Mengenang kelahiran dan perjuangan di etape VI Tour de PDRI

id Bela negara, tour de PDRI

Mengenang kelahiran dan perjuangan di etape VI Tour de PDRI

Monumen PDRI Koto Tinggi (ANTARA/Miko Elfisha)

Sarilamak (ANTARA) - Embrio Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) memang terbentuk di Bukittinggi 19 Desember 1948. Namun ia baru bisa "dilahirkan" tiga hari setelah itu, 22 Desember 1948 di Halaban, sebuah negeri kecil di Kabupaten Limapuluh Kota.

Namun para pejuang tidak bisa menetap lama di tanah kelahiran PDRI itu. Halaban yang hanya berjarak 18 kilometer dari pusat Kota Payakumbuh membuat kedudukan pejuang tidak aman. Belanda bisa datang menyergap kapan saja untuk memusnahkan nafas terakhir Negara Indonesia pada saat itu.

Maka berpindah-pindah lokasi adalah alternatif yang dipilih pejuang PDRI. Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh menjadi salah satu pilihan. Konon, pemilihan lokasi itu atas usul Tan Malaka, Pahlawan Nasional asal Koto Tinggi.

Daerah itu dinilai aman karena hanya punya satu jalan masuk yang bisa dilewati kendaraan. Jalan itu juga ekstrem, penuh tikungan dan tanjakan berbahaya. Juga banyak jurang-jurang dalam. Daerah itu juga dilindungi benteng alami berupa perbukitan dan rimba. Sementara bagi penjuang, rimba telah seperti teman karib untuk bergerilya.

Rute berkelok dan penuh tanjakan itu yang kemudian harus ditaklukkan oleh peserta Tour de PDRI 2021 pada etape VI. Setelah dilepas Bupati Limapuluh Kota Syafaruddin Dt Bandaro Rajo dan Kabid Pemasaran Dinas Pariwisata Sumbar, Hendri Agung Indrianto di garis start di Limbanang yang memiliki kontur relatif datar, peserta harus mengeluarkan tenaga ekstra begitu memasuki Kecamatan Gunung Omeh yang menjadi pusat PDRI, tepatnya di Koto Tinggi.

Tidak sedikit pebalap yang terpaksa berhenti mengambil nafas dan mengisi tenaga kembali meskipun pada akhirnya seluruh pebalap berhasil finish di tugu peringatan PDRI Koto Tinggi.

Koto Tinggi merupakan sebuah nagari (desa) dengan sejumlah jorong. Menurut salah seorang putra veteran prajurit PDRI yang tinggal Dusun Padang Jungkek Jorong Sungai Dadok, Koto Tinggi, Syafri (57) semua jorong di daerah itu berkontribusi mendukung perjuangan PDRI.

Hampir 700 pejuang PDRI yang datang ke daerah itu awal Januari 1949. Mereka tersebar di seluruh jorong di Koto Tinggi, tidak terpusat di satu tempat saja untuk menghindari intaian pesawat capung Belanda.

Masyarakat dengan tulus ikhlas menyediakan makan untuk 700 pejuang itu. "Bayangkan sulitnya menyediakan makanan bagi orang sebanyak itu, padahal kondisi ekonomi masyarakat sebagian besar sedang melarat," katanya.

Masyarakat yang memiliki beras, menyumbangkan beras, yang punya sayur menyerahkan sayurnya. Yang punya makanan lain memberikan dengan suka rela. Mereka malah lebih mendahulukan makan untuk pejuang dari pada untuk diri sendiri.

Mereka bahkan merelakan rumahnya untuk ditinggali pejuang dan untuk sementara pindah ke pondok-pondok yang didirikan di persawahan.

Sembilan orang warga Koto Tinggi bahkan harus mengorbankan nyawa saat mencoba menghalangi pasukan Belanda yang mencoba masuk Koto Tinggi dengan merobohkan jembatan. Belum selesai semua dirobohkan, tentara Belanda sudah sampai dan memberondong mereka dengan peluru. Kubur sembilan syuhada itu masih bisa ditemui di Koto Tinggi.

Jembatan Pak Yakup, tempat sender radio YBJ 6 jatuh ke sungai. (ANTARA/Miko Elfisha)
Dusun Mudiak Dadok, Lokasi Penyiaran Radio YBJ 6 yang dilupakan sejarah

Jorong Mudiak Dadok adalah tempat Radio YBJ 6 disembunyikan saat sampai di Koto Tinggi dari Halaban. Dari sana pula siaran tentang keberadaan PDRI sebagai penyambung nyawa Negara Indonesia disiarkan hingga diterima stasiun radio di India.

Konon, sebelum sampai di Mudiak Dadok, radio seberat 3 ton itu harus dibawa melintas Sungai Batang Angek. Saat melintasi titian kayu, radio jatuh ke sungai. M. Yakup Lubis, Perwira AU yang memimpin pemindahan radio langsung jatuh terduduk. Wajahnya pucat.

"Habis sudah. Habis Indonesia. Kita kalah...," begitu pedih Yacop Ilyas. Radio itu adalah harapan terakhir untuk mengabarkan keberadaan PDRI pada dunia internasional. Tanpa radio itu, propaganda Belanda yang menyatakan Indonesia sudah tidak ada, tidak akan bisa diimbangi pejuang.

Beruntung, kerusakannya tidak parah dan bisa diperbaiki. Putra veteran di Sungai Dadok, Syafri menuturkan butuh ratusan orang untuk menarik radio itu keluar dari sungai.

Hampir 8 bulan radio itu disembunyikan di Dusun Mudiak Dadok. Menjadi pertahanan terakhir untuk propaganda Belanda. Namun sekarang mulai jarang orang yang mengingat sejarah itu. Bahkan jorong bersejarah itu kini telah mati. Dari 30 rumah yang ada di sana, kini hanya tinggal tiga rumah yang dihuni karena hingga 2018, jorong itu masih belum tersentuh penerangan listrik PLN.

Masyarakat Mudiak Dadok terpaksa pindah ke Dusun Padang Jungkek, Jorong Sungai Dadok yang telah mendapatkan akses listrik. " Sebanyak 98 persen masyarakat Mudiak Dadok sudah pindah ke Dusun Padang Jungkek Jorong Sungai Dadok agar dapat mengakses listrik," cerita Syafri.

Dusun Mudiak Dadok, tempat bersejarah itu kini jadi daerah mati. Hanya menjadi perladangan warga. Tempat radio YBJ 6 disembunyikan, kini telah jadi ladang Jeruk Siam Gunung Omeh, hilang dari ingatan sejarah.

Belum Ada Peninggalan PDRI jadi Cagar Budaya

Bupati Limapuluh Kota Safaruddin Dt Bandaro Rajo menyebut meski PDRI lahir di daerah itu, dan banyak daerah yang dilewati dan ditinggali para pemimpin PDRI seperti Ketua Syafruddin Prawiranegara seperti Tengku Moh. Rasyid namun belum ada satupun peninggalannya yang menjadi cagar budaya.

"Sebagian besar peninggalan PDRI di Limapuluh Kota adalah bangunan, namun belum ada yang menjadi cagar budaya," ujarnya.

Ia tengah menyusun Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) untuk mengupayakan agar peninggalan PDRI bisa ditetapkan jadi cagar budaya.

Tour de PDRI lalui titik penting perjuangan PDRI

Tour de PDRI berakhir pada etape VI, diakhiri dengan Upacara Peringatan Hari Bela Negara (HBN) ke-73 di Monumen Nasional Bela Negara Koto Tinggi.

Selama enam hari peserta telah menyusuri beberapa titik penting perjuangan PDRI. Kabid Pemasaran Dinas Pariwisata Sumbar, Hendri Agung Indrianto menyebut meski masih banyak kekurangan yang akan dievaluasi untuk diperbaiki, namun iven itu telah mampu membangkitkan kembali ingatan tentang sejarah penting PDRI untuk kelangsungan Negara Indonesia.***