Pernahkah kalian melihat tuna netra atau penyandang keterbatasan yang lain? Ya, saya yakin kalian pasti pernah melihat meskipun hanya sekali atau dua kali. Entah di lingkungan sekitar rumah atau di jalan raya. Tidak menutup kemungkinan juga kalau dia adalah tetangga, teman, bahkan keluarga kita.
Lalu, bagaimanakah perasaan kalian saat melihat mereka dan keterbatasannya? Untuk pertanyaan yang satu ini, saya bisa menebak bahwa jawaban kalian akan beragam. Misalnya muncul rasa kasihan, empati, ingin membantu, dan ingin mempermudah mereka menjalani kehidupan. Tapi tidak menutup kemungkinan juga bermunculan rasa tidak peduli, emang gue pikirin, bukan urusan gue, bahkan jijik dengan keterbatasan mereka.
Sebenarnya, tujuan dari pertanyaan saya di atas adalah ingin mengecek sejauh mana kepedulian pada pembaca sekalian pada para penyandang keterbatasan (baca: disabilitas). Mengapa? karena sebagai manusia, apalagi yang dikaruniai Tuhan dengan kelengkapan jasmani dan rohani, kita seharusnya saling peduli terhadap satu sama lain.
Perbedaan fisik dan mental bukanlah halangan bagi kita untuk menutup diri dari kekurangan orang lain. Hidup di bumi yang sama, makan makanan yang sama, dan menghirup udara yang sama seharusnya menjadi lecutan bagi nurani kita.
Disabilitas diserap dari bahasa Inggris disability dengan bentuk jamak disabilities yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Jika dijabarkan, disabilitas merupakan kondisi di mana seseorang mengalami kekurangan atau ketidaksempurnaan dari segi fisik, mental, atau gabungan dari keduanya. Orang yang mengalami disabilitas disebut penyandang disabilitas.
Sebelumnya, istilah tersebut disebut dengan penyandang cacat. Namun, kata "cacat" dinilai berkonotasi negatif sehingga perlu ditemukan istilah lain yang baik. Akhirnya, ditemukanlah istilah disabilitas. Penggantian ini disepakati ketika Komnasham dan Kementerian Sosial mengadakan seminar dan focus group discussion yang diselenggarakan di Cibinong pada 8-9 januari 2009, di Hotel Ibis Jakarta pada 19-20 Maret 2010, dan di Grand Setiabudhi Hotel Bandung pada 29 Maret-1 April 2010.
Pandangan Tentang Disabilitas
Jujur saya katakan, masyarakat masih menganggap bahwa penyandang disabilitas adalah orang-orang yang tidak bisa melakukan apa-apa, butuh bantuan dalam segala hal, dan masa depan suram.
Persepsi ini jelas sekali terlihat dari persyaratan utama seleksi kerja, pendidikan, dan lain-lain yang berbunyi "sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat oleh dokter".
Secara langsung, syarat tersebut telah meminggirkan pendaftar disabilitas yang mungkin memiliki kekurangan dari segi fisik namun sebenarnya sangat kompeten dan potensial.
Pandangan yang lebih ekstrem lagi muncul ketika era Hitler. Pada zaman itu, terjadi pemusnahan terhadap penyandang cacat. Sungguh, pada zaman itu penyandang disabilitas hanya dipandang sebelah mata sebagai kaum yang tidak layak untuk tinggal di bumi ini.
Kalau mau membuka mata lebar-lebar, pandangan masyarakat yang demikian adalah salah besar. Banyak penyandang disabilitas yang mampu hidup mandiri dan "madecer" alias Masa Depan Cerah. Malah ada yang mampu mengukir prestasi menakjupkan. Misalnya saja Bapak Icun Suheldi, S.Pd yang seorang penyandang disabilitas.
Bapak Icun Suheldi adalah seorang penyandang disabilitas, tuna netra. Ia dilahirkan tanpa indra penglihatan yang sempurna. Namun, ketidaksempurnaan itu tidak membuatnya rendah diri.
Icun Suheldi malah membuktikan bahwa disabilitas bukanlah halangan untuk maju. Ini terlihat dari profesinya sebagai seorang guru di salah satu SLB di kota padang. Sungguh pekerjaan yang mulia sekali, walaupun dia menyandang disabilitas tidak mengurungkan niatnya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Selain itu beliau juga merupakan sosok aktivis di Kota Padang. Ini terbukti dengan terpilihnya sebagai ketua Persatuan Penyadang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Padang. Yang menyuarakan hak-hak para penyandang disabilitas, khususnya kota Padang.
Hal ini juga mendorong semangat Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas yang terdiri dari: Astri Dwi Khairani, Fadhlia Rahmi, Gesyca Rikhaflina dan Inne Dwika. dan di dukun oleh Ibu dosen Alna Hanana, M.Sc, Ibu Ghina Novarisa M.Si, membentuk sebuah gerakan sebagai bentuk kepedulian terhadap kaum Disabilitas kota Padang khususnya. Kegiatan kampanye yang bernama #RESPEKDISABILITAS.
Kampanye ini merupakan sebuah gerakan untuk menumbuhkan kesadaran sosial masyarakat Kota Padang, khususnya terhadap kaum difabel. Melihat kesadaran masyarakat di Kota Padang yang masih kurang peduli terhadap kaum disabilitas. Hal ini dapat dilihat dari trotoar khusus bagi penyandang disabilitas yang dibangun Pemkot Padang di Jl. Permindo Padang yang masih digunakan oleh masyarakat umum padahal sudah ada tertera simbol-simbol yang menegaskan bahwa fasilitas ini merupakan fasilitas untuk kaum berkebutuhan khusus. Bahkan yang lebih memprihatikan masih banyak masyarakat yang tidak tau fungsi trotoar tersebut.
Meski demikian, para penyandang disabilitas menilai jika fasilitas tersebut masih belum memadai. Selain tanpa pegangan, kemiringan trotoar juga diakui mengancam keselamatan mereka. Apalagi masyarakat umum yang masih berjalan di trotoar khusus penyandang disablitas. Tentu saja hal ini semakin mengganggu hak - hak mereka.
Mereka di balik respek disabilitas adalah para mahasiswa pejalan kaki (pendestrian) yang telah melewati berbagai kondisi jalus pendestrian perkotaan yang mana belum bisa dinikmati kenyamanannya oleh semua pendestrian terutama penyandang disabilitas. Sering kali karena fasilitas yang kurang memadai atau pencampuran fungsi jalur pendestrian dengan aktivitas yang lain.
Pandanglah mereka sebagai bagian dari kehidupan kita yang harus diperhatikan kebutuhan dan fasilitasnya agar mampu memberi kemudahan pada saudara kita itu, dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Saatnya membangun kesadaran demi kesetaraan #RESPEKDISABILITAS . (*)