Padang (ANTARA) - COVID- 19 bukan hanya menjadi musibah di Indonesia, tetapi ini sudah merupakan musibah dunia. Diawal kemunculan virus ini pada akhir 2019, sampai saat ini masih belum bisa dikatakan penyebaran virus ini telah selesai. Banyak dampak yang dialami dan dirasakan akibat musibah pandemi ini. Kasus virus Corona terus bertambah dari hari ke hari . Sebelumnya pada akhir November , Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut angka kematian atau mortality rate COVID -19 di Indonesia masih tinggi.
Banyak sekali pertanyaan pertanyaan yang timbul di benak masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan COVID-19. Salah satunya sering kita dengar pertanyaan masyarakat “ meninggal karena kecelakaan kenapa dimakamkan secara COVID? Keluarga saya sudah jelas meninggal karena diabetes tapi kenapa dimakamkan secara COVID? Tetangga saya meninggal karena sakit jantung, tapi kenapa tetap dilaksanakan prosedur COVID? Dan masih banyak pertanyaan sejenis lainnya mengenai COVID.
Dari pertanyaan tersebut timbullprasangka keluarga dan masyarakat bahwa jangan-jangan keluarga saya sengaja dicovidkan oleh pihak rumah sakit karena tujuan tertentu atau karena bisnis untuk memperkaya diri. Pertanyaan seperti ini sering ditanyakan oleh masyarakat.
Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak mendapat informasi yang pasti atau masyarakat hanya mengetahui informasi secara parsial saja. Sehingga menimbulkan misspersepsi atau salah paham. Akhirnya salah paham tersebut berkembang menjadi prasangka buruk yang menyebar dikalangan masyarakat.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut coba kita dalami satu persatu. Apakah orang kecelakaan, orang yang diabetes, orang yang sakit jantung tidak bisa terinfeksi COVID-19? Dan apakah orang yang terinfeksi corona tidak dapat meninggal karena penyebab selain COVID-19? Bisa saja orang yang meninggal karena kecelakaan, diabetes , sakit jantung, stroke meninggal secara bersamaan bisa dicurigai mengidap COVID-19 juga. Sehingga dimakamkan memakai protokol COVID-19. Tetapi tidak semua pasien yang meninggal karena COVID-19. Namun demikian dapat kita jelaskan bahwa COVID-19 dapat menyebabkan inflamasi atau peradangan menyeluruh atau SIRS ( SystemicInflamatory Response Syndrome ). Yang dapat memperparah kondisi pasien sebelumnya seperti diabetes, jantung, hipertensi sehingga dapat menyebabkan kematian.
Jadi, dapat kita pahami bahwa kenapa pasien yang kecelakaan, stroke, diabetes ataupun jantung dimakamkan secara COVID-19? Karena saat itu, pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis baik itu pemeriksaan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, rontgent torak ataupun CT-Scan mengarahkan pada diagnosa COVID-19 atau suspek COVID-19.
Contoh lain, misalnya ada pasien yang datang ke IGD dengan kondisi luka parah di kepala karena kecelakaan motor. Ternyata diketahui juga saat sebelum kecelakaan ternyata si pasien telah mengalami demam batuk, sesak nafas. Dan setelah rapid ternyata positif dan telah dilakukan Ro torax pun ternyata di parunya sudah mengalami infeksi. Dan ternyata, karena infeksi yang cukup berat di kepala, nyawa pasien tidak tertolong. Maka tetap pasien tersebut dimakamkan secara COVID-19. Walaupun penyebab utamanya adalah karena kecelakaan.
Begitu juga dengan pasien diabetes, ketika datang pertama kali ke rumah sakit, gulanya tinggi dan keadaan nya cukup berat, kemudian tenaga medis melakukan pemeriksaan terhadap pasien ternyata pasien batuk , sesak dan memiliki riwayat kontak dengan orang yang terkonfirmasi positif, kemudian dilakukan pemeriksaan rontgent dan rapid ternyata hasilnya mengarah terinfeksi COVID-19. Maka walaupun pasien meninggal karena diabetesnya, karena komplikasi sakit jantungnya, pasien harus dimakamkan secara COVID-19. Kenapa? Karena sebagai kewaspadaan dini supaya kita bisa memutus mata rantai penyebaran infeksi COVID-19 ini.
Pada masa pandemi ini, kita harus meningkatkan kewaspadaan terhadap wabah ini. Jadi setiap pasien yang datang ke rumah sakit harus kita waspadai ada kemungkinan terinfeksi virus corona. Sehingga tenaga medis senantiasa memakai APD yang lengkap sesuai standarnya untuk pencegahan terhadap virus COVID-19 ini.
Persepsi yang keliru dan opini yang salah menghasilkan misinformasi dan disinformasi yang merugikan pelayanan rumah sakit dalam penanganan pandemi COVID-19. Terbangunnya opini “rumah sakit meng-Covid-kan pasien" menimbulkan stigma dan pengaruh luar biasa pada menurunnya kepercayaan publik terhadap rumah sakit.
Dalam hal mengajukan klaim pembayaran atas pasien COVID-19, rumah sakit senantiasa didasarkan dan memang harus mematuhi ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07 / MENKES / 446 / 2020 tentang Petunjuk Teknis Klaim Penggantian Biaya Pelayanan Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu bagi rumah sakit yang menyelenggarakan Pelayanan Corona Virus Disease 2019 (Covid -19). Didalam aturan Kemenkes ini memuat bahwa pengajuan klaim pasien COVID-19 harus dibuktikan dengan assesmen klinis, resume medis, pemeriksaan laboratorium dan data pendukung lainnya. Selain itu, dalam Kemenkes tersebut dimuat juga bahwa rumah sakit yang memberikan pelayanan tidak sesuai tata kelola pelayanan yang diatur dalam pedoman ini maka tidak akan diberikan penggantian biaya pelayanan COVID-19.
Dalam ketentuan Kemenkes tentang petunjuk teknis klaim juga dijelaskan bahwa klaim pengajuan biaya oleh rumah sakit ditembuskan pada Kemenkes, Dinkes setempat , serta diverifikasi oleh BPJS Kesehatan. Jika terjadi ketidaksesuaian, maka dilakukan penyelesaian oleh tim yang di bentuk oleh Menteri Kesehatan.
Mengutip pernyataan Sekjen Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) drg. Ling Ichsan Hanafi, MARS mengatakan bahwa “ kami yakin bahwa hanya melalui kesatuan pemikiran yang diimplementasikan dengan gerak langkah yang satu, kita bisa menghadapi masa-masa sulit ini. Kesulitan ini telah berhembus kepada semua pihak, termasuk dunia kesehatan namun tidak terbatas kepada fasilitas-fasilitas kesehatan saja namun semua elemen-elemen di dalamnya. Oleh sebab itu, hendaknya berita-berita yang menggiring opini ke arah yang negatif, bisa dihindari bersama-sama dan apabila terdapat hal-hal yang kurang berkenan, hendaknya dimusyawarahkan demi kebaikan masyarakat luas”.
Marilah kita ubah pola pikir supaya tidak berburuk sangka untuk tidak langsung menyimpulkan bahwa tenaga medis sengaja mengcovidkan pasien karena ingin mengambil keuntungan. Sesungguhnya semua riwayat kesehatan dan tindakan pelayanan kesehatan pasien itu ditulis dalam sebuah dokumen yang nama nya rekam medis dan itu semua bisa di audit oleh orang- orang yang terlatih dan berintegritas. Jadi rasanya hampir mustahil dan tidak mungkin untuk dilakukan rekayasa dan berkonspirasi untuk meng-covid- kan pasien. Selain itu untuk mengcovidkan seseorang dirumah sakit itu sangat sulit karena mengklaim pasien positif atau negatif dibuktikan dengan hasil laboratorium dan ronsent dan tindakan pelayanan di rumah sakit multisektor yaitu melibatkan orang banyak sehingga tidak mungkin meng-Covid-kan pasien. Sebagai masyarakat yang turut mendukung program pemerintah dalam upaya pemutusan rantai penyebaran COVID-19 marilah kita bersama – sama mengikuti protokol kesehatan dengan cara memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan sesering mungkin.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas