Padang, (ANTARA) - Minangkabau, yang menganut adat keturunan secara matrilineal atau berdasarkan alur keturunan ibu, memiliki alam yang indah, dan budaya adat yang kuat disebut "Ranah Bundo Kanduang". Seiring perkembangan zaman, adat tersebut tetap terjaga, dan dipegang kuat oleh masyarakatnya, namun demikian untuk kondisi alamnya, negeri yang selama ini memiliki alam yang indah tersebut, sepanjang tahun 2012 tidak henti-hentinya tertimpa bencana, seperti bencana ekologis. Bencana alam yang melanda Provinsi Sumatera Barat, sepanjang tahun 2012 seperti tanah longsor, banjir bandang, yang terus menerus terjadi, disamping ancaman gempa dan tsunami yang menjadi topik utama secara nasional bahkan hingga dunia internasional. Karena daerah tersebut secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan dilalui lempeng Indo Australia-Eurasia yang aktif bergerak empat hingga enam sentimeter setiap tahunnya tahun.
Saat ancaman gempa dan tsunami banyak diteliti oleh ilmuan berbagai negara, ancaman bencana yang terus terjadi sejak Januari hingga awal pertengahan Desember 2012, di Provinsi Sumatera Barat. Dari catatan sepanjang tahun 2012, setidaknya di Minangkabau terjadi sembilan kali bencana alam berupa banjir yang mengakibatkan ratusan rumah rusak, baik itu ringan, sedang, hingga berat, dengan kerugian materil mencapai miliaran rupiah. "Banjir yang dapat dikatakan besar yang terjadi di Sumbar tersebut, mulai dari yang terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman Barat, Malalo, Kabupaten Solok Selatan, Kota Solok, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Pasaman Timur, Kabupatan Padang Pariaman, dan juga Kota Padang beberapa waktu lalu," kata Kepala Pusat Pengendalian Operasi BPBD Sumbar Ade Edwar. Bencana alam yang pertama terjadi di Sumbar pada awal 2012 berupa longsor di Kecamatan Jorong Para Lebang Tanjung Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota terjadi pada Sabtu (7/1) pukul 16.30 WIB. Setelah benca alam yang memakan korban jiwa tersebut, juga terjadi banjir bandang di Kabupaten Pasaman akibat luapan sungai Batang Malampah, pada Rabu 22 Februari 2012 di kecamatan Simpang Alahan mati dan Tigo Nagari sekitar pukul 17.00 WIB.
Beberapa bulan setelah bencana alam yang terjadi di Kabupaten Pasaman tersebut, pada Rabu (29/2) banjir menggenangi Kota Padang dan Kabupaten Padangpariaman, setelah hujan lebat mengguyur wilayah itu. sementara di Kota Padang banjir menggenangi sekitar 70 persen wilayah. Beberapa bulan kemudian, pada 24 Juli 2012, Badan SAR Nasional mencatat tujuh titik dilanda air bah akibat hujan lebat dan angin kencang yang melanda Kota Padang, diantaranya kawasan Limau Manis, Batu Busuk, Kampung Koto, Cengkeh, Padang Besi, Kalumbuk, dan Tunggul Hitam. Akibat bencana alam air bah saat warga sedang melaksanakan buka puasa bersamaan dengan hujan deras yang mengguyur kota itu, lima rumah hanyut dibawa arus sungai, selain itu sebanyak 50 orang warga sempat terisolasi di kawasan Limau Manis, RT 04 RW 08, Jalan Kampus Unand, Kecamatan Pauh. Berselang satu bulan, kembali terjadi longsor, di Desa Ulu Air, Kecamatan Harau, jalan yang menghubungkan Kabupaten Limapuluh Kota, dengan Provinsi Riau terputus.
Berdasarkan data BNPB dampak dari banjir bandang dan longsor yang terjadi di kota Padang pada Rabu 12 September 2012 pukul 16.00 Wib tersebut, empat orang dilaporkan meninggal dunia, di Kecamtan Pauh, akibat timbunan longsor. Tidak hentinya bencana alam melanda Sumbar, juga terbukti dengan kembali terjadinya banjir bandang pada Selasa 30 Oktober 2012, dimana bancana alam tersebut melanda Kecamatan Sungai Pagu dan Koto Parik Gadang Diateh (KPGD) Kabupaten Solok Selatan, yang mangakibatkan 3.770 jiwa dari 827 keluarga terkena dampaknya. Data Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Solok Selatan, merinci, dari 3.770 jiwa tersebut 3.005 orang (612 KK) di Kecamtan Sungai Pagu dan 765 orang (215 KK) di KPGD, dan beruntung tidak ada korban jiwa dari bencana tersebut. Setelah Solok Selatan, Kamis (1/11) banjir bandang dan memporak-porandakan enam nagari di Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, akibat hujan yang mengguyur derah itu mulai Rabu (31/10) hingga dini hari, yang menyebabkan Batang Sumpu meluap, meski tidak ada korban jiwa dalam bencana tersebut, kerugian diperkitakan mencapai Rp8 miliar.
Catatan panjang bencana alam seperti banjir dan tanah longsot tersebut, baru sebagian dari kejadian-kejadian lain yang mengancam Sumbar, seperti terus menerusnya terjadi Gunung Merapai, di Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi, mengeluarkan asap putih, yang dapat sewaktu-watu mengancam masyarakat yang bermukim dilereng gunung tersebut, dengan status waspada. Sudah Prediksi Terkait bencana yang terus terjadi di Sumbar tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat, sudah memprediksi bencana ekologis di provinsi itu sejak lima tahun lalu. Direktuf Eksekutif Walhi Sumbar Khalid Saifullah, mengatakan, Walhi sejak 2007 telah melakukan pengkajian terhadap akan adanya potensi bencana ekologis di provinsi itu dan kini terbukti dengan banjir bandang dan juga tanah longsor yang semakin sering terjadi dalam beberapa bulan terakhir. "Kita sejak 2007 sudah menyampaikan akan potensi bencana ekologis ini berdasarkan pantauan dan temuan-temuan di lapangan terhadap banyaknya pembalakan liar, pembukaan lahan perkebunan, maupun adanya lahan pertambangan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dan daya dukungnya," katanya. Dia menambahkan, potensi bencana ekologis tersebut jika tidak segera diantisipasi oleh pemerintah maupun penegak hukum dan kesadaran masyarakat, tidak tertutup kemungkinan setiap bulannya akan ada longsor, banjir, dan bencana alam lainnya. Terkait bencana alam tersebut, Walhi Sumbar juga menjelaskan, meski telah ada ada kesepakatan atau dokumen tentang pengaturan daerah aliran sungai yang ditandatangani oleh pemerintah daerah. Selain Walhi, Guru Besar Universitas Andalas Prof H Novirman Jamarun, menilai bencana ekologis seperti banjir bandang yang kerap terjadi di Sumbar tersebut, akibat adanya pembalakan liat, selain karena curah hujan yang tinggi. "Berpedoman kepada potongan kayi besar yang bergelimpangan dan penyebab serta hanyutnya jembatan saat benjir, saya benilai dan menyimpulkan, bahwa penyebab terjadinya banjir bandang banyak diakibatkan maraknya pembalakan liar di hutan-hutan yang menjadi penyanggah serta daerah resapan air," keta Novirman. Sementara itu, investigasi Sekretariat Bersama Pecinta Alam (Sekber PA) Padang pasca banjir bandang pada 24 Juli 2012, juga menyatakan, bencana alam tersebut juga diakibatkan masih adanya pembalakan liar. Koordinator Lapangan Sekber PA, Rico Rahmad, menyatakan, setiap hari terjadi pembalakan liar di kawasan Batu Busuak, tepatnya di aliran Sungai Padang Karuah dan Sungai Padang Janiah. Setiap hari rata-rata sekitar 15 meter kubik kayu dihasilkan dari praktek pembalakan liar ini. "Dalam sehari beroperasi sekitar 15 unit chinshaw dengan 50 orang pekerja, untuk mengangkutnya melalui aliran sungai, dimana setiba di bendungan PLTA Kuranji milik PT Semen Padang, kayu-kayu tebangan liar ini dihanyutkan ke hiliran air," ujar Rico. Sadar akan potensi bencana alam tersbebut, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno pada akhir tahun 2011 pernah menyatakan pemerintah provinsi menghadapi tujuh permasalahan dalam pengelolaan bidang kehutanan di daerah yang memiliki kawasan hutan seluas 2,6 juta hektare itu. Selain itu, meningkatnya kebutuhan kayu baik untuk Sumbar maupun luar provinsi ini sehingga memicu terjadinya penebangan liar dan perdagangan liar hasil hutan tersebut. Indikasi meningkatnya penebangan liar terlihat dari keberadaan "sawmill" ilegal (industri pengergajian kayu) dan sering terjadi perambahan dan ancaman kebakaran hutan. Mengingat permasalahan yang ada itu, Irwan Prayitno pada 2 November 2012 meminta instansi terkait di kabupaten dan kota membersihkan daerah aliran sungai (Das) yang berpotensi menimbulkan bencana banjir bandang di wilayah tersebut. "Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi sudah diperintahkan untuk membuat surat imbauan kepada kabupaten/kota supaya melakukan penelusuran dan membersihkan aliran sungai yang berpotensi memicu banjir bandang," kata Irwan. BPBD Sumbar mengaku untuk tanggap darurat, mengandalkan dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), karena kurangnya anggaran yang ada dalam APBD baik provinsi Sumbar maupun kabupaten dan kota untuk kebencanaan tersebut. "Saat ini penganggaran dalam APBD belum berpihak pada kebencanaan, sebab untuk provinsi saja anggaran yang ada hanya sekitar Rp7 sampai Rp8 miliar setiap tahunnya, sedangkan untuk tanggap darurat saja, kita butuh dana yang besar, sebab itu kita masih tergantung pada BNPB," kata Kepala Pusat Pengendalian Operasi BPBD Sumbar Ade EdwarAde. Dia menambahkan, tidak hanya itu, untuk penanggulangan bencana, tidak jarang anggota dilapangan memakai uang saku mereka sendiri, sebab kurangnya dana yang ada di BPBD. Dari data BPBD dalam rentang Januari hingga awal Desember 2012 telah mencairkan dana Rp50 miliar untuk operasi kedaruratan bencana didaerah itu, saat terjadi beberapa kali banjir, dan sebagian besar ditanggung oleh BNPB. (*) |