Peneliti PUSaKO soroti penegakan hukum pemilu di ruang digital

id pusako unand,ujaran kebencian,penegakan hukum pemilu di ruang digital,ruang digital,penegakan hukum,penegakan hukum pemi

Peneliti PUSaKO soroti penegakan hukum pemilu di ruang digital

Arsip-sejumlah masyarakat memberikan hak politik pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan. ANTARA/Muhammad Zulfikar.

Padang (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum, Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat (Sumbar) menyoroti tiga persoalan utama penegakan hukum pada pemilihan umum (pemilu) di ruang digital.

"Kami melihat ada tiga poin utama masalah penegakan hukum pemilu pada ruang digital yang belum sepenuhnya terselesaikan," kata peneliti PUSaKO Unand, Ichsan Kabullah pada kegiatan seminar nasional bertajuk "Desain penegakan hukum Pemilu di ruang digital" secara daring yang dipantau di Padang, Jumat.

Pertama, lemahnya penegakan hukum pada aspek kampanye di ruang digital, ujaran kebencian dan disinformasi serta Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada yang belum mengatur jaminan teknologi informasi dan perlindungan data pribadi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan University of Melbourne, terdapat beberapa kata yang sering muncul dan mengarah pada ujaran kebencian pada Pemilu 2024 Indonesia. Sayangnya, di saat bersamaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu belum mengatur sepenuhnya tentang hal itu, kata dia.

"Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini belum sepenuhnya mengatur bagaimana calon atau peserta pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran misalnya menyebarkan informasi yang tidak benar," ujarnya.

Menurutnya, desain penegakan hukum pemilu di Indonesia hingga kini masih tersebar dalam berbagai regulasi tanpa satu sistem hukum yang utuh dan terintegrasi. Persoalan ini penting untuk disikapi bersama mengingat kondisi disrupsi teknologi informasi dimana masyarakat semakin terkoneksi dengan media sosial yang ada.

Ia mengatakan meningkatnya ujaran kebencian dan disinformasi yang disebarkan begitu tajam di tengah-tengah masyarakat melalui berbagai platform media sosial terjadi karena pengaturan yang lemah.

Berdasarkan data yang dihimpun PUSaKO Unand dari Bawaslu RI tercatat 69 kasus penyebaran hoaks dan disinformasi pada pemilu 2024. Padahal, pembuktian kasus tersebut dinilai lebih mudah bila dibandingkan dengan temuan politik uang, kata dia.

"Jumlah kasus penyebaran hoaks dan disinformasi masih minim, tapi ini bisa jadi karena lembaga penyelenggara terutama Bawaslu dan Gakkumdu belum memaksimalkan kewenangannya," ucap dia.

Pewarta :
Uploader: Jefri Doni
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.