Kehilangan Kaki Kanan Alfatira Kini Menulis Buku

id Kehilangan Kaki Kanan Alfatira Kini Menulis Buku

Tiga tahun berlalu, mungkin ingatan sebagian warga Kota Padang, Sumatera Barat akan gempa dahsyat 30 September 2009 perlahan mulai berangsur lepas. Namun tidak bagi Alfatira Gema (12) yang harus merelakan kaki kanannya hancur dan harus diamputasi hingga di atas lutut.

Meski selamat, gempa yang terjadi pada Rabu sore sekitar pukul 17.15 WIB dengan kekuatan 8,9 Skala Richter tersebut kini membuat sosok yang biasa disapa Tira itu harus menggunakan kaki palsu.

Namun demikian, keterbatasan yang dimiliki tidak membuat Tira kehilangan semangat hidup untuk menjalani masa depan. Selain masih melakoni hobi menyanyi, ia kini juga menulis buku dengan karya pertama berjudul "Never Give Up" telah terbit pada Oktober 2011.

Buku yang diterbitkan Dar Mizan itu berisi sebagian kisah tentang gempa terjadi dan menyebabkan kaki kanannya remuk tertimpa dinding bangunan Bimbingan Belajar GAMA Padang. Buku itu bahkan telah dicetak ulang hingga tiga kali.

Tidak hanya itu, Tira yang kini menjadi siswi SMP Negeri 8 Padang juga mendapat anugerah penghargaan khusus bagi anak penyandang tunadaksa yang bersikap penuh keteladanan dari MURI.

Ia juga merupakan penerima beasiswa dari Pertamina untuk menyelesaikan pendidikan hingga menjadi dokter.

Kini Tira tengah mempersiapkan buku kedua yang telah dikirim ke penerbit. Buku itu bercerita tentang petualangan yang dijalaninya.

Melalui buku ini Tira ingin berbagi semangat dan motivasi kepada seluruh anak-anak Indonesia agar tetap optimistis menjalani hidup dan jangan menyerah.

Ia berharap anak Indonesia selalu berterima kasih kepada Tuhan dan memiliki keyakinan di dalam diri sendiri serta terus berprestasi.

Tira sebelumnya kerap tampil menyanyi di televisi lokal. Bahkan usai diamputasi, ia sempat diundang menyanyi sebagai bintang tamu dalam ajang pencarian bakat Idola Cilik di salah satu TV nasional.

Penampilannya memukau dan membuat penonton terharu. Ia melantunkan lagu dengan tenang dan penghayatan penuh.

Bahkan penyanyi Afgan Syahreza sampai kehilangan suara karena haru, ketika tampil berduet menyanyikan lagu "Tuhan" dengan Tira pada acara malam penggalangan dana untuk korban gempa Padang di Taman Ismail Marzuki.

Dara kelahiran 13 April 1999 itu tampil sebagai ikon untuk membangkitkan kembali semangat dan berbagi inspirasi usai Ranah Minang porak-poranda diguncang gempa dan berkesempatan bertemu Presiden.

Usai menjalani perawatan di Jakarta, Tira yang sejak kelas 3 SD suka menulis mengutarakan keinginan kepada papanya Anuar.

Karena kondisinya sekarang tidak mungkin membutnya menang lomba menyanyi seperti dulu, Tira ingin lebih fokus menulis, kata dia yang disambut baik papanya.

Ia mengaku hari-harinya mulai banyak diisi menulis saat menjalani perawatan oleh psikolog Kasandra di Jakarta.

Pada awalnya, Tira mencoba menulis kisahnya dan mengirim ke penerbit. Tiga bulan berselang penerbit Dar Mizan memberi sinyal akan menerbitkan bukunya.

Akhirnya pada Oktober 2011 buku pertama Tira resmi diterbitkan.

Mukjizat Tuhan

Anuar menyatakan, kejadian yang menimpa putrinya merupakan mukjizat dari Tuhan sehingga Tira dapat selamat.

Ia menceritakan, usai gempa menguncang Kota Padang pada Rabu, 30 September 2009, sekitar pukul 17.15 WIB, ia bergegas menjemput Tira yang tengah mengikuti bimbingan belajar di GAMA di Jalan Proklamasi Padang.

Anuar sampai tiga kali bolak-balik menyusuri jalan dari rumah ke tempat bimbingan belajar mencari-cari dan berharap Tira ada di jalanan.

Namun, Anuar terkejut ketika melihat gedung bimbingan belajar itu telah ambruk kemudian berusaha memastikan keadaan putrinya seraya berdoa agar selamat.

Akhirnya, ia naik ke atas reruntuhan bangunan dan di tengah gelapnya suasana waktu itu akibat aliran listrik terputus, samar-samar ia melihat putrinya berada di bawah dalam kondisi menelungkup dengan kondisi kaki terhimpit dinding balok.

Aksi penyelamatan dicoba dilakukan langsung oleh Anuar. Ia langsung turun dan mencoba mengevakuasi Tira.

"Saat itu orang pada lari semua dan tidak ada relawan, sehingga saya bersama saudara saya harus berjuang mengeluarkan Tira," kenangnya.

Pada awalnya Anuar langsung mencoba mengeluarkan Tira, namun karena khawatir bangunan akan kembali runtuh, ia dibantu saudaranya.

"Alhamdulillah Tira berhasil dievakuasi dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Tentara Reksodiwiryo dengan kondisi kaki hancur," kata dia.

Namun kondisi rumah sakit juga memprihatinkan karena tidak ada peralatan dan fasilitas yang memadai. Anuar berada dalam pilihan sulit antara memilih kaki atau nyawa Tira selamat dengan jalan kakinya harus diamputasi karena obat dan persedian darah tidak ada serta tidak mungkin dilakukan upaya lain.

Tidak hanya sekali, akhirnya amputasi dilakukan sampai tiga kali hingga di atas lutut kaki kanan Tira.

Saking terbatasnya kondisi di rumah sakit, Anuar sampai membawa genset dari rumah agar ruang perawatan Tira menjadi terang mengingat saat itu arus listrik terputus.

Keesokan harinya, Tira dijenguk oleh tim relawan antara lain Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal dan dokter ahli bedah tulang dan traumatology dari Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP) Jakarta Dr Norman Zainal.

Anuar menanyakan bagaimana nasib anaknya kepada dokter dan disarankan untuk dibawa ke Jakarta agar mendapatkan perawatan yang lebih memadai.

Saat itu Anuar bertanya berapa biaya penyembuhan dan dijawab dokter Norman bisa ratusan juta rupiah.

Namun, akhirnya dokter Norman bersedia menjamin dan memperjuangkan biaya pengobatan Tira dan langsung diputuskan hari itu segera diterbangkan ke Jakarta.

Berkat bantuan Norman dan rekannya, kaki kiri Tira berhasil diselamatkan dari amputasi dengan melakukan operasi penyambungan kembali.

Tira menjalani perawatan usai operasi penyambungan kaki hingga selama 3,5 bulan dilanjutkan dengan pendampingan oleh psikolog anak Seto Mulyadi selama lima bulan.

Ketika itu, Kak Seto ingin Tira menjadi percontohan penanganan anak korban gempa yang dirawat dengan baik meski mengalami kecacatan namun tetap dapat mengembangkan potensi yang dimiliki.

Hasilnya, berkat bantuan Kak Seto Tira mendapatkan beasiswa pendidikan dari Pertamina untuk menyelesaikan studi hingga menjadi dokter.

Kembali ke Padang setelah dirawat sembilan bulan untuk proses pemulihan, Tira memilih fokus menulis.

Anuar menyerahkan pilihan tersebut kepada putrinya apalagi sebelumnya Tira dikenal suka membaca dan telah memiliki pustaka pribadi di rumah.

Perjuangan Tira telah memberikan inspirasi untuk berusaha mewujudkan apa yang dicita-citakan walaupun memiliki keterbatasan, namun itu bukan penghalang menuju pintu kesuksesan. (*)