Padang (ANTARA) - Dari kejauhan, sebuah kendaraan khusus pengangkut barang di bandara, tampak mendekati hanggar di pojok Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar).
Kendaraan ini melaju perlahan dengan membawa puluhan karung putih berisi Natrium Klorida (NaCl). Total ada 50 karung yang dibawa dan setiap karungnya memiliki bobot 20 Kilogram (Kg).
Satu persatu karung-karung berwarna putih itu mulai diturunkan petugas, lalu mereka memindahkannya dengan hati-hati ke dalam pesawat tipe caravan yang sudah terparkir di bagian pojok bandara. Satu ton Natrium Klorida ini merupakan bagian penting dalam menjalankan operasi modifikasi cuaca atau yang kini dikenal dengan istilah OMC.
OMC atau yang dulunya juga disebut teknologi modifikasi cuaca (TMC) merupakan upaya menciptakan hujan buatan dengan cara menaburkan NaCl ke langit. Garam khusus itu sengaja disemai di sekitar bibit-bibit awan agar memicu terjadinya hujan buatan.
Metode yang sudah ada sejak 1977 ini umumnya digunakan untuk mengatasi masalah kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Sederhananya, OMC merupakan sebuah ikhtiar menghadirkan hujan buatan lewat serangkaian analisa terukur dan ilmiah.
Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Kelas II Minangkabau, Desindra Deddy Kurniawan, mengatakan berdasarkan rapat gabungan antara pemerintah provisi, kabupaten dan kota beberapa waktu lalu disimpulkan bahwa pelaksanaan OMC berlangsung selama lima hari ke depan, yakni terhitung 25 hingga 29 Juli 2025. Artinya, akan ada 10 ton NaCl yang akan disebarkan di langit Sumbar dengan harapan menciptakan hujan buatan.
"OMC ini bisa saja diperpanjang apabila kondisi Karhutla di Provinsi Sumbar belum sepenuhnya bisa dikendalikan," kata Deddy.

Dalam sehari, BMKG bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumbar akan melakukan dua kali penyemaian garam yakni pagi dan sore. Satu kali penerbangan (sorti) akan menaburkan satu ton NaCl.
Deddy mengatakan sebelum OMC dilakukan, BMKG memiliki tugas khusus yakni memetakan lokasi sebaran awan-awan yang berpotensi menciptakan hujan. Setelah menentukan koordinat, petugas langsung menyemai NaCl dengan harapan bisa memicu terjadinya hujan.
"Prediksi BMKG selama tiga hari ke depan potensi pertumbuhan awan terutama di Kabupaten Limapuluh Kota masih ada," ujar Deddy.
Ia menjelaskan ketika pesawat lepas landas di BIM pukul 11.00 WIB dan mulai menaburkan NaCl, diperkirakan hujan akan turun pada sore atau malam harinya. Sebab, butuh waktu beberapa jam agar NaCl yang ditabur menimbulkan reaksi terhadap awan-awan hujan.
Dalam catatan BMKG beberapa daerah di Sumbar sudah ada yang dilanda kekeringan atau hari tanpa hujan antara 30 hingga 60 hari seperti yang terjadi Kabupaten Solok. Selain kekeringan, kondisi itu juga menjadi faktor yang memicu terjadinya Karhutla.
"Kalau suatu daerah dalam 60 hari tanpa adanya hujan, maka ini sudah termasuk kategori ekstrem," jelas dia.
Berdasarkan kajian yang disusun BMKG, satu ton NaCl yang ditabur tersebut bisa menciptakan hujan dengan intensitas ringan hingga sedang, durasi 20 hingga 50 milimeter.
Ia mengatakan khusus OMC di langit Kabupaten Limapuluh Kota, pemerintah daerah meminta agar BMKG bersama BPBD tidak melakukan rekayasa hujan yang berlebihan. Sebab dikhawatirkan justru menimbulkan bencana lain seperti banjir dan tanah longsor.
BMKG sendiri memperkirakan musim kemarau di Sumbar masih akan berlangsung hingga September 2025 dimana puncaknya terjadi pada Juli. Dilihat dari sisi curah hujan, BMKG mengungkapkan hari tanpa hujan pada 2025 lebih parah bila dibandingkan 2024.
Tanggap darurat
Meluasnya dampak Karhutla yang terjadi di Sumbar terutama di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Solok membutuhkan penanganan yang cepat atau responsif agar segera teratasi. Apalagi, keduanya sudah menetapkan status tanggap darurat Karhutla.
Penetapan status tanggap darurat tersebut dikarenakan seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Solok sudah terdampak Karhutla. Sementara di Kabupaten Limapuluh Kota, dari 13 kecamatan 10 di antaranya terjadi Karhutla.
Dengan ditetapkannya status tanggap darurat bencana Karhutla, maka Pemerintah Provinsi akan berkoordinasi lebih intensif dengan BNPB termasuk kemungkinan meminta berbagai bantuan jika hal itu diperlukan.
Sampai saat ini Pemerintah Provinsi Sumbar memang belum mengusulkan atau meminta bantuan water bombing atau pemadaman Karhutla menggunakan helikopter. Ikhtiar penanganan lewat jalur darat dan pelaksanaan OMC diharapkan membuahkan hasil agar kobaran api dapat segera diatasi.
"Sampai saat ini Kabupaten Solok dan Kabupaten Limapuluh Kota yang sudah menetapkan status tanggap darurat," kata Kepala BPBD Provinsi Sumbar Rudy Rinaldy.
Rudy menjelaskan pelaksanaan OMC terpaksa dilakukan menyusul sulitnya penanganan lewat darat. Kondisi topografi yang curam hingga keterbatasan panjang selang air menjadi kendala utama petugas pemadam bersama Manggala Agni untuk meredam kobaran api di tengah belantara hutan.
Berdasarkan data BPBD Provinsi Sumbar setidaknya sudah ada 500 Hektare (Ha) kawasan hutan maupun lahan yang hangus terbakar. Luasan paling terdampak berada di Kabupaten Solok dan Kabupaten Limapuluh Kota.
Analisa BPBD, Karhutla yang terjadi akibat pembukaan lahan pertanian dengan cara pembakaran sehingga berdampak kepada kawasan hutan. Namun, hingga kini belum ada satupun pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
"Belum ada tersangka karena kita baru fokus kepada penanganan," ujar Rudy.
Senada dengan Rudy, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar Ferdinal Asmin menduga Karhutla yang terjadi merupakan ulah manusia yang sengaja membuka lahan baru dengan cara dibakar. Meskipun hanya untuk kepentingan pertanian, praktik itu tetap tidak dibenarkan.
"Dari informasi petugas yang melakukan pemadaman, diduga api berasal dari pembukaan lahan dengan cara dibakar sehingga api menjalar ke kawasan hutan," kata Ferdinal.
Pemerintah Provinsi Sumbar telah berulang kali menyampaikan dan mengedukasi masyarakat untuk tidak membuka lahan pertanian dengan cara dibakar, terutama pada saat musim kemarau. Sebab, praktik itu bisa menyebabkan Karhuta dan sulit untuk dikendalikan.
Ferdinal juga mendorong pemangku kepentingan untuk melakukan penyelidikan mendalam penyebab Karhutla, terutama yang terjadi di Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota. Langkah tegas berupa penindakan dinilai salah satu cara terbaik agar tidak ada individu atau korporasi yang sengaja membakar lahan untuk kepentingan pribadi.
Selain mengancam ekosistem hutan termasuk populasi satwa yang ada di dalamnya, Karhutla juga menimbulkan efek domino berupa gangguan kesehatan terutama infeksi saluran pernapasan hingga potensi ancaman keselamatan nyawa.
Sebagai salah satu upaya preventif mencegah Karhutla, para petani yang ingin membuka lahan pertanian, sebaiknya mengedepankan cara-cara yang aman seperti tidak membakar lahan.
Edukasi atau pemahaman kepada masyarakat tentang tata cara pembukaan lahan pertanian yang ramah lingkungan, memang harus terus digencarkan sebagai langkah meminimalisir Karhutla.
