Denpasar (ANTARA) - Pilihannya sama-sama sulit. Mirip media massa ketika menghadapi era disrupsi yang tidak memiliki pilihan "hidup atau mati", tapi pilihan yang disodorkan justru maha sulit, yakni "berubah atau mati", jadi ada paksaan untuk berubah, sebab kalau tidak berubah akan bisa mati.
Namun pilihan sulit itu kadang juga tidak membuat manusia sadar, kecuali jika mengalami sendiri. Ibarat COVID-19 yang kadang dianggap "tidak ada", tapi ketika ada keluarganya atau dirinya sendiri yang mengalami derita itu akan "dipaksa" untuk percaya bahwa COVID-19 itu ada.
Karena itu, penyanyi Iwan Fals pun menyodorkan pilihan yang juga sulit dalam lagunya bertajuk "Berjuang Di Tengah Wabah" yakni mau cuek atau mau takut, cari aman atau cari mati, taruhannya sama, yakni nyawamu sendiri. Sulit, bukan?!.
Di tengah pilihan yang sama-sama sulit itulah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta KPU, pemerintah, dan DPR RI untuk menunda penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 demi menjaga kesehatan rakyat.
Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Siroj dalam pernyataan sikapnya di Jakarta, Minggu (20/9/2020) meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati.
Pelaksanaan pilkada meskipun dengan protokol kesehatan yang diperketat, dinilai sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya.
Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat.
Namun penularan COVID-19 telah mencapai tingkat darurat, prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan.
Sementara itu, di tengah upaya menanggulangi dan memutus rantai penyebaran COVID-19, Indonesia sedang menghadapi agenda politik.
Agenda politik berupa Pilkada Serentak 2020 di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang puncaknya direncanakan pada 9 Desember 2020.
Sebagaimana lazimnya perhelatan politik, Said Aqil menyebut sebagai momentum pesta demokrasi selalu identik dengan mobilisasi massa.
Meskipun ada pengetatan regulasi terkait pengerahan massa, telah terbukti dalam pendaftaran pasangan calon terjadi konsentrasi massa yang rawan menjadi klaster penularan.
Fakta menunjukkan sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta para calon kontestan pilkada di sejumlah daerah positif terjangkit COVID-19.
NU juga meminta untuk merealokasikan anggaran pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial.
Selain itu, NU perlu mengingatkan kembali Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 di Kempek Cirebon perihal perlunya meninjau ulang pelaksanaan pilkada yang banyak menimbulkan mudarat berupa politik uang dan politik biaya tinggi.
Tidak hanya NU, Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membahas kemungkinan peninjauan kembali pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 2020 dengan Kementerian Dalam Negeri, DPR, dan instansi terkait.
"Bahkan di tengah pandemi COVID-19 dan demi keselamatan bangsa serta menjamin pelaksanaan yang berkualitas, KPU hendaknya mempertimbangkan pemilihan kepala daerah 2020 ditunda," demikian bunyi siaran pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang ditandatangani Ketua Umum Prof Haedar Nashir dan Sekretaris Umum Prof Abdul Mu'ti di Yogyakarta yang diterima di Jakarta, Senin (21/9).
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau KPU meninjau kembali jadwal pelaksanaan maupun aturan kampanye dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 yang kemungkinan dapat melibatkan kerumunan orang.
Akan lebih baik, katanya, bila KPU mempertimbangkan dengan seksama agar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2020 serentak ditunda sampai keadaan memungkinkan.
"Keselamatan masyarakat jauh lebih utama dibandingkan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berpotensi menjadi klaster penularan COVID-19," bunyi siaran pers tersebut.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah bekerja keras menangani pandemi COVID-19, meskipun belum menunjukkan hasil yang maksimal.
Selama lebih dari satu semester, pandemi COVID-19 menimbulkan masalah kesehatan, ekonomi, sosial-budaya, mental-spiritual, politik, dan sebagainya. Pandemi COVID-19 juga menimbulkan masalah kemanusiaan yang sangat serius. Jumlah korban meninggal dunia maupun yang masih dalam perawatan terus meningkat, termasuk dari kalangan tenaga kesehatan.
Protokol Pilkada
Seakan merespons kedua ormas terbesar di Tanah Air itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap dilaksanakan secara serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020.
Mahfud, saat menyampaikan pengantar secara virtual Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak Tahun 2020, Selasa (22/9/2020) menegaskan bahwa pilkada serentak tetap dilaksanakan 9 Desember 2020 dengan penegakan disiplin protokol kesehatan dan penegakan hukum yang tegas.
Mahfud memaklumi adanya masyarakat yang menginginkan pilkada ditunda, namun ada pula yang menghendaki pilkada tetap digelar 9 Desember 2020 atau diteruskan.
Masing-masing memiliki argumentasi tersendiri, tetapi mereka sama-sama memiliki perhatian yang sangat mendalam terhadap protokol kesehatan COVID-19.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.juga mengkhawatirkan jangan sampai pilkada itu menjadi klaster baru, karena bisa jadi sumber bencana yang memperbesar tragedi COVID ini.
Mahfud menjelaskan bahwa presiden telah mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat dan unsur-unsur dari masyarakat, baik yang ingin pilkada ditunda atau dilanjutkan.
Setelah mendengar pertimbangan dan saran dari pimpinan kementerian dan lembaga di bidang polhukam dan mendiskusikan secara mendalam pada Senin (21/9) lalu, Presiden berpendapat bahwa pilkada tidak perlu ditunda dan tetap dilaksanakan.
Kedua, jika pilkada ditunda, misalnya sampai selesainya bencana COVID-19 maka itu tidak memberi kepastian karena tidak ada satupun orang atau lembaga yang bisa memastikan kapan COVID-19 akan berakhir.
Alasan berikutnya, kata dia, sebenarnya pilkada yang akan digelar 9 Desember 2020 itu sudah ditunda dari semula dijadwalkan pada 23 September 2020.
Selain itu, Mahfud mengatakan pemerintah juga tidak ingin 270 daerah dijabat oleh pelaksana tugas (Plt) dalam waktu bersamaan. "Karena Plt itu tidak boleh mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis, sedangkan dalam situasi sekarang di tengah pandemi COVID-19, kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi pada penggerakan birokrasi dan sumber daya lain seperti dana itu memerlukan pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang sifatnya strategis," ujarnya.
Menanggapi hal itu, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Fritz Edward Siregar menyebut pelanggaraan protokol kesehatan pada masa pendaftaran merupakan wake up call. Dari 270 daerah yang mengadakan pilkada, ada 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pasangan calon dengan membawa massa.
"Meski di dalam kantor KPU bisa menegakkan protokol kesehatan, tapi di luar banyak protokol yang dilanggar. Itu jadi wake up call kita semua," ungkapnya dalam Diskusi Salemba ILUNI UI dengan tema "Pilkada di Tengah Masa Pandemi: Siapkah Kita Melakukan Pesta Demokrasi?" yang diadakan secara diskusi virtual, Rabu (23/9/2020).
Sejak 6 September sampai sekarang, Bawaslu juga telah melakukan koordinasi dalam rangka penerapan protokol di dalam dan di luar KPU.
Ia menyatakan penetapan pasangan calon hanya diumumkan via internet. Para pasangan calon hanya dapat suratnya.
Saat undian pun hanya boleh dihadiri oleh paslon, LO partai, dan satu perwakilan dari partai politik. Kalau datang ke kantor KPU bawa arak-arakan, pengundian tidak akan dilaksanakan, sebutnya.
Senada dengan itu, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menyarankan untuk tetap membuka opsi penundaan Pilkada apabila kondisi berpotensi meningkatkan penularan COVID -19 dan penyelenggara harus melihat kondisi negara secara realistis walaupun tetap optimis.
Pada kesempatan itu, Andre mengatakan infrastruktur kesehatan akan kesulitan jika pilkada membuat angka terinfeksi COVID-19 meningkat.
Selain itu, infrastruktur digital juga dinilai belum merata terutama di daerah-daerah luar Jawa. Ia mengungkapan kekhawatiran jika pilkada dilaksanakan dengan kerangka kerja seperti sebelum pandemi, justru akan memungkinkan penularan.
"Jika tidak memungkinkan kita bisa menunda, ya tidak harus sampai COVID-19 selesai, tapi setidaknya (ditunda) sampai persiapannya lebih siap. Namun, kita juga harus tetap optimis dalam melakukan terobosan-terobosan yang belum pernah dilakukan dalam pemilihan," ucapnya.