OPSI: RPP Pengupahan Banyak Rugikan Kepentingan Pekerja

id Kepentingan Pekerja

Jakarta, (Antara) - Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menilai rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Pengupahan yang diperkirakan sudah ada di meja presiden Jokowi untuk ditandatangani, banyak yang merugikan kepentingan pekerja.

"Banyak merugikan kepentingan pekerja karena pembahasan RPP Pengupahan itu tidak melibatkan pihak pekerja atau federasi atau konfederasi serikat pekerja (SP)," kata Sekjen OPSI Timboel Siregar di Jakarta, Jumat.

Dikatakan, seharusnya pemerintah mengikuti aturan pembuatan regulasi yang diamanatkan UU 12/2011 yaitu dengan membuka ruang publik memberikan masukan terhadap RPP pengupahan ini serta membicarakannya dengan pengurus federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB).

"RPP pengupahan merupakan amanat pasal 97 UU 13/2003. Ini artinya selama 12 tahun pemerintah abai menjalankan amanat UU 13 tersebut," tegas Timboel.

Sekjen OPSI membongkar beberapa pasal dari RPP Pengupahan yang merugikan kepentingan pekerja, di antaranya konstruksi isi Pasal 11 tidak mempertimbaangkan masa kerja sehingga bisa saja pekerja yg masa kerjanya 5 tahun memiliki upah yang sama dengan pekerja satu tahun bila pekerjaan yang dilakukan sama nilainnya. Ini tidak adil. Harus ada penghargaan upah terhadap pekerja yang lebih lama bekerja.

Selain itu, dalam Pasal 14 yang bercerita tentang sturuktur dan skala upah tetapi tidak disebutkan bahwa pekerja berhak mengetahui struktur dan skala upah yang berlaku di perusahaan. Pasal 14 hanya menyatakan struktur dan skala upah disampaikan ke dinas tenaga kerja saja ketika pengusaha menyampaikan Peraturan perusahaan atau PKB.

Banyak masalah pengupahan terjadi karena ketidaktransparanan pengusaha tentang struktur dan skala upah. Dengan terbukanya struktur dan skala upah maka pekerja akan tertantang untuk lebih bekerja produktif. Tidak transparannya struktur dan skala upah ini maka sering terjadi diskriminasi upah.

Selain itu, pasal 21 membuka ruang TKA (tenaga kerja asing) dibayar dengan mata uang asing. Pasal 21 ayaat (2) sehaarusnya menyatakaan pembayaran upah dilakukan dengan mata uang rupiah saja sesuai dgn perintah pasal 21 UU Mata Uang (UU no.7/2011). Selain itu bila ada pekerja yang dibayar dengan mata uang asing seperti dolar maka akan tercipta ketidakadilan.

Sekjen OPSI Timboel Siregar mengemukakan pula bahwa Pasal 24 menjadi ancaman bagi pekerja yang melakukan mogok dengan legal. Bahwa sesuai UU 13/2003 mogok yang legal pekerja tetap mendapatkan upah.

Pada Pasal 24 ayat 4 c disebutkan upah dibayarkan kpd pekerja yang sedang menjalankan tugas SP dengan persetujuaan pengusaha. Mogok legal adalah hak buruh yang dijamin UU 13/2003. Dengan adanya pasal 24 ayat 4 c tsb, artinya mogok legal pasti tidak akan disetujui pengusaha. Dan oleh karenanya pekerja yang sedang mogok legal terancam tidak dibayar upahnya. Mogok legal selama ini tetap dibayaarkan upaahnya, ujar Timboel.

"Konstruksi hukum dari RPP Pengupahan ini hanya menempatkan upah sebagai tanggungjawab pengusaha semata. Harusnya RPP ini juga mengatur tentang kewajiban pemerintah untuk mempertahankan upah riil pekerja. Bahwa masalah upah selama ini terjadi akibat kegagalan pemerintah menstabilkan harga-harga," kata Sekjen OPSI itu. (*)