Rencana Program Departemen Komunikasi dan Informasi untuk membentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penyadapan menuai kritik dari sejumlah pihak. Kritik pedas itu dilancarkan oleh sejumlah akademisi, tokoh-tokoh LSM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta penggiat anti korupsi. Pihak yang menentang adalah pengguna RPP tersebut yaitu KPK, karena jika dinyatakan berlaku maka dapat mengurangi kemampuan KPK dalam memberantas korupsi, khususnya pada tindak pidana suap. Secara yuridis juga, RPP tersebut telah melanggar peraturan yang berada di atasnya, yakni Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Maka terkait dengan itu, KPK telah memberikan masukan ke Departemen Hukum dan HAM dan juga ditembuskan pada Menteri Komunikasi dan Informatika. Setidak-tidaknya ada delapan masukan yang diberikan KPK adalah terkait dengan pengadaan, pengawasan. Hal yang paling krusial adalah soal izin penyadapan, (Kompas, (12/12).Juru bicara KPK Johan Budi mengatakan, dasar hukum KPK dalam melakukan penyadapan adalah UU No 30 Tahun 2002. Undang-undang ini secara jelas disebutkan, penyadapan dapat dilakukan sejak kasus dalam penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Namun, dalam RPP hanya disebutkan bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan ketika kasus sudah berada dalam tahap penyidikan. Jika ketentuan RPP ini disetujui, maka otomatis melanggar UU KPK. Padahal, asas hukum mengatakan bahwa sebuah peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.Apalagi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 secara jelas menyatakan bahwa terkait dengan penyadapan harus diatur dengan Undang-undang. Menurut Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Sumatera Barat, Saldi Isra, RPP tentang penyadapan merupakan bagian dari usaha sejumlah pihak yang tidak senang dengan KPK untuk melemahkan komisi itu. Jika sebelumnya serangan langsung diarahkan ke jantung, dengan mengkriminalisasi pimpinannya, yakni Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, sekarang serangan dilakukan dengan memutar dahulu melalui sayap, sebab serangan langsung ke jantung ternyata gagal, (Kompas, 12/12).Masyarakat sudah memahami berbagai modus untuk melemahkan KPK dalam hal pemberantasan korupsi. Apabila jalan depan dengan mengkriminalisasi orang-orang yang berada di dalamnya tidak mempan, maka di pilih jalan belakang dengan mengeluarkan RPP tentang penyadapan yang dapat menghambat laju pemberantasan korupsi oleh KPK. Jika ini benar-benar kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Lantas, siapa pelakunya? Hingga saat ini tidak seorang pun yang bertanggung jawab terhadap upaya kriminalisasi tersebut. Padahal, kedua pimpinan KPK tersebut telah mengalami beban psikologis yang cukup berat. Seharusnya, dalam negara yang berdasarkan atas hukum, kasus ini harus diteruskan di pengadilan. Masyarakat akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.Namun, Presiden membentuk Tim 8 yang salah satu rekomendasinya, meminta kepada aparat kepolisian untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3), kepada Kejaksaan untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), pada Kejaksaan Agung untuk mendefonir (dikesampingkan demi untuk kepentingan umum). Namun, Kejaksaan mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan SKPP terhadap kasus ini, dan secara hukum telah remi tidak diteruskan di pengadilan.Walaupun mendapat perlawanan dengan mengajukan gugatan praperadilan oleh pemohon yang diwakili oleh Komunitas Advokat yang beranggotakan 45 orang, LSM Hajar Indonesia, LSM Lepas, dan PPMI yang diwakili oleh Eggy Sudjana, (Republika, 21/12).Namun, dalam putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak mengabulkan gugatan pemohon, dengan alasan para pihak bukan subjek hukum yang patut untuk mengajukan gugatan praperadilan terhadap kasus ini.Penulis berpendapat, dua hal di atas adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak ingin melihat negara ini bersih dari korupsi, mereka sengaja ingin melemahkan KPK, dengan bagaimana pun caranya. Mustinya, dalam pemberantasan korupsi, harus dibuat regulasi atau aturan yang mendorong KPK bergerak cepat memberantas korupsi, bukan sebaliknya memperlambat dan memperumit jalur birokrasi, terutama yang berhubungan dengan penyadapan. Kasus kasus korupsi yang berhasil dibongkar oleh KPK selama ini bermula dari penyadapan yang dilakukan pada pejabat negara tertentu yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi. Dapat dibayangkan, jika ini dikebiri lagi maka akan tamatlah riwayat KPK. Bagaimana misalnya, jika KPK melakukan penyadapan pada malam hari, maka dapatkah Ketua Pengadilan mengeluarkan izin pada malam tersebut. Padahal, jam kerja pengadilan hanya berlangsung hingga sore hari.Artinya, jam kerja aparatur birokrasi terbatas, sedangkan KPK tidak terbatas, karena korupsi dapat datang kapan dan dimana saja. Jika ini yang terjadi, tentu izin penyadapan akan didapatkan keesokan harinya, maka dalam rentang waktu tersebut mungkin saja kegiatan tersebut telah usai dan koruptor yang akan disadap telah duluan kabur ke luar negeri.Kemudian, ditambah lagi dengan rumitnya prosedur di lembaga peradilan, mulai dari jadwal sidang yang sering terlambat, berkeliarannya makelar-makelar kasus (Markus), jual beli putusan, suap-menyuap, putusan yang sulit diakses oleh pihak berperkara. Jangankan masyarakat, Komisi Yudisial (KY) saja yang ingin meminta salinan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tidak diberikan. Apalagi, masyarakat umum. Fakta ini akan semakin memperlambat penanganan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini. Upaya-upaya tersebut tidak perlu terjadi, karena korupsi merupakan perilaku terkutuk, yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah karena korupsi para pejabatnya, sumber-sumber kekayaan alam hanya dinikmati oleh sekelompok orang, dan tidak terbagi secara adil pada masyarakat yang kekurangan.Sekali lagi, RPP penyadapan harus dibatalkan karena jika tetap diberlakukan akan melanggengkan penyakit korupsi di negeri ini. Jika tetap diberlakukan maka akan kontradiktif dengan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II yaitu, focus pada pemberantasan korupsi. Reformasi birokrasi harus diperluas, bukan saja di Dapartemen Keuangan, namun di Lembaga Kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga Mahkamah Agung (MA), Departemen Hukum dan HAM harus menjadi prioritas utama pemerintah saat ini. Ide besar untuk mewujudkan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum harus segera diwujudkan. Penyebab kebobrokan penegakan hukum di negeri ini adalah, karena Markus di lembaga tersebut, hal inilah yang harus dibasmi terlebih dahulu, salah satunya memangkas birokrasi agar birokrasi tersebut ramping dan tidak gemuk. *Penulis adalah wartawan portal "antara-sumbar.com" Provinsi Sumatera Barat Perwakilan Pasaman.
Berita Terkait
Petani Tembakau: RPP Kesehatan terlihat dipaksakan
Jumat, 6 Oktober 2023 19:01 Wib
ABK Indonesia terjebak perbudakan modern di laut
Rabu, 14 April 2021 11:03 Wib
Menyongsong alek demokrasi serentak 2019, KPU dirikan RPP
Jumat, 13 April 2018 23:48 Wib
Menko Polhukam: RPP ASN Diajukan Ke Presiden
Jumat, 21 Oktober 2016 18:03 Wib
Kejaksaan Usulkan RPP Pengecualian Jaksa Sebagai ASN
Jumat, 4 Maret 2016 17:43 Wib
Pengamat Dukung Harmonisasi RPP Perizinan Pengawasan Keramaian Umum
Rabu, 13 Januari 2016 16:36 Wib
OPSI: RPP Pengupahan Banyak Rugikan Kepentingan Pekerja
Jumat, 25 September 2015 13:16 Wib
Pemerintah Siapkan Tiga RPP Terkait Energi Baru
Kamis, 30 Juli 2015 16:21 Wib