Padang (ANTARA) - Suara gambang mengalun lincah meramaikan suasana malam Kota Padang yang sedikit gerah, Selasa (5/10/2021). Ketukan khasnya berpadu harmonis dengan saxofon, gitar bass, mandolin, biola, ukulele, dan trompet, mengiringi lagu Kampuang Nan Jauah di Mato yang dinyanyikan dalam bahasa Minang nan fasih.
Panduduaknyo nan elok nan
suko bagotong royong
kok susah samo-samo diraso
den takana jo kampuang
Penggalan lirik lagu yang menceritakan kerinduan pada kampung halaman dan kebersamaan dalam alunan musik yang asik memancing penonton Pekan Budaya Daerah (PKD) Sumatera Barat 2021 untuk ikut berdendang.
Meski lirik lagu itu berbahasa Minang, namun pelantunnya bukanlah dari etnis Minang, tetapi etnis Tionghoa Padang yang telah beratus tahun hidup dan mewarnai perjalanan perkembangan kota.
Kesenian gambang juga tidak berakar dari budaya Minang. Kesenian itu konon akultrasi dari budaya keturunan Tionghoa di Indonesia, Betawi serta Portugis yang kemudian menjadi identitas entis Tionghoa di Padang.
Konon pula, potongan kayu yang digunakan untuk membuat alat musik dengan alunan nada yang khas itu didatangkan langsung dari Tionghoa.
Alat musik gambang juga agak berbeda dari alat musik lain. Alat musik dengan nada G itu tidak memiliki not "Fa" dan "Si" namun tidak terdengar "cacat".
Not "Fa" dan "Si" dalam lagu "Kampuang Nan Jauah di Mato" yang tidak bisa dimainkan oleh alat musik gambang, tertutupi oleh harmonisasi alat musik pengiring lain yang dimainkan seniman Himpunan Bersatu Teguh (HBT).
Serupa dengan lagu Minang itu, gambang juga tetap terdengar mengasikkan saat mengiringi lagu dari berbagai daerah di Indonesia, lagu Tionghoa bahkan lagu barat.
"Kuncinya adalah harmonisasi. Gambang yang tidak punya not "Fa" dan "Si" tetap bisa mengiringi lagu karena ditopang alat musik lain yang mengiringi," kata sang seniman gambang.
Sedikit penghantar sebelum kesenian gambang yang mengiringi malam penutupan Pekan Budaya Daerah Sumbar itu dimainkan, terus melekat dalam pemikiran. Sudahkah harmonisasi itu tercapai dalam dunia berkesenian dan berkebudayaan di Sumbar?
Harmonisasi yang tidak mencari-cari kecacatan, tidak mencari kesalahan tapi mengisi kekurangan untuk terus bisa berkembang?
Tidak mencari cela kreatifitas generasi muda para pewaris kebudayaan yang mencoba mengembangkan kesenian dengan cara sendiri, dengan segala informasi dan teks yang berseliweran dalam dinamika dunia tempat mereka tumbuh dan dibesarkan.
Tidak pula mencari sengketa pada mereka yang teguh memegang tradisi sesuai nilai-nilai dan kearifan lokal yang diwariskan dari nenek moyang.
Karena pada akhirnya semua akan berjalan pada garisnya sendiri, pada keyakinan dan proses yang terus menerus tanpa henti hingga pada suatu titik karya dihargai sebagai sebuah masterpeice.
Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Gemala Ranti mengatakan Pekan Kabudayaan daerah (PKD) Sumbar akan merangkul semua seniman, seluas-luasnya. Yang akan mendahulukan karya dibanding siapa, dengan satu tujuan, mendukung seniman sebagai sebuah profesi yang mampu berdiri dan berdaulat di kaki sendiri.
PKD Sumbar adalah sebuah wadah. Wadah yang menurut Ketua DPRD Sumbar, Supardi telah mampu menjadi simpul mempertemukan banyak penggerak kesenian. Dari Sumbar Kreatif hingga Ikatan Pemuda mentawai, dari Batajau Piaman hingga Legusa Payokumbuah. Dari penggesek Rabab Pasisie hingga pemusik eksperimen. Dari anak metal hingga sipak rago. bahkan kuliner darek sampai rantau yang berkolaborasi mendukung kesenian dan kebudayaan.
Maka tugas pemerintahlah untuk mendukung agar pelaku kesenian, generasi muda dan para maestro bisa terus bergerak maju tanpa meninggalkan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Begitulah. Pekan Budaya Sumbar 2021 akhirnya ditutup, Selasa (5/10) malam dengan harapan yang tersimpan di sudut hati. Harapan untuk digelar kembali dua tahun mendatang dengan persiapan dan cara memandang pada seniman dan kebudayaan yang makin matang.*