Soal tuntutan penyerang Novel Baswaden, ini kata pengacara terdakwa
Penasihat hukum sangat sependapat terhadap tuntutan JPU yang menuntut hukuman pidana 1 tahun
Jakarta (ANTARA) - Pengacara Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, terdakwa penyerang penyidik KPK Novel Baswedan, sepakat kliennya dituntut 1 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.
"Penasihat hukum sangat sependapat terhadap tuntutan JPU yang menuntut hukuman pidana 1 tahun kepada kedua terdakwa karena tujuan persidangan bukan hanya memberikan hukuman ke terdakwa tapi juga pelajaran kepada masyarakat," kata Eddy Purwatmo, pengacara terdakwa Rahmat dan Ronny, saat membacakan duplik di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin.
JPU Kejari Jakut dalam sidang pembacaan tuntutan pada 11 Juni 2020 lalu menuntut 1 tahun penjara kepada Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis karena menilai para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel dan hanya akan memberikan pelajaran kepada Novel dengan menyiramkan asam sulfat ke badan namun di luar dugaan mengenai mata Novel. Keduanya terbukti melakukan dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Pelajaran bagi masyarakat bahwa ada apresiasi berupa berat atau ringannya hukuman yang diberikan bila seseorang telah mengakui dan menyerahkan diri. Bila terdakwa dituntut lebih berat maka tidak memberikan pembelajaran yang baik kepada masyarakat luas bahwa bagi pelaku yang jujur dan mau menyerahkan diri sudah sepatutnya diberikan penghargaan dengan tuntutan yang rendah dari penuntut umum," katanya.
Penasihat hukum bahkan menyatakan persidangan tersebut dapat dijadikan contoh untuk persidangan lainnya.
"Harapannya persidangan ini jadi 'role model' dalam proses persidangan lain sehingga lebih banyak pelaku yang jujur mengakui dengan harapan dituntut rendah JPU, sebaliknya bila sudah jujur dan mengakui perbuatan dan berani menyerahkan diri tetap dituntut berat malah tidak ada lagi yang akan mengakui perbuatannya," katanya.
Pengacara juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada JPU yang berani mengatakan kedua terdakwa tidak pernah ditangkap dan malah menyerahkan diri secara sukarela.
"Karena tidak semua pelaku berani bertanggungjawab di persidangan dan menunjukkan sikap patriotik serta berjiwa ksatria," katanya.
Pengacara juga membela JPU Kejari Jakut dan mengkritik orang-orang yang disebut tidak mengikuti seluruh persidangan tapi mengkritisi tuntutan JPU.
"Hanya kalangan tertentu yang misleading dan mispersepsi terhadap tuntutan JPU karena dari awal tidak mengetahui fakta-fakta dan seenaknya mengomentari rendahnya tuntutan JPU dengan asumsi mereka sendiri dan narasi yang menurut mereka benar," katanya.
Tim penasihat hukum juga membela peran mereka dalam membela Rahmat dan Ronny dengan menegaskan bahwa keduanya patut mendapat pendampingan hukum dari Polri.
"Kami melaksanakan tugas di Divisi Hukum Polri untuk memberikan pendampingan hukum kepada terdakwa, hak terdakwa harus dihargai bahkan saksi korban Novel Baswedan selaku purnawirawan Polri yang sudah mengabdi sebagai anggota Polri selama 15 tahun dan 11 bulan pun punya hak untuk mendapat bantuan hukum, silakan mengirimkan surat ke Kadivkum Polri," katanya.
Majelis hakim akan menjatuhkan putusan pada 16 Juli 2020.
"Penasihat hukum sangat sependapat terhadap tuntutan JPU yang menuntut hukuman pidana 1 tahun kepada kedua terdakwa karena tujuan persidangan bukan hanya memberikan hukuman ke terdakwa tapi juga pelajaran kepada masyarakat," kata Eddy Purwatmo, pengacara terdakwa Rahmat dan Ronny, saat membacakan duplik di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin.
JPU Kejari Jakut dalam sidang pembacaan tuntutan pada 11 Juni 2020 lalu menuntut 1 tahun penjara kepada Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis karena menilai para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel dan hanya akan memberikan pelajaran kepada Novel dengan menyiramkan asam sulfat ke badan namun di luar dugaan mengenai mata Novel. Keduanya terbukti melakukan dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Pelajaran bagi masyarakat bahwa ada apresiasi berupa berat atau ringannya hukuman yang diberikan bila seseorang telah mengakui dan menyerahkan diri. Bila terdakwa dituntut lebih berat maka tidak memberikan pembelajaran yang baik kepada masyarakat luas bahwa bagi pelaku yang jujur dan mau menyerahkan diri sudah sepatutnya diberikan penghargaan dengan tuntutan yang rendah dari penuntut umum," katanya.
Penasihat hukum bahkan menyatakan persidangan tersebut dapat dijadikan contoh untuk persidangan lainnya.
"Harapannya persidangan ini jadi 'role model' dalam proses persidangan lain sehingga lebih banyak pelaku yang jujur mengakui dengan harapan dituntut rendah JPU, sebaliknya bila sudah jujur dan mengakui perbuatan dan berani menyerahkan diri tetap dituntut berat malah tidak ada lagi yang akan mengakui perbuatannya," katanya.
Pengacara juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada JPU yang berani mengatakan kedua terdakwa tidak pernah ditangkap dan malah menyerahkan diri secara sukarela.
"Karena tidak semua pelaku berani bertanggungjawab di persidangan dan menunjukkan sikap patriotik serta berjiwa ksatria," katanya.
Pengacara juga membela JPU Kejari Jakut dan mengkritik orang-orang yang disebut tidak mengikuti seluruh persidangan tapi mengkritisi tuntutan JPU.
"Hanya kalangan tertentu yang misleading dan mispersepsi terhadap tuntutan JPU karena dari awal tidak mengetahui fakta-fakta dan seenaknya mengomentari rendahnya tuntutan JPU dengan asumsi mereka sendiri dan narasi yang menurut mereka benar," katanya.
Tim penasihat hukum juga membela peran mereka dalam membela Rahmat dan Ronny dengan menegaskan bahwa keduanya patut mendapat pendampingan hukum dari Polri.
"Kami melaksanakan tugas di Divisi Hukum Polri untuk memberikan pendampingan hukum kepada terdakwa, hak terdakwa harus dihargai bahkan saksi korban Novel Baswedan selaku purnawirawan Polri yang sudah mengabdi sebagai anggota Polri selama 15 tahun dan 11 bulan pun punya hak untuk mendapat bantuan hukum, silakan mengirimkan surat ke Kadivkum Polri," katanya.
Majelis hakim akan menjatuhkan putusan pada 16 Juli 2020.