DPR Panggil Menkominfo Terkait Peralihan Frekuensi XL-Axis

id DPR Panggil Menkominfo Terkait Peralihan Frekuensi XL-Axis

Jakarta, (Antara) - Komisi I DPR berencana memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dan pihak terkait lainnya guna meminta penjelasan mengenai persoalan peralihan spektrum frekuensi provider telekomunikasi PT XL Axiata Tbk (XL) dan Axis Telekom Indonesia (Axis) yang berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan. "Frekuensi tidak diperkenankan untuk dijual bebas. Oleh karena itu, kami minta Menkominfo tegas mengenai penggabungan XL dan Axis, terutama soal frekuensinya. Pemanggilan Menkominfo rencananya akan dilakukan sebelum reses," kata Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha, di Jakarta, Kamis. Penggabungan XL-Axis berpotensi menjadikan frekuensi, yang menurut PP 53 Tahun 2000, merupakan sumber daya yang terbatas beralih ke pihak perusahaan Malaysia dan Arab Saudi. Saat ini, Axiata Investments sebagai pemegang saham pengendali XL (66,5 persen). Axiata Group Berhard dipimpin Dato' Sri Jamaludin Ibrahim, merupakan perusahaan asal Malaysia. Sedangkan Saudi Telecom Company (STC), sebagai perusahaan Arab Saudi tercatat sebagai pemegang saham terbesar Axis dengan kepemilikan 80,1 persen saham. Pemegang saham lain, yakni perusahan asal Malaysia, Maxis Communication, sebanyak 14,9 persen, dan PT Hamersha Investindo 5 persen saham. Belakangan XL telah menguasai frekuensi seluler di rentang spektrum 900 MHz, 2.100 MHz, dan 1.800 MHz baik untuk 2G maupun 3G. Sedangkan Axis memiliki dua kanal frekuensi di rentang spektrum 1800 MHz dan 2100 MHz. Politisi PPP itu menyatakan, Komisi I DPR meminta Menkominfo untuk transparan kepada DPR, apakah ada pelanggaran-pelanggaran hukum dari merger tersebut atau karena dikhawatirkan merger XL-Axis dapat berisiko merugikan negara akibat terjadinya peralihan frekuensi kepada perusahaan Malaysia dan Arab Saudi. Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Alex J Sinaga menjelaskan, aksi akuisisi yang diikuti dengan merger dua operator telekomunikasi tidak bisa melibatkan frekuensi dan blok nomor yang dimiliki salah satunya. "Kalau mengacu pada Undang-Undang Telekomunikasi dan aturan turunannya, tidak bisa frekuensi dan blok nomor itu ditransfer ke pihak yang melakukan akuisisi. Jadi, walau secara aturan akuisisi itu diijinkan, tetapi tidak logis dijalankan karena yang didapat hanya aset dan pelanggan tanpa nomornya," kata Alex. Menurut dia, akuisisi bisa terjadi secara alami atau didorong oleh regulator. "Hal yang harus diperhatikan itu dalam akuisisi jika mau yang ideal tentu ada insentif dari regulator. Namun, kalau regulator ingin memberikan insentif harus diperhatikan juga apa yang mau diberikan. Jangan malah menciptakan distorsi di industri karena tidak memperhatikan asas manfaat," ucap Alex. (*/jno)

Pewarta :
Editor: Antara Sumbar
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.