Bengkulu (ANTARA) - Kabid Humas Polda Bengkulu Kombes Sudarno menyebut kepolisian tidak membubarkan unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di depan gedung DPRD Provinsi Bengkulu karena jumlahnya sangat besar sehingga khawatir akan membuat kerusuhan jika dibubarkan.
Menurutnya, jika polisi mengambil langkah pembubaran paksa, maka kemungkinan besar unjuk rasa tersebut akan berubah menjadi kerusuhan karena jumlah demonstran yang begitu banyak.
"Kalau dibubarin orang segitu banyak, mereka bisa melakukan aksi lempar-lemparan," kata Sudarno di Bengkulu, Jumat.
Sudarno membantah jika Polda Bengkulu disebut tidak mematuhi maklumat Kapolri tentang penegakan disiplin protokol kesehatan pencegahan penularan COVID-19 karena tidak membubarkan unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di Bengkulu.
Justru, dia menilai Polda Bengkulu berhasil mengawal unjuk rasa tersebut sehingga berlangsung damai, tertib dan tidak terjadi kerusuhan seperti di banyak daerah lainnya di Indonesia.
"Dalam mengambil keputusan kan harus lihat situasi, tidak bisa serta-merta dan aksi kemarin itu kan juga tidak lama hanya sekitar dua jam, jika dibandingkan daerah lain kan sampai bakar-bakaran," paparnya.
Sudarno menambahkan, tidak dibubarkannya aksi unjuk rasa tersebut bukan berarti Polda Bengkulu membolehkan kerumunan massa sehingga masyarakat bisa melakukan aksi unjuk rasa di kemudian hari.
Ia menegaskan maklumat Kapolri tentang upaya pelarangan kerumunan massa untuk mencegah penularan COVID-19 harus tetap ditegakkan.
"Makanya kita dalam mengambil kebijakan harus melihat dari banyak sisi, bukan hanya dari satu sisi saja dan kami tegaskan larangan itu tetap ada," demikian Sudarno.
Sebelumnya, sekitar tiga ribuan mahasiswa dan pelajar dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah di Bengkulu berhasil menduduki gedung DPRD Provinsi Bengkulu dalam aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja, Kamis (8/10).
Massa pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu ini memasang spanduk berukuran sekitar 10 meter bertuliskan protes terhadap UU Cipta Kerja di atas gedung DPRD Provinsi Bengkulu.
Selain itu, spanduk protes tersebut juga dipasang disepanjang pagar gedung DPRD Provinsi Bengkulu di Jalan Pembangunan, Kelurahan Padang Harapan, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.
Aksi unjuk rasa ini di depan gedung DPRD Provinsi Bengkulu ini mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian setempat.
Massa tidak diperbolehkan mendekat ke gedung DPRD Provinsi Bengkulu dan hanya menyampaikan orasi yang berjarak sekitar 50 meter dari gerbang masuk gedung tersebut.
Polisi juga menyiagakan mobil water canon dan aparat dengan alat pelindung diri lengkap untuk mengantisipasi terjadi kerusuhan.
Namun hingga selesai, unjuk rasa ini berlangsung damai dan massa membubarkan diri dengan tertib ketika tuntutan mereka diterima oleh DPRD Provinsi Bengkulu.
Menurutnya, jika polisi mengambil langkah pembubaran paksa, maka kemungkinan besar unjuk rasa tersebut akan berubah menjadi kerusuhan karena jumlah demonstran yang begitu banyak.
"Kalau dibubarin orang segitu banyak, mereka bisa melakukan aksi lempar-lemparan," kata Sudarno di Bengkulu, Jumat.
Sudarno membantah jika Polda Bengkulu disebut tidak mematuhi maklumat Kapolri tentang penegakan disiplin protokol kesehatan pencegahan penularan COVID-19 karena tidak membubarkan unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di Bengkulu.
Justru, dia menilai Polda Bengkulu berhasil mengawal unjuk rasa tersebut sehingga berlangsung damai, tertib dan tidak terjadi kerusuhan seperti di banyak daerah lainnya di Indonesia.
"Dalam mengambil keputusan kan harus lihat situasi, tidak bisa serta-merta dan aksi kemarin itu kan juga tidak lama hanya sekitar dua jam, jika dibandingkan daerah lain kan sampai bakar-bakaran," paparnya.
Sudarno menambahkan, tidak dibubarkannya aksi unjuk rasa tersebut bukan berarti Polda Bengkulu membolehkan kerumunan massa sehingga masyarakat bisa melakukan aksi unjuk rasa di kemudian hari.
Ia menegaskan maklumat Kapolri tentang upaya pelarangan kerumunan massa untuk mencegah penularan COVID-19 harus tetap ditegakkan.
"Makanya kita dalam mengambil kebijakan harus melihat dari banyak sisi, bukan hanya dari satu sisi saja dan kami tegaskan larangan itu tetap ada," demikian Sudarno.
Sebelumnya, sekitar tiga ribuan mahasiswa dan pelajar dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah di Bengkulu berhasil menduduki gedung DPRD Provinsi Bengkulu dalam aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja, Kamis (8/10).
Massa pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu ini memasang spanduk berukuran sekitar 10 meter bertuliskan protes terhadap UU Cipta Kerja di atas gedung DPRD Provinsi Bengkulu.
Selain itu, spanduk protes tersebut juga dipasang disepanjang pagar gedung DPRD Provinsi Bengkulu di Jalan Pembangunan, Kelurahan Padang Harapan, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.
Aksi unjuk rasa ini di depan gedung DPRD Provinsi Bengkulu ini mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian setempat.
Massa tidak diperbolehkan mendekat ke gedung DPRD Provinsi Bengkulu dan hanya menyampaikan orasi yang berjarak sekitar 50 meter dari gerbang masuk gedung tersebut.
Polisi juga menyiagakan mobil water canon dan aparat dengan alat pelindung diri lengkap untuk mengantisipasi terjadi kerusuhan.
Namun hingga selesai, unjuk rasa ini berlangsung damai dan massa membubarkan diri dengan tertib ketika tuntutan mereka diterima oleh DPRD Provinsi Bengkulu.