Cerita suami istri bertahan di pohon pokat saat banjir bandang
Batusangkar (ANTARA) - Mufrianto (45) dan Efri (35), adalah pasangan suami isteri yang selamat dari bencana banjir bandang dan lahar dingin Gunung Marapi yang melanda Kabupaten Tanah Datar pada Sabtu, (11/5) lalu.
Ia selamat dengan cara memanjat batang pokat dan bergelantungan di batang itu lebih kurang 1,5 jam lamanya, hingga air sungai kembali menyusut.
Saat ditemui di rumahnya, Senin, (20/5) Mufrianto dan Efri menceritakan kejadian dan peristiwa banjir bandang dan lahar dingin yang merenggut puluhan jiwa di Kabupaten Tanah Datar itu.
Saat itu Sabtu, (11/5) malam, Mufrianto dan isteri beraktivitas seperti malam-malam biasanya disebuah warung miliknya di Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum.
Di warung itu, Mufrianto dan isteri tinggal, sementara dua orang anaknya tidur dirumah orang tua Efri tidak jauh dari tempat dia berjualan.
Pada malam itu suasana terasa tenang dan tidak ada tanda-tanda banjir bandang, karena saat itu tidak ada angin dan tidak ada hujan, air sungai pun terlihat kecil.
Kata Mufrianto, semenjak sorenya, dia agak sering melihat ke arah sungai dari sebelum-sebelumnya, namun dia melihat air itu tampak seperti biasanya.
Sedikitpun dia tidak memiliki firasat akan terjadi banjir bandang. Hanya saja berfikiran mungkin diatas gunung sedang terjadi hujan. Karena memang Batang Lona berhulu langsung dari Gunung Marapi.
"Tidak ada firasat akan terjadi banjir bandang. Cuman waktu itu air sungai memang sudah bau. Mungkin di Gunung sedang hujan dalam hati saya," kata dia.
Mufrianto menyebut, biasanya warung miliknya ramai, banyak yang datang dan duduk meminum kopi. Namun pada malam itu terasa sepi, warung yang biasanya ramai hanya diisi dia dan satu orang temannya, sedangkan isterinya sudah tidur.
Kemudian, sekitar pukul 22.00 WIB malam, suasana yang sebelumnya terasa tenang dan baik-baik saja berubah drastis. Air sungai tiba-tiba meluap hingga ke pemukiman warga.
Tidak ada waktu bagi Mufrianto dan isteri menyelamatkan barang-barang berharga, keselamatan mesti yang utama.
"Air sungai besar teriak teman saya, spontan saya ambil senter dan langsung bangunkan isteri dan berlari menyelamatkan diri," kata Mufrianto.
Suasana semakin mencekam, listrik padam, yang terdengar hanyalah suara gemuruh air besar. Isteri Mufrianto yang mencoba menyelamatkan diri terjepit disebuah pintu mobil yang didorong oleh derasnya air.
"Pas lari saya lihat kebelakang isteri saya tidak ada, saya senterin ternyata terjepit dia pintu mobil, lalu saya balik lagi menyelamatkanya," terang Mufrianto.
Kemudian makin lama air sungai semakin besar menghanyutkan material kayu hingga rumah didekatnya. Sehingga dia tidak bisa keluar dari lokasi itu.
Jika memaksakan, mungkin Mufrianto dan isteri akan hanyut dibawa derasnya air sungai.
Karena tidak hilang akal, satu-satunya harapan Mufrianto untuk bertahan adalah bergantung di batang pokat yang ada disamping warungnya.
"Tidak ada jalan lain, saya ajak isteri memanjat batang pokat dan disana kami pasrah apa yang terjadi. Sebab mobil yang tadi kami pijak untuk naik keatas pohon dan rumah sudah hanyut dibawa arus sungai," kata dia.
Diatas batang pokat itu dia beroda dan pasrah apa yang akan terjadi. Dia menyaksikan material dan rumah warga yang hanyut terseret banjir bandang.
"Kurang lebih 1,5 jam kami diatas batang pokat, kami pasrah, kami berdoa apa yang terjadi. Alhamdulillah kami selamat dari musibah ini," kata dia.
Data dari posko utama tanggap Darturat bencana banjir bandang dan lahar dingin di Tanah Datar mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 32 orang dan 10 orang masih hilang.
Ia selamat dengan cara memanjat batang pokat dan bergelantungan di batang itu lebih kurang 1,5 jam lamanya, hingga air sungai kembali menyusut.
Saat ditemui di rumahnya, Senin, (20/5) Mufrianto dan Efri menceritakan kejadian dan peristiwa banjir bandang dan lahar dingin yang merenggut puluhan jiwa di Kabupaten Tanah Datar itu.
Saat itu Sabtu, (11/5) malam, Mufrianto dan isteri beraktivitas seperti malam-malam biasanya disebuah warung miliknya di Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum.
Di warung itu, Mufrianto dan isteri tinggal, sementara dua orang anaknya tidur dirumah orang tua Efri tidak jauh dari tempat dia berjualan.
Pada malam itu suasana terasa tenang dan tidak ada tanda-tanda banjir bandang, karena saat itu tidak ada angin dan tidak ada hujan, air sungai pun terlihat kecil.
Kata Mufrianto, semenjak sorenya, dia agak sering melihat ke arah sungai dari sebelum-sebelumnya, namun dia melihat air itu tampak seperti biasanya.
Sedikitpun dia tidak memiliki firasat akan terjadi banjir bandang. Hanya saja berfikiran mungkin diatas gunung sedang terjadi hujan. Karena memang Batang Lona berhulu langsung dari Gunung Marapi.
"Tidak ada firasat akan terjadi banjir bandang. Cuman waktu itu air sungai memang sudah bau. Mungkin di Gunung sedang hujan dalam hati saya," kata dia.
Mufrianto menyebut, biasanya warung miliknya ramai, banyak yang datang dan duduk meminum kopi. Namun pada malam itu terasa sepi, warung yang biasanya ramai hanya diisi dia dan satu orang temannya, sedangkan isterinya sudah tidur.
Kemudian, sekitar pukul 22.00 WIB malam, suasana yang sebelumnya terasa tenang dan baik-baik saja berubah drastis. Air sungai tiba-tiba meluap hingga ke pemukiman warga.
Tidak ada waktu bagi Mufrianto dan isteri menyelamatkan barang-barang berharga, keselamatan mesti yang utama.
"Air sungai besar teriak teman saya, spontan saya ambil senter dan langsung bangunkan isteri dan berlari menyelamatkan diri," kata Mufrianto.
Suasana semakin mencekam, listrik padam, yang terdengar hanyalah suara gemuruh air besar. Isteri Mufrianto yang mencoba menyelamatkan diri terjepit disebuah pintu mobil yang didorong oleh derasnya air.
"Pas lari saya lihat kebelakang isteri saya tidak ada, saya senterin ternyata terjepit dia pintu mobil, lalu saya balik lagi menyelamatkanya," terang Mufrianto.
Kemudian makin lama air sungai semakin besar menghanyutkan material kayu hingga rumah didekatnya. Sehingga dia tidak bisa keluar dari lokasi itu.
Jika memaksakan, mungkin Mufrianto dan isteri akan hanyut dibawa derasnya air sungai.
Karena tidak hilang akal, satu-satunya harapan Mufrianto untuk bertahan adalah bergantung di batang pokat yang ada disamping warungnya.
"Tidak ada jalan lain, saya ajak isteri memanjat batang pokat dan disana kami pasrah apa yang terjadi. Sebab mobil yang tadi kami pijak untuk naik keatas pohon dan rumah sudah hanyut dibawa arus sungai," kata dia.
Diatas batang pokat itu dia beroda dan pasrah apa yang akan terjadi. Dia menyaksikan material dan rumah warga yang hanyut terseret banjir bandang.
"Kurang lebih 1,5 jam kami diatas batang pokat, kami pasrah, kami berdoa apa yang terjadi. Alhamdulillah kami selamat dari musibah ini," kata dia.
Data dari posko utama tanggap Darturat bencana banjir bandang dan lahar dingin di Tanah Datar mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 32 orang dan 10 orang masih hilang.