Sawahlunto (ANTARA) - Era digital menghadirkan kecepatan dalam segalanya. Dari notifikasi berita hingga tanggapan spontan di media sosial, manusia didorong untuk bisa merespons sekencang mungkin.
Namun, semakin banyak orang yang cepat berpikir—semakin sedikit yang berpikir secara mendalam. Ini bukan sekadar persoalan kognitif, tapi soal bagaimana dua metode ini akan membentuk karakter individu dan masyarakat.
Dalam artikel ini, saya mencoba memetakan persoalan berpikir cepat dan berpikir mendalam melalui pendekatan lintas disiplin ; psikologi kognitif, agama, budaya dan ilmiah (science-based).
Sekaligus artikel ini ingin memancing insigth refleksi: apakah kita masih bisa berpikir lambat, reflektif, dan mendalam—di tengah dinamika dunia yang serba instan?
Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking, Fast and Slow menjelaskan dua sistem berpikir manusia ; sistem 1 (berpikir cepat): intuitif, otomatis, refleks. Kemudian sistem 2 (berpikir lambat dan mendalam): analitis, rasional, penuh pertimbangan.
Berpikir cepat berguna dalam kondisi darurat atau keputusan ringan. Tapi ketika menjadi kebiasaan, ia melahirkan kecenderungan mental shortcut, yang kerap berujung pada bias, asumsi keliru, dan keputusan impulsif.
Sebaliknya, berpikir mendalam membutuhkan energi mental dan waktu. Ia tidak populer di era yang memuja kecepatan. Namun justru dari sanalah muncul inovasi, empati, dan kebijaksanaan.
Dalam perspektif Islam, praktik tafakur adalah bentuk berpikir mendalam yang bernilai spiritual. Tafakur menggabungkan akal dan hati sehingga membentuk kesadaran, yang pada ujungnya mengarahkan manusia untuk menemukan makna di balik realitas.
Tafakur tidak berhenti pada logika, tetapi membuka lapisan batiniah di mana manusia mulai "merasakan" Tuhan sebagai realitas batin yang hidup. Ini adalah ruang eksistensial-imajinatif, bukan konseptual.
Salah satu referensi terkait berpikir mendalam atau tafakur bisa kita lihat pada QS Al-Imran [3]:191 yang terjemahannya yakni ; "Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'"
Istilah mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring ini secara makna implisit mengandung penafsiran bahwa mengingat sejatinya adalah merenungkan, bukan sekedar ingat dalam konteks formalitas. Sehingga kalau substansinya adalah pada merenungkan, maka tentu berada pada dimensi berpikir mendalam, bukan lagi di tahapan berpikir cepat.
Sementara dalam perspektif Kristen, praktik perenungan atau contemplation juga menjadi fondasi pertumbuhan iman.
Dalam Yosua 1:8 tertulis “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya; sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.”
Terdapat frasa "renungkanlah itu siang dan malam supaya engkau bertindak hati-hati", yang mencerminkan arahan untuk memprioritaskan metode berpikir mendalam.
Sementara dari referensi kebudayaan atau kearifan lokal para leluhur, juga terdapat literasi yang mengacu pada pesan-pesan untuk memperhatikan pola berpikir mendalam.
Seperti dalam kearifan lokal Minangkabau yang memiliki warisan berpikir mendalam dalam praktik musyawarah adat.
Salah satunya adalah tentang 'alam takambang jadi guru'. Tentu kita sepakat bahwa dalam mengkaji makna alam ini tidak bisa dilakukan dengan cara berpikir cepat atau 'sekali lihat langsung ambil kesimpulan'.
Jadi bisa disepakati bahwa 'alam takambang jadi guru' merupakan kode dari leluhur Minangkabau bahwa untuk hidup selaras dengan alam mesti menggunakan cara berpikir yang tidak instant.
Begitu pula dalam budaya Jawa, falsafah “alon-alon asal kelakon” yang sering disalahartikan sebagai lambat atau sikap pasrah menunggu.
Padahal falsafah ini mengandung makna prinsip kehati-hatian, stabilitas dan refleksi sebelum bertindak. Dimana prinsip tersebut hanya bisa dicapai dengan berpikir mendalam.
Budaya lokal Indonesia sejatinya mengandung sistem nilai yang mendorong apresiasi terhadap proses. Sayangnya, nilai ini mulai perlahan terpinggirkan oleh budaya instan dan pragmatisme digital.
Generasi muda saat ini tumbuh dalam ekosistem digital yang menuntut kecepatan ; kecepatan memahami informasi, meski kadang belum tentu mendalam. Kemudian kecepatan menyuarakan pendapat, meski kadang tanpa data dan pertimbangan internal-eksternal. Setelah itu kecepatan mengambil keputusan, meski kadang tanpa kesadaran akan dampaknya dalam jangka panjang.
Maka jika tidak dibekali kemampuan berpikir mendalam, generasi ini rentan menjadi korban hoaks, polarisasi, hingga ekstremisme digital.
Padahal, lebih dari sekadar tech-savvy, mereka perlu menjadi thoughtful citizens—warga digital yang reflektif dan tangguh secara mental.
Dalam dunia akademik dan kebijakan, berpikir mendalam menjadi core competency. Prof. Rhenald Kasali menyebutnya sebagai bagian dari critical thinking dan growth mindset. Sementara mantan Pemimpin Redaksi Kompas Wisnu Nugroho menyimpulkan di tengah deru peristiwa, yang kita butuhkan adalah jurnalisme reflektif, bukan sekadar reaktif.
Kita juga bisa belajar dari referensi dunia filsafat. Socrates dikenal bukan karena banyak bicara, tapi karena keberaniannya mempertanyakan.
Kemudian filosofi kontemplatif ala Henry Manampiring dalam buku Filosofi Teras mengajak pembaca untuk menelusuri emosi, pikiran, dan kesadaran sebagai satu kesatuan dengan pendekatan berpikir reflektif, yang hanya bisa diperoleh dengan berpikir mendalam.
Berpikir mendalam sejatinya bukan sekadar fungsi otak, tapi juga integrasi dengan hati dan jiwa.
Sejumlah referensi yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan kebiasaan berpikir mendalam pada masyarakat bisa secara praktis melalui sejumlah langkah ini ;
Pertama, latihan berpikir reflektif di sekolah dan universitas, bukan hanya hafalan dan presentasi cepat. Kedua, penguatan kurikulum literasi emosional dan filsafat untuk anak muda.
Yudha Ahada (Jurnalis LKBN ANTARA Biro Sumbar dan Praktisi AI)