Jakarta, (Antara) - Pemerintah dan Komisi XI DPR RI telah menyepakati sebanyak 308 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) rancangan undang-undang (RUU) tentang Usaha Perasuransian.
"DIM usulan pemerintah ada 556 lalu ditambah DIM usulan DPR sebanyak 41 sehingga total DIM menjadi 597, dari total itu sudah ada 308 DIM yang disepakati oleh pemerintah dan DPR," kata Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan itu dalam rapat kerja (raker) Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan mengenai pandangan pemerintah terhadap DIM RUU tentang Usaha Perasuransian di Gedung Nusantara I DPR.
Menurut dia, untuk DIM yang belum disepakati akan dibahas dalam rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (Panja RUU) Usaha Perasuransian yang akan segera dibentuk.
"Tentunya kalau nanti ada perubahan dalam pembahasan DIM yang terkait subjek yang sudah disepakati akan dibahas kembali. Kemudian, akan ada pembahasan mengenai subjek yang belum disepakati," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Menteri Keuangan Chatib Basri mengapresiasi Komisi XI DPR RI yang telah menyepakati 308 DIM yang tercantum dalam RUU tentang Usaha Perasuransian.
Chatib mengatakan pembuatan RUU tentang Usaha Perasuransian bertujuan agar RUU tersebut dapat digunakan di masa mendatang sebagai landasan hukum yang kuat dalam pengelolaan kegiatan usaha perasuransian di Indonesia.
Dia menjelaskan bahwa ada beberapa materi pokok yang tertuang dalam RUU Usaha Perasuransian yang masih perlu dibahas, antara lain mengenai kedudukan usaha perasuransian dalam perekonomian nasional, korelasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penerapan standar praktik terbaik.
Selanjutnya ruang lingkup usaha perasuransian, kepemilikan asing dalam usaha perasuransian, pemodalan, produk asuransi hibrida, dan tentang keagenan.
Selain itu, kata dia, RUU itu juga dimaksudkan untuk mencegah
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, mencegah praktik monopoli, serta memberi perlindungan bagi pemegang polis.
"Hal-hal tersebut perlu dibahas lebih lanjut secara cermat sebab itu sudah menjadi fokus bersama terkait industri asuransi nasional," ujarnya.
Menkeu mengatakan terdapat beberapa substansi yang bersifat prosedur administratif yang juga perlu dibahas, antara lain urgensi penggantian Undang-Undang No.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Sistematika RUU Usaha Perasuransian.
Berkenaan dengan urgensi penggantian Undang-Undang No.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, menurut dia, Komisi XI dan pemerintah menilai perlunya RUU tersebut disusun secara komprehensif dan disesuaikan dengan tantangan usaha asuransi terkini, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Sebagaimana telah dituangkan dalam naskah akademiknya, kata Chatib, RUU Usaha Perasuransian merupakan langkah antisipatif dalam rangka penyesuaian regulasi terkait perkembangan dan dinamika industri perasuransian, penyelarasan dengan standar praktik terbaik internasional dan peningkatan daya saing usaha perasuransian domestik dalam menghadapi globalisasi dan perdagangan bebas.
"Namun, pelaksanaan hal tersebut harus tetap dilaksanakan dengan memberi perlindungan bagi para pemegang polis asuransi," ujar Menkeu menambahkan. (*/sun)