Simancuang satu perkampungan penduduk yang berada di lajur-lajur perbukitan rendah dan dialiri sungai-sungai kecil di Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat berjarak sekitar 160 kilometer dari Kota Padang.
Masyarakat yang tinggal dipinggir kawasan hutan dan berhadapan dengan bukit barisan itu terus menjalankan dan memfungsikan kearifan lokal yang dimiliki seperti belajar dari alam, terutama dalam konservasi kawasan hutan nagari dalam upaya penyelamatan lingkungan dan daerah tangkapan air.
Memperbaiki keadaan lingkungan dan menjaga kawasan hutan bagi masyarakat setempat sudah menjadi tekad bulat secara bersama. Hal itu tidak terlepas dari trauma masa lalu yang pernah kawasan tersebut dihantam bencana air bah atau galodo.
Bencana saat itu membuat tertimbun lahan persawahan warga setempat menjadi titik balik pemicu partisipasi masyarakat untuk lebih teliti dan waspada mengelola lingkungan dan potensi hutan mereka.
Oleh sebab itu, melalui kearifan lokal yang ada diawali dengan menata kawasan hutan agar sumber air sawah bisa terjamin sepanjang tahun. Sebab kawasan hutan yang menjadi daerah tangkapan air harus dipelihara dengan baik secara berkelanjutan.
Dalam pelestarian lingkungan tersebut, masyarakat Simancuang bukan saja sekadar punya kelompok pengelolaan hutan nagari. Namun memiliki kelompok Sekolah Lapangan (SL) untuk budi daya sektor pertanian yang mendapatkan pendampingan dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan Perkumpulan Petani Organik (PPO) Santiago untuk mengubah pola cocok tanam dan pemanfaatan potensi hutan nagari (desa adat).
Hasil SL telah mendorong masyarakat setempat mampu pengelolaan kompos yang bersumber dari bahan di lingkungan sekitar, dan menciptakan ramuan nabati (Herbisida) pengganti pestisida kimia.
Seorang petani Simancuang, Syafridal menyebutkan dalam pelatihan atau SL para petani diajarkan bagaimana macam pengetahuan seperti memilih bibit yang baik, pupuk organik berkualitas hingga pembasmi hama yang dibuat dari bahan-bahan alami.
Ia bersama petani lainnya telah mampu menciptakan hebisida alami yang berbahan air kelapa, ragi dan kulit kakao. Hasilnya diberi nama PERMAK (Perontok Semak) ini dapat merontokan gulma dan ilalang sehingga bisa menggantikan Roundup --bahan kimia--.
Cara pengolahannya, Syaridal menjelaskan bahan satu kelapa diambil airnya, lalu ditambah satu ragi dan kulit kakao, lalu kemudian direndam dalam lumpur.
Upaya yang dikembangkan masyarakat tersebut, semakin mendekatkan perkampungan ini menuju kawasan agro-ekowisata yang direncanakan oleh pemerintah setempat. Sebab, usaha bidang pertanian di perkampungan ini dominan sawah tadah hujan sejak 1970, dan hanya sebagian kecil sudah ada sawah jaringan irigasi.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Dicky Kurniawan menilai tingginya kesadaran masyarakat setempat dalam menjaga sumber air yakni kawasan hutan secara berkelanjutan.
Hal tersebut membuktikan kearifan lokal masyarakat masih berfungsi secara baik, sehingga hutan tetap terjaga dan ekonomi kerakyatan terus berkembang dari potensi alam yang ada.
Melalui pengembangan pertanian organik secara bertahap maka pola pertanian modern yang menggunakan pupuk dan pembasmi hama berbahan kimia perlahan mulai ditinggalkan mereka.
Alam yang dimiliki Simancuang cukup indah dengan kawasan hutan yang masih terjaga dan terkelola secara baik, maka dipilihnya jorong Simancuang sebaga lokasi percontohan dalam mengembangan pertanian padi organik. Hal ini pula, menurut dia, daerah itu sudah menuju kawawasan agro-ekowisata.
Apalagi, bisa didukung dengan pola pendidikan partisipatif yang sudah lama dijalani masyarakat sehingga dapat memanfaatkan bahan baku dari potensi alam untuk menunjang metode pertanian alami, dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Bentuk inovasi yang menonjol adalah pemanfaatan dan pengembangan kerajinan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti mengubah tumbuhan Resam dijadikan bahan kerajinan unik, ada hasil dalam bentuk gelang. Kemudian budi daya padi organik yang telah panen perdana pada awal pekan ketiga Maret 2017, juga mencipatakan herbisida pengganti partisida.
Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria saat panen perdana demplot atau percontohan padi organik tersebut ke depan menargetkan pengembangan pola tanaman padi organik seluas 20 hektare di Simancuang.
Selain itu, Simancuang dipersiapkan menuju kawasan agro-ekowisata berbasis alami atau organik karena syarat-syarat menuju ke arah sana semakin lengkap, katanya.
Tradisi dalam menjamu tamu ke kawasan itu, dirancang makan dengan alas daun pisang, minum menggunakan bambu dan patok kelapa.
"Menjadikan Simancuang sebagai kawasan agro-ekowisata bukan mimpin. Melihat tingkat kesadaran masyarakatnya cukup tinggi, baik dalam menjaga kelestarian lingkungan, pengembangan metode pertanian alami, membuat perencanaan secara partisipatif dan terbuka dengan pengetahuan dari luar. Buktinya sudah lama mendapat pendampingan dari KKI Warsi," kata Muzni.
Melalui pendampingan LSM peduli lingkungan dan PPO itu, maka kesadaran koletif masyarakat di desa adat itu sejak beberapa tahun terakhir semakin baik dalam menjaga dan pelestarian kawasan hutan dan lingkungan nagari mereka.
Justru itu, Pemkab Solok Selatan sangat mendukung pengembangan program tanam padi organik serta pupuk dan penemuan herbisida nabati, sehingga mempercepat tujuan untuk kemandirian pangan, sehat, murah, berkualitas.
Ia mengatakan ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budi daya bagi masyarakat setempat.
Berbuah Prestasi
Perkampungan yang posisi boleh disebut seperti kuali besar dengan dindingnya perbukitan itu berada dibagian timur Sumatera Barat yang berjarak sekitar 165 kilometer dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Padang Pariaman.
Kerja keras masyarakat yang memperhatikan dan terus menyelamatkan lingkungan dan kawasan hutan telah mengantarkan menerima prestasi tingkat nasional atas prakarsa yang dilakukan bersama tersebut.
Masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Simancuang, pada Agustus 2016 meraih juara 1 pada Lomba Wana Lestari yang diselenggarakan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Lomba Wana Lestari adalah salah satu metode penyuluhan yang dilaksanakan untuk menetapkan perorangan, kelompok atau aparatur pemerintah yang berprestasi dalam memberdayakan dan mengubah perilaku masyarakat dalam pembangunan bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Setelah melalui proses cukup panjang, berawal dari pengajuan dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat dan diverifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kata Ketua LPHN Simancuang, Edison (46).
"Alhamdulillah, bangga dan bahagia sekali bisa mengikuti acara tersebut, tidak pernah terbayang sebelumnya akan hadir di acara-acara besar atau momentum HUT Kemerdekaan RI," katanya.
Pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat tidak lepas dari pembelajaran dari alam yang pernah singgah ke nagari yang berada dilingkaran bukit itu.
Ketika masyarakat berniat melakukan pengelolaan kawasan hutan yang dapat mencegah bencana air banjir, sekaligus menjaga daerah tangkapan air, kenyataan yang dihadapi masyarakat Simancuang adalah adanya pelaku pembalakan liar yang masuk ke hutan mereka.
Cukup lama berada dalam keresahan, sampai akhirnya ada aturan perhutanan sosial yang mengakomodasi keinginan masyarakat untuk bisa terlibat dalam mengelola kawasan hutan.
Fasilitator Pendamping Nagari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Hultayuni Delseana, menyampaikan melalui pendampingan yang intensif oleh KKI Warsi masyarakat Simancuang mendapat legalitas pengelolaan hutan.
Maka dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan RI Nomor SK.573/Menhut-II/2011 menetapkan areal seluas 650 hektare untuk dikelola masyarakat setempat dengan Skema Hutan Nagari.
SK itu ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi dengan keluarnya SK Gubernur Sumatera Barat No. 522-43-2012 tanggal 19 Januari 2014 tentang Hak Pengelolaan Hutan Nagari Jorong Simancuang.
"Kami mengharapkan dengan adanya anugerah yang diberikan Menteri LH dan Kehutanan kepada masyarakat, semakin memacu semangat mereka untuk mengelola hutannya dengan baik," kata Hultayani.
Satu bukti bahwa mengelola hutan mampu menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya hutan, tentu tidak hanya untuk generasi saat ini tetapi juga generasi di masa mendatang. (***)