebingungan dalam mengatasi kendala-kendala teknis yang mungkin terjadi.
Kekhawatiran itu tidak lepas dari kasus yang terjadi di Desa Waiheru, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan. Di desa itu, ia melakukan penelitian terkait implementasi energi terbarukan yang digunakan masyarakat. Sayangnya, penggunaan energi tersebut tidak berjalan lama akibat keterbatasan pengetahuan masyarakat dalam merawat alat.
Pembangkit listrik terbarukan di desa tersebut merupakan program listrik masuk desa yang digagas oleh Kementerian ESDM. Pada awalnya penerapan energi terbarukan berjalan dengan baik, namun program itu hanya mampu bertahan selama setahun.
Penyebabnya, masyarakat setempat tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup untuk memperbaiki instalasi kelistrikan, terutama ketika terjadi kerusakan. Selain itu, sulitnya akses menuju desa tersebut juga menjadi kendala bagi pihak luar untuk membantu perbaikan.
Oleh karena itu, kejadian tersebut harus menjadi pengingat pentingnya membekali petugas konservasi di Pulau Bando terkait pemeliharaan alat PLTB dan PLTS. Sehingga, ketika terjadi kerusakan dapat segera ditindaklanjuti agar tidak mengganggu proses inkubasi telur penyu di Pulau Bando yang mengandalkan energi listrik.
Digitalisasi konservasi
Secara umum langkah-langkah konservasi ramah lingkungan tersebut terangkum dalam sebuah program Sistem Informasi Pemberdayaan Nagari Berbasis Konservasi atau lebih dikenal dengan Si Rancak Ulakan. Inovasi sosial ini merupakan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang bertujuan memberikan dampak positif terhadap kawasan konservasi dan lingkungan sekitar.
Si Rancak Ulakan merupakan aplikasi berbasis web dan android yang menyediakan analisis, profil, informasi, pemantauan, dan edukasi serta evaluasi untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi di Pulau Bando.
Aplikasi tersebut lahir sebagai inovasi perbaikan pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat melalui informasi bank data flora dan fauna di kawasan itu. Keunggulan aplikasi tersebut ialah analisis dan monitoring penyu yang dapat dilakukan secara langsung (real time), termasuk promosi paket wisata yang terintegrasi, hingga sarana edukasi penyu dengan teknologi baru.
Program itu berisi beragam informasi seputar kawasan konservasi nasional yang meliputi pelestarian populasi penyu, terumbu karang, pengelolaan sampah plastik maupun nonplastik, hingga informasi wisata bertahan (survival) Pulau Bando.
Program Si Rancak Ulakan sendiri mempunyai road map jangka panjang hingga 2026. Pada 2022 gagasan ini menyasar budi daya mangrove. Kemudian pada 2023 Si Rancak Ulakan memfokuskan sisi penguatan kelembagaan yang meliputi penanaman mangrove di kawasan wisata, penguatan kelompok, dan pengembangan konservasi penyu dan terumbu karang.
Selanjutnya, di 2024 Pertamina berfokus pada digitalisasi pengelolaan konservasi yang terdiri dari beberapa sasaran utama, di antaranya pengembangan sistem terpadu dalam kawasan konservasi serta pelestarian pesisir dan pengelolaan kawasan konservasi alam.
Setahun berikutnya, Pertamina akan menyasar sentra produksi olahan nipah, pengembangan kampung edu eko wisata, dan pusat konservasi terpadu. Sementara pada 2026 program itu menargetkan learning center konservasi.
Si Rancak Ulakan merupakan program tanggung jawab sosial lingkungan PT Pertamina Patra Niaga AFT Minangkabau yang berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi nasional.
Untuk mendukung program itu, Pertamina juga memasang internet Starlink. Internet tanpa batas ini memiliki jarak jangkau hingga 10 meter, sehingga benar-benar membantu dan mendukung program tersebut di Pulau Bando.
E-Katuang
Selain menggunakan energi terbarukan sebagai sumber energi utama di Pulau Bando, Pertamina juga membuat inkubator penetasan telur penyu yang disebut E-Katuang. Katuang sendiri merupakan bahasa lokal di Provinsi Sumbar yang berarti tukik atau penyu. Alat inkubator berbentuk persegi panjang tersebut dirancang khusus untuk membantu penetasan telur penyu dalam kurun waktu 50 hari dengan dibantu oleh energi listrik.
Inkubator itu mampung menampung 50 hingga 80 butir telur penyu dimana tingkat keberhasilannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan penetasan di alam liar (alami). Gagasan E-Katuang ini muncul sebagai upaya mempercepat dan mengupayakan keberhasilan penetasan telur satwa dilindungi tersebut.
Lahirnya inovasi tersebut berangkat dari persentase penetasan telur penyu di alam liar yang belum begitu maksimal, karena beberapa persoalan, di antaranya praktik perburuan telur penyu, ancaman predator biawak dan ular, hingga kondisi suhu yang tidak selalu stabil.
Sejak E-Katuang difungsikan, enumerator telah berhasil menetaskan lebih dari 200 butir telur penyu tanpa ada yang gagal. Bahkan, alat tersebut dapat merekayasa genetik atau penentuan jenis kelamin satwa yang dilindungi UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Apabila enumerator ingin menetaskan penyu jantan, maka cukup mengatur suhu pada rentang 27 hingga 29 derajat Celsius dengan tingkat kelembapan 68 persen. Sementara, untuk penyu betina suhunya berkisar 30 hingga 31 derajat Celsius dengan kelembapan 75 persen.
Untuk mengetahui jangka waktu penyu akan menetas, termasuk mengamati proses keluar dari cangkang telur, petugas memasang kamera pengintai (CCTV). Dengan menggunakan teknologi tersebut, proses rangkaian awal inkubasi hingga peneluran setiap penyu terekam setiap saat.
Untuk mempermudah riset dan penelitian tentang satwa penyu, enumerator juga memasang kode batang yang dapat dipindai kapan saja guna kepentingan ilmu pengetahuan terkait penyu yang sedang diinkubasi.
Sementara itu, Kepala Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru KKP RI Rahmat Irfansyah mengatakan bahwa penerapan energi terbarukan secara hibridasi, yakni penggabungan antara PLTB dan PLTS di kawasan konservasi akan menjadi pelopor atau perintis implementasi energi terbarukan di kawasan konservasi, terutama yang berada di bawah naungan KKP RI.
LKKPN Pekanbaru mencatat penggunaan energi PLTB dan PLTS di kawasan konservasi perairan nasional sangat memungkinkan daripada penggunaan sumber energi lain. Selain didukung potensi angin dan sinar matahari, umumnya keberadaan kawasan konservasi perairan nasional juga jauh dari daratan, sehingga sulit untuk menggunakan sumber energi lain.
Penerapan energi terbarukan yang ramah lingkungan ini sangat relevan dengan potensi yang ada di kawasan konservasi perairan laut nasional.
Penetapan Pulau Bando sebagai bagian dari konservasi perairan nasional dilatarbelakangi riset seorang ilmuan asal Jerman yang melakukan penelitian di kawasan perairan Pieh dan sekitarnya pada 1998. Kala itu, dosen asal Jerman mendapati perairan di Pulau Pieh dan sekitarnya ditumbuhi beragam jenis terumbu karang yang subur dan masih terjaga.
Hal itu juga diperkuat oleh dorongan salah satu perguruan tinggi di Ranah Minang yang menyarankan agar kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi nasional mengingat keberadaan terumbu karang di perairan itu tumbuh dengan baik, termasuk biota laut lainnya.
Selain penyu dan terumbu karang, KKP RI juga berhasil mengidentifikasi 12 jenis mamalia laut yang hidup di Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya. Spesies mamalia laut tersebut adalah paus omura atau paus gembala laut (Balaenoptera omurai), paus pembunuh palsu dan paus kepala melon.
Kemudian lumba-lumba pemintal kerdil, lumba-lumba pemintal, lumba-lumba hidung botol, lumba-lumba risso, lumba-lumba bungkuk, lumba-lumba hidung botol biasa, lumba-lumba fraser, serta lumba-lumba bercak.
Dengan besarnya potensi alam bawah laut, pemerintah mengedepankan konsep pentahelix dalam memaksimalkan Kawasan Konservasi Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya. Konsep ini tergolong berhasil karena praktik buruk perburuan telur penyu yang dulunya marak dijumpai dan dijual bebas di Kota Padang, kini teratasi dengan baik.
Wisata survival
Untuk menuju Pulau Bando, wisatawan atau peneliti dapat menaiki perahu dari Pantai Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman. Estimasi perjalanan dari bibir muara menuju Pulau Bando berkisar 1 jam 20 menit. Jika beruntung, wisatawan akan mendapati kelompok lumba-lumba yang melompat bebas di sekitar perairan tersebut.
Sebelum Pulau Bando diberdayakan sebagai wisata survival atau wisata bertahan di alam liar, para turis mancanegara menyasar Pulau Toran sebagai tujuan utama, namun seluruh aktivitas wisata tersebut dihentikan saat COVID-19 melanda dunia.
Kemudian, pada 2020, LKKPN Pekanbaru bekerja sama dengan Kelompok Konservasi Raja Samudera, sebuah komunitas pecinta laut untuk menggarap potensi Pulau Bando, sebagai wisata survival.
Mengingat Pulau Bando sebagai kawasan konservasi nasional, KKP RI membatasi jumlah tamu asing yang berkunjung, sesuai daya dukung dan daya tampung pulau tersebut. Umumnya, pelancong luar negeri berasal dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa, timur tengah, dan Jepang.
"Tahun ini saja penerimaan negara bukan pajak dari wisata survival Pulau Bando sudah mencapai Rp100 juta dan ini termasuk angka yang besar," sebut Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir Ahli Muda, LKKPN Pekanbaru, KKP RI, Yuwanda Ilham.
Dewan Pembina Kelompok Konservasi Raja Samudera Irnal mengatakan telah berkolaborasi dengan KKP RI dan Pertamina Sumbagut sejak beberapa tahun lalu, terutama untuk penyelamatan penyu dan pengelolaan wisata survival.
Dalam kurun waktu sebulan, biasanya Irnal dan tiga temannya melayani dua hingga tiga tamu asing. Rata-rata wisatawan asing tersebut menginap selama sepekan hingga 12 hari di Pulau Bando.
Sebelum melakukan wisata survival di Pulau Bando, setiap turis harus melakukan registrasi hingga pemesanan melalui website yang telah disiapkan. Selain itu, Irnal dan rekan-rekannya juga mengandalkan koneksi di banyak negara untuk menawarkan paket wisata survival di kawasan konservasi tersebut.
"Konsep wisata ini natural karena merupakan kawasan konservasi perairan nasional," ujar dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menilik Pulau Bando konservasi alam pertama terapkan energi terbarukan