Jakarta (ANTARA) - Adjektiva "radikal" pernah disematkan pada karakter figur historis dengan muatan makna agung dan mulia.
Namun, radikalisme lebih-lebih dalam politik, lebih banyak destruktif ketimbang membangun. Bertolak belakang dengan watak demokrasi, jalan damai dalam transisi kekuasaan, laku radikal menenggang kekerasan, pertumpahan darah. Artinya, radikalisme yang melahirkan keagungan dan kemuliaan, pada hari-hari ini, nyaris merupakan "hil yang mustahal"—meminjam frasa parodik pembanyol legendaris Asmuni.
Alih-alih sabar menanti 5 tahun sekali dalam pergantian kuasa, radikalis memilih jalan pintas, menafikkan aturan dan keteraturan, abai pada liyan dan karenanya sering berdarah-darah dalam perjuangan politik mereka.
Radikalisme dilakukan siapa pun, di mana pun, kapan pun, dengan beragam dalih dan pola tindakan apa pun. Seperti korupsi, radikalisme cenderung dilakukan oleh kelompok mayoritas. Namun, mayoritas yang di dalamnya terkandung kelompok kecil eksklusif, yang tega menyaksikan korbannya menderita, teraniaya, terbantai. Di negara dengan mayoritas pengikut Hinduisme, korupsi dan radikalisme cenderung dilakukan orang-orang Hindu.
Begitu pula situasi kontekstualnya dengan Italia yang mayoritas penduduknya Katolik atau Indonesia yang kebanyakan warganya muslim. Ini tidak menutup peluang kelompok minoritas melakukan dua jenis perbuatan yang merugikan kemanusiaan itu.
Dalam kancah politik Indonesia pasca-Orde Baru, ambruknya otoritarianisme yang ditopang militerisme, memunculkan radikalisme yang benih-benihnya boleh jadi telah tersemaikan sejak demokrasi parlemen ditumbangkan pada era Soekarno dan berlanjut hingga lengsernya Presiden Soeharto.
Di bawah pemerintahan Orde Baru yang represif, Abu Bakar Ba'asyir dari pesantren Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, di awal dekade 80-an menyemai benih-benih radikalisme itu.
Ceramah Ba'asyir di kampung-kampung Surakarta, terutama di sekitar Kentingan tempat indekos mahasiswa Universitas Sebelas 11 Surakarta (UNS) memukau para mahasiswa idealis sekaligus radikalis. Sebagai mahasiswa semester awal di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS, penulis termasuk yang terpesona oleh retorika ulama yang tampil gagah berani dengan nada suara bariton itu.
Jumlah mahasiswa yang hadir rata-rata kurang dari 50 orang. Sengaja dibatasi agar tak mengundang perhatian aparat intel. Namun, ceramah yang dikemas dalam format pengajian itu dilakukan rutin, berpindah-pindah lokasi. Pendengar setianya selalu menerima jadwal ceramah secara "getok tular", pengabaran dari mulut ke mulut.
Isi pengajiannya, sesuai dengan hadirinnya, tidak cuma melulu mengupas ayat-ayat suci Quran dalam konteks amar maruf nahi munkar, tetapi juga diselingi kritik terhadap teori evolusi darwinisme, ateisme dan sekularisme. Namun, yang tak kalah menariknya, Ba'asyir juga mengobarkan semangat antinegara. Menerima gaji dari pajak rakyat seperti yang dinikmati pegawai negeri sipil (PNS) haram hukumnya. Menghormat bendera Merah Putih saat upacara tiap 17 Agustus harus dihindari.
Pesan-pesan religius yang disemai ulama kharismatik itu sesekali juga diselipi cemooh terhadap kultur pop, kesenian tradisi yang berkelindan dengan elemen-elemen hedonistik keduniawian.
Benih-benih yang ditanam hampir setengah abad silam itu kini, diakui atau tidak, boleh jadi sudah menjadi pohon dan berbuah. Ditambah maraknya radikalisme yang masuk ke Tanah Air lewat jaringan internet, kian menguatkan, memperkukuh radikalisme itu, sekali pun persentasenya tidak signifikan jika dipandang dari aspek kuantitas atau dikomparasikan proporsinya dengan jumlah penduduk.
Namun, sejumlah kecil orang-orang radikal, dengan slogan-slogannya yang intoleran, sudah cukup menggoyahkan kestabilan, ketenangan hidup di tengah masyarakat. Dengan perkataan lain, radikalisme itu tetaplah menjadi duri dalam daging kebinekaan yang merajut keindonesiaan.
Variabel Tradisi Lokal
Bagaimana menangkal radikalisme itu? Banyak variabel yang berperan dalam merintangi pertumbuhan pesat radikalisme. Satu variabel yang bisa ditawarkan di sini adalah tradisi lokal, kearifan komunitas yang tersebar di nusantara ini.
Di Maluku ada tradisi pela gadong, tradisi persaudaraan dalam menyelesaikan konflik antarpuak. Tradisi yang sudah mengakar ini pun pernah terkoyak dengan meletusnya konflik awal-awal pasca-Orba di Maluku, yang sebetulnya resultante pertarungan politik, dengan memasukkan unsur-unsur agama dan melibatkan etnis luar.
Pengalaman tragis Maluku ini mengindikasikan bahwa tradisi pun bisa rapuh di hadapan pertarungan politik elite, yang menguasai sumber daya. Dengan modal dan senjata, kelompok minoritas pun diberi amunisi untuk melawan kelompok mayoritas. Konflik akan menjadi-jadi jika perimbangan etnis mayoritas dan minoritas begitu tipis perbedaannya.
Tradisi Jawa, yang sebagian adalah warisan nilai-nilai yang ditinggalkan Walisongo dalam menyebarkan Islam dengan mengakomodasi kesenian lokal, masih menonjol hingga dekade 70. Namun, kian menyusut seiring dengan modernisasi dan masuknya seni-seni modern yang sumbernya dari Amerika.
Pembaca sejarah nusantara mafhum bahwa wayang, yang amat digemari masyarakat Jawa pernah dimanfaatkan sebagai wahana penyebaran Islam. Walisongo memperkaya khazanah nilai-nilai pewayangan itu, antara lain dengan menciptakan episode dan penokohan punakawan.
Dalam mengisahkan episode punakawan ini, dalang menginjeksikan dakwah kerukunan, toleransi, perlombaan menuju kebaikan dan nasihat-nasihat profetis sehingga penikmat wayang memperoleh penguatan jagat nilai dalam mentalitas mereka. Namun, sekelompok dai radikal di kemudian hari menyemaikan pandangan mereka bahwa wayang itu Hinduistik. Dalam bingkai demokrasi, pandangan itu sah adanya. Namun, implikasi politiknya di kemudian hari cukup berisiko, yang salah satu fenomenanya berupa hadirnya kelompok sektarian radikal.
Surutnya tradisi pewayangan bukan terutama kemenangan dakwah sektarian semacam itu. Wayang, ludruk, bahkan teater modern kian surut dalam penampilan mereka di panggung-panggung publik saat ini semata-mata akibat persoalan platform, medium pertunjukan itu sendiri.
Era digital, teknologi informasi mengubah semuanya. Pertarungan nilai kini pindah di media sosial. Mau tak mau, tradisi lokal, kearifan setempat pun wajib bertransformasi diri dan menampilkan diri di panggung siber. Tampaknya sudah banyak yang melakukannya. Dahsyatnya pula, pelakunya bukan lagi cuma lokal tetapi juga global. Pertunjukan dalang, sinden, dan penabuh gamelan bule di sudut-sudut kota Amerika dan Inggris bisa dinikmati di kanal-kanal media sosial oleh siapa pun. Bahkan, kolaborasi seniman lokal dan global pun bisa dinikmati estetikanya.
Namun, pertunjukan-pertunjukan kesenian tradisi seperti pergelaran wayang di Blitar, Wonogiri, Surakarta masih bisa ditemui sesekali, yang diinisiasi oleh para pegiat seni tradisi. Mereka ini juga punya misi kebinekaan, keindonesiaan dalam menggelar hajatan seni tradisi itu. Jika pergelaran yang tak perlu kolosal ini dilakukan rutin dan merata di berbagai kota, pesan-pesan yang disampaikan dengan mengusung nilai-nilai toleransi, multietinisitas sedikitnya bisa menjadi antitesis radikalisme.
Dengan perkataan lain, nilai-nilai yang universal yang disampaikan oleh kesenian tradisi pun bisa punya andil dalam merintangi laju radikalisme, baik yang semata-mata didasarkan pada dogma sektarian keagamaan maupun yang menjadi bagian dari agenda politis kaum pemburu kuasa duniawi yang berkedok aksesoris ukhrowi.