Padang (ANTARA) - Setiap tanggal 10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan untuk mengenang jasa para pendahulu yang telah berjuang memerdekakan dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hingga saat ini pemerintah telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lebih dari 200 tokoh, termasuk Mohammad Natsir Datuk Sinaro Panjang dalam peringatan seratus tahun kelahirannya di tahun 2008 atas jasa-jasa yang diabdikannya kepada bangsa ini.
Natsir lahir pada 17 Juli 1908 di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat daerah dingin namun tak bersalju, dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Anak laki-laki ini di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin terkemuka yang tidak hanya diakui di dalam negeri juga di manca negara. Begitu banyak pemikiran dan perjuangannya yang dirasakan manfaatnya oleh generasi saat ini untuk kemajuan bangsa. Natsir tidak pernah mengenyam bangku kuliah, namun menguasai enam bahasa asing di usia yang belia.
Ia dipercaya tiga kali menjadi Menteri Penerangan dan sekali sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Kiprahnya di dunia politik dan keagamaan memberikan warna keteladanan integritas dan kesederhanaan tersendiri bagi bangsa ini. Hari ini teladan perilaku integritas, kesederhanaan, dan kesantunan dalam bersikap dan bertindak serta tidak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan keluarga menjadi hal yang teramat langka.
Saat Natsir menjabat sebagai Menteri Penerangan dan sering berkantor di Yogyakarta, George McTurnan Kahin, Guru Besar Universitas Cornell pertama kali bertemu Natsir. Kahin terkejut saat melihat sang menteri memakai jas yang bertambal. Pakaiannya ini benar-benar tidak menunjukkan Natsir sebagai seorang menteri. Kemudian Kahin mengetahui juga bahwa Natsir hanya memiliki kemeja kerja dua stel yang tidak terlalu bagus lagi, hingga akhirnya para pegawai Departemen Penerangan yang dipimpinnya itu berpatungan membeli beberapa pakaian yang pantas untuk Natsir agar terlihat sebagai menteri sungguhan.
Kisah tentang pakaian, di kemudian hari ketika Natsir mendirikan dan memimpin organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), banyak yang mengamati beliau mengenakan baju yang itu-itu saja yaitu baju batik berwarna biru atau baju putih yang tetap dikenakannya walau ada bekas noda tinta hitam yang tidak bisa hilang di saku baju tersebut.
Integritasnya terlihat nyata saat mengundurkan diri dari jabatan sebagai Perdana Menteri. Ketika itu stafnya melaporkan catatan saldo dana taktis Perdana Menteri yang masih cukup banyak. Staf tersebut mengatakan dana ini adalah hak Perdana Menteri. Namun Natsir menolak karena menurutnya itu bukan hak dia dan memerintahkan agar dana tersebut diserahkan ke koperasi karyawan.
Sama halnya ketika Natsir mengembalikan mandat sebagai Perdana Menteri. Beliau mengemudi sendiri mobil dinasnya menuju Istana Presiden untuk menemui Soekarno, dan meminta sopir pribadinya naik sepeda mengikutinya. Setelah bertemu dan berbicara dengan Soekarno beberapa saat, Natsir pamit pulang berboncengan sepeda dengan sopir pribadinya, lalu singgah sebentar ke rumah jabatan Perdana Menteri untuk menjemput seluruh anggota keluarganya pindah hari itu juga ke rumah pribadinya yang tentu saja lebih kecil dan lebih sempit.
Ketika Natsir masih menjadi anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi ia memiliki mobil pribadi buatan Amerika dengan merk DeSoto yang sudah kusam. Saat itu ada seorang pengusaha yang berniat baik ingin menghadiahi mantan Perdana Menteri tersebut dengan sebuah mobil yang lebih pantas yaitu Chevrolet Impala, dan bahkan sudah dibawa ke rumah Natsir. Namun dengan cara yang amat halus Natsir menolak pemberian tersebut.
Anak-anak Natsir yang mendengar pembicaraan ayahnya dengan sang tamu, ketika itu juga harus membuyarkan harapan mereka menaiki mobil yang tergolong mewah pada zaman itu. Natsir kemudian menasihati anak-anaknya bahwa mobil itu bukan hak dia apalagi keluarganya, lagi pula mobil yang ada masih cukup. Nasihat terkenal Natsir kepada anak-anaknya, yaitu cukupkan yang ada, jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.
Saat Natsir menjadi anggota Majelis Ta'sisi Rabithah Alam Islami, yang berpusat di Mekkah dan Wakil Presiden Liga Muslim Dunia, yang bermarkas di Karachi, Pakistan, beliau memiliki fasilitas untuk menunaikan haji setiap tahun. Namun, Natsir tidak memanfaatkan kesempatan ini, dan tidak pernah menggunakan fasilitas tersebut untuk memberangkatkan haji anak dan menantunya. Seluruh anak dan menantu Natsir menunaikan rukun Islam kelima ini dengan biaya sendiri.
Perilaku kasih sayang, peduli, empati, suka membantu dan menghargai sesama, santun, rendah hati dan sikap altruistik diterapkan Natsir tidak hanya kepada orang yang lebih tua darinya, namun juga kepada generasi yang jauh lebih muda. Tidak hanya kepada saudara yang se-iman, namun juga kepada orang yang berbeda keyakinan. Beliau tidak pernah menolak kedatangan tamu yang berkunjung ke kantor maupun ke rumah, dan senantiasa menjadi pendengar yang baik serta penuh perhatian bagi siapa saja yang datang menumpahkan segala kesusahan, walaupun usia beliau sudah cukup lanjut dan memerlukan banyak istirahat.
Perdana Menteri ke-10 Malaysia, Anwar Ibrahim, saat menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia, juga pernah merasakan kerendahan hati seorang Natsir. Ketika itu Anwar sedang berkunjung ke Indonesia dan ingin menemui Natsir di kediamannnya, namun Natsir mendahului dengan menemui Anwar di hotel, yang kemudian politisi Malaysia itu mengajak sarapan pagi sambil berdiskusi di hotel. Tidak mengherankan dengan perilaku demikian jika Natsir banyak memiliki kawan sejati dan sangat dicintai oleh para sahabat dan hampir semua lapisan masyarakat.
Natsir, yang dijuluki oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, hij is de man (dialah orangnya) pada tanggal 3 April 1951 mengutarakan pendapatnya pada forum sidang parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketua Fraksi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) ini menyatakan agar Indonesia kembali ke dalam bentuk negara kesatuan. Pidato Natsir itu sangat beralasan karena pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di tahun 1949 kedaulatan negara Indonesia semakin tidak menentu.
Dalam situasi yang tidak jelas ini lahirlah gagasan gemilang dari Natsir, bahwa penyelesaian dari gejolak yang terjadi di beberapa negara bagian adalah dengan membentuk negara kesatuan dan bukan negara federasi. Tokoh-tokoh dari berbagai kalangan lintas fraksi harus dia lobby agar dapat menyetujui gagasannya.
Pidato Natsir ini kemudian dikenal luas dengan sebutan Mosi Integral Natsir. Parlemen menerima mosi ini dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah untuk membentuk NKRI. Mosi Integral telah mengembalikan Indonesia ke dalam bentuk Negara Kesatuan dan terhindar dari ancaman perpecahan. Dengan cara yang demokratis, konstitusional, dan terhormat. Usaha ini adalah buah upaya sosok negarawan bernama Mohammad Natsir. Sangat layak jika beliau menyandang sebutan sebagai Bapak NKRI.
Ketika terjadi konfrontasi antara pemerintah Indonesia dan Malaysia di kurun waktu 1963-1966, Natsir mengirim surat kepada Perdana Menteri Malaysia, Tunku Abdul Rahim, untuk dapat menerima delegasi dari Indonesia yang sebelumnya tidak diterima oleh Perdana Menteri pertama Malaysia tersebut. Akhirnya hubungan kedua negara bertetangga ini berangsur membaik.
Tanggal 6 Februari 1993, sang pemersatu dan pendamai sekaligus pencetus proklamasi kedua NKRI ini wafat di Jakarta dalam usia 85 tahun. Sahabat Natsir yaitu mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda, dalam surat ucapan duka yang ditujukan kepada keluarga besar Pak Natsir saat itu menulis bahwa berita wafatnya Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena dunia kehilangan seorang pemimpin besar.
Saat ini rakyat sangat merindukan dan mendambakan pemimpin yang mengabdi dan bekerja tanpa pamrih. Pemimpin yang berani memilih memberikan apa yang ia miliki untuk negeri daripada menuntut apa yang bisa diberikan oleh negara kepadanya. Pemimpin yang senantiasa bersikap hanya memberi dan tak harap kembali. Pemimpin yang memilih hidup jujur dan sederhana walaupun memiliki peluang besar untuk hidup mewah bergelimang harta.
*Penulis: NAUFAL MAHFUDZ - Kepala Lembaga Kepemimpinan dan Pendidikan Eksekutif IPB University
