Padang (ANTARA) - Hidup tanpa kaki kiri sejak bayi karena pada usia satu minggu karena harus diamputasi hingga paha, tidak membuat Kintan Muthia Hayya putus asa menjalani hidup apalagi sampai memilih jadi peminta-minta.
Dara kelahiran Padang, 25 Oktober 1999 itu kini malah menjadi tulang punggung keluarga guna menghidupi ibu dan kedua adiknya yang masih sekolah di bangku SMA.
Kendati sehari-hari saat berjalan Kintan harus menggunakan tongkat, namun itu bukan halangan untuk bisa bekerja sebagaimana manusia normal lainnya.
Jika orang lain dengan keterbatasan anggota tubuh ada yang memilih menjadi pengemis di jalanan tidak demikian dengan Kintan yang punya prinsip hidup kalau orang lain bisa maka kita juga harus bisa serta tidak mau membedakan diri dengan orang lain.
Kaki Kintan terpaksa harus diamputasi karena pada usia minggu tulang sebelah kiri bermasalah.
Saat dibawa ke dokter diputuskan harus diamputasi hingga paha. Alhasil sejak bayi Kintan hidup dengan satu kaki.
Tak cukup sampai di situ orang tua Kintan pun berpisah sehingga akhirnya ia hidup bersama ayah tiri.
Saat umur lima tahun ia pun masuk SD sebagaimana anak kebanyakan. Awalnya digendong oleh orang tua.
"Setelah satu minggu disuruh mama pakai tongkat, akhirnya bisa dan sekolah pakai tongkat," ujarnya.
Kintan pun mahir memakai tongkat dan menjalani aktivitas dengan riang gembira. Ia pun mahir bersepeda sejak kecil walaupun mengayuh hanya dengan satu kaki.
Bahkan saat bersekolah di SMK 6 Padang yang gedungnya bertingkat bukan halangan baginya ketika harus naik turun tangga.
Ia tidak pernah kecewa dengan takdir yang dijalankan harus menjalani hari hanya dengan satu kaki dan selalu memotivasi diri serta berupaya menjalani aktivitas sebagaimana manusia normal.
Kini setiap pagi, anak kedua dari empat bersaudara itu selalu bersemangat untuk menuju tempat kerjanya mengendarai sepeda motor, dari rumahnya di Sawahan menuju Pasar Ambacang Padang yang berjarak sekitar 5,4 kilometer.
Walaupun untuk bertumpu di motor hanya dengan kaki kanan saja, namun ia terampil menggunakan sepeda motor bahkan membonceng teman pula.
Padahal ia baru mahir menggunakan motor sejak awal 2021, saat belajar pun sempat jatuh, namun berbekal keberanian dan tekad yang kuat ia pun kini piawai mengendarai kuda besi meski hanya punya satu kaki.
Sejak tiga bulan terakhir Kintan bekerja sebagai penjahit di Maharrani merek produsen pakaian muslimah yang berpusat di Kota Padang.
Walaupun hanya dengan satu kaki, Kintan termasuk yang paling terampil menjahit. Setiap hari ia bekerja mulai Senin hingga Sabtu dari pukul 08.30 WIB hingga 17.00 WIB.
Tak kurang dari 30 potong pakaian mampu ia selesaikan per minggu dan ini terbilang cepat, karena penjahit lainnya baru mampu menyelesaikan sebanyak itu harus lembur sampai malam.
Cukup menginjak pedal mesin jahit dengan kaki kanan, ia bekerja dengan fokus dan piawai menjahit, menggabungkan bahan kain yang sudah digunting polanya untuk akhirnya dijahit menjadi baju,
Keterampilan menjahit ia peroleh ketika bersekolah di SMK 6 Padang pada jurusan busana.
Sebelum menjadi penjahit di Maharrani, setelah lulus SMK 6 pada 2018 ia sudah mencoba bekerja sebagai penjahit pada berbagai tempat.
Namun tak ada yang bertahan lama karena kurang nyaman dengan suasana kerja hingga sepi orderan. Tiga bulan lalu melalui instagram ia membaca pengumuman lowongan penjahit di Maharrani.
Ia pun memberanikan diri melamar kendati hanya punya satu kaki dan di luar dugaan langsung di tes menjahit dan dinyatakan diterima.
Dari penghasilan yang diterima ia sisihkan untuk biaya sekolah dua adiknya serta ibunya.
"Apalagi mama baru selesai dioperasi, tidak bisa kerja, jadi Kintan yang cari uang sekarang, papa juga sudah meninggal sejak 2014," katanya.
Ia pun bersyukur bisa bekerja di Maharrani karena menjadi jalan untuk menghidupi ibu dan dua orang adik yang masih sekolah dengan penghasilan yang cukup memadai melebihi upah minimum provinsi
Kintan pun bertekad punya usaha jahit sendiri.
"Sekarang cari pengalaman dulu," kata dia.
Kampung Jahit
Berdiri pada 2018 Maharrani selaku produsen busana muslimah terus bertumbuh hingga saat ini.
Memulai usaha dengan menjahit 12 helai gamis, kini Maharrani mampu memproduksi hingga 3.000 potong pakaian muslimah dalam sebulan.
Karena permintaan meningkat pendirinya Elsa Maharani menggagas ide membuat kampung jahit dengan menawarkan kemitraan pada ibu rumah tangga setempat.
Konsepnya setiap mitra diberi upah langsung per helai pakaian yang dijahit, pagi dijemput, sore kalau sudah selesai diantar dan cukup dikerjakan di rumah masing-masing.
Dengan demikian para ibu rumah tangga tetap bisa mengurus rumah, memasak dan mengasuh anak tanpa perlu bekerja di luar rumah.
Kini tak kurang dari 40 ibu rumah tangga terlibat, selain itu terdapat tujuh orang penjahit yang bekerja langsung di rumah produksi Maharrani dan di Bandung sekitar delapan penjahit.
Perjuangan mendirikan kampung jahit juga tak mudah karena tidak semua ibu setempat punya keterampilan menjahit.
"Memang ada yang sudah punya keterampilan dasar, ada yang malah cuma modal kemauan dan kesungguhan tapi kami ajarkan dari nol, tak sedikit pakaian gagal karena mereka masih belajar," kata Elsa.
Tak jarang ia bertemu mitra jahit yang sebelumnya sudah punya standar kerja sendiri.
"Saat diberi tahu ini standar kita harus begini, ternyata ada juga yang tidak patuh karena sebelumnya punya pakem sendiri," ujarnya.
Oleh sebab itu ia menerapkan syarat pertama menjadi mitra bukan keterampilan melainkan atitude dan mau diarahkan bekerja sesuai dengan standar yang dibuat.
Terkait dengan Kintan ia menilai termasuk sosok pekerja keras yang punya kemauan kuat.
Meski memiliki keterbatasan Kintan termasuk produktif, katanya.
Elsa juga mendorong mitra jahit bisa mengajarkan tetangga atau saudaranya sehingga mitra terus bertambah.
Untuk kualitas produksi ia menerapkan kontrol ketat, setelah sore hari pakaian selesai dijahit diantar dilakukan pemeriksaan hingga tiga kali dan jika masih ada yang belum sesuai akan disuruh perbaiki.
Terus bertumbuh
Mengusung filosofi bermanfaat dan memberikan kemaslahatan bagi orang banyak membuat Elsa terus berupaya mengembangkan Maharrani menjadi salah satu produsen busana muslimah terkemuka.
Saat pandemi menerpa Maharrani tetap mampu bertahan karena sudah punya pelanggan organik yaitu para ASN yang membeli seragam kerja, keluarga yang yang membeli koleksi busana hari raya.
Dengan mengandalkan hampir 1.600 agen hingga reseler, Maharrani pernah mencapai puncak dengan menjual 3.000 potong pakaian dalam satu bulan.
Para agen pun dibekali bagaimana cara berjualan di marketplace mulai dari membuat email, mengunggah foto hingga promosi di media sosial.
Walhasil kendati pandemi COVID-19 melanda Maharrani ketiban berkah karena penjualan tetap stabil.
Kiprah Elsa menghidupkan ekonomi ibu-ibu setempat tak hanya berbuah penghasilan yang lumayan, pada 2020 ia juga diganjar penghargaan Indonesia Satu Award dari Astra.
Indonesia Satu Award merupakan wujud apresiasi Astra untuk anak muda, baik individu maupun kelompok yang memiliki program di lima bidang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi.
Melihat ekonomi ibu rumah tangga setempat bangkit menjadi pelecut semangat baginya, agar produk Maharrani bisa lebih maju dan menghidupi banyak penjahit sehingga bermanfaat bagi orang sekitar.
Pada tahun ini Maharrani pun terpilih sebagai Wirausaha Bank Indonesia Sumbar yang paling inovatif dan kreatif.
Ke depan ia merancang strategi memperbesar skala usaha dan memperkuat brand Maharrani.
Salah satunya dengan berkolaborasi bersama penenun membuat mukenah kerancang khas Minang.
Sejak kehadiran Maharrani para Kintan dan para ibu setempat pun bisa tersenyum gembira karena punya tambahan penghasilan penambah belanja dapur dan mengangkat status sosial ekonomi menatap masa depan berseri.