Babak baru kemitraan Indonesia dan Australia
Jakarta, (ANTARA) - Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia bahkan kepala pemerintahan dan kepala negara pertama di dunia yang berpidato di Parlemen Australia pada 2020.
Sejarah baru Australia, termasuk Indonesia tentunya, itu terukir di Gedung Parlemen Australia di Canberra, Senin (10/2). Joko Widodo melakukan lawatan kenegaraan ke Australia pada 9-10 Februari 2019 dalam rangka peringatan 70 tahun hubungan bilateral Republik Indonesia dan Australia.
Sesuai konstitusi Australia, negara federasi itu membuka diri bagi negara asing menyampaikan pidato di Parlemen Australia dimulai pada 29 November 1951 saat memperingati 50 tahun parlemen Australia dengan menghadirkan tiga anggota parlemen dari Inggris Raya yakni Richard Law (dari Partai Konservatif) serta David Rhys Grenfell dan Jo Grimond (dari Partai Buruh).
Kemudian, mulai 1990-an, ketentuan itu diubah menjadi terbuka bagi kepala pemerintahan dan atau kepala negara asing yang terpilih untuk berpidato di hadapan Parlemen Australia.
Pada 2 Januari 1992, Presiden Amerika Serikat (saat itu) George HW Bush menjadi presiden pertama yang berpidato di depan Parlemen Australia dalam pemerintahan Perdana Menteri Australia Paul Keating. Empat tahun kemudian, pada 20 November 1994, Bill Clinton memperpanjang deretan Presiden Amerika Serikat yang berpidato di Parlemen Negeri Kanguru itu, dalam pemerintahan Perdana Menteri John Howard.
Lagi-lagi, tujuh tahun kemudian, George W Bush (anak George HW Bush) kian memperpanjang deretan Presiden AS yang berpidato di Parlemen Australia dan masih dalam pemerintahan Perdana Menteri John Howard.
Sehari setelah Bush Junior, giliran Presiden China Hu Jintao berpidato di Parlemen Australia, disusul tiga tahun kemudian pada 27 Maret 2006 oleh Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
Lalu berturut-turut Perdana Menteri Kanada Stephen Harper (pada 11 September 2007, masih dalam masa pemerintahan Perdana Menteri Australia John Howard), Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (pada 10 Maret 2010, dalam pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd), Perdana Menteri Selandia Baru John Key (pada 20 Juni 2011) dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama (pada 17 November 2011) dalam pemerintahan Perdana Menteri Julia Gillard, dihadirkan pula di parlemen Australia untuk menyampaikan pidato.
Tiga tahun berselang, pada 2014, parlemen Australia menghadirkan tiga kepala pemerintahan asing, yakni Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (pada 8 Juli 2014), Perdana Menteri Inggris David Cameron (pada 14 November 2014), dan Presiden China Xi Jinping untuk berpidato, dalam masa pemerintahan Perdana Menteri Australia Tony Abbott.
Berlanjut pada 2016, giliran Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyampaikan pidato di Parlemen Australia, semasa pemerintahan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull.
Terakhir, setelah berlalu tiga tahun, Presiden Joko Widodo pun berkesempatan untuk menyampaikan pidato dalam forum yang sama. Ia merupakan Presiden Republik Indonesia kedua dan kepala pemerintahan ke-14 dari tujuh negara di dunia yang pernah berpidato di parlemen Australia, sejak 1951.
Dengan demikian presiden Indonesia mendapat kesempatan dua kali berpidato di depan Parlemen Australia, sekaligus hanya ada dua kepala pemerintahan ASEAN yang mendapat kesempatan itu, yaitu Indonesia dan Singapura.
Dalam sejarah Australia, sebagaimana diambil dari portal resmi Parlemen Australia (Australia's Parliament House), www.aph.gov.au, kepala negara yang menyampaikan pidato di Parlemen Negeri Kanguru itu menunjukkan kedekatan hubungan dan kemitraan kedua negara, dan berdasarkan konstitusi, hanya kepala negara terpilih yang diberikan kesempatan untuk berpidato di hadapan Parlemen Australia.
Para kepala pemerintahan dan atau kepala negara itu menyampaikan pandangan tentang arti pentingnya hubungan dengan Australia.
Good Day, Mate !
Presiden Joko Widodo, disaksikan Perdana Menteri Scott Morrison, menyapa parlemen Australia dengan kalimat: Good Day, Mate!, sapaan hangat khas Australia yang menunjukkan keakraban dan keseharian dalam percakapan sehari-hari penduduk Australia. Australia memiliki aksen bahasa Inggris-nya yang tersendiri, termasuk kata-kata khas mereka yang kondang.
Jokowi datang sebagai sahabat bagi Australia. Kepala Negara menyampaikan bahwa Sahabat sejati adalah yang selalu bersama dalam suka dan duka, a friend in need is a friend indeed. Australia mengirimkan kontingen pasukannya menolong Indonesia pada tsunami Aceh dan Nias, sementara Indonesia mengirimkan delegasi TNI-nya membantu Australia memadamkan kebakaran hutan saat ini.
Selama sekitar 16 menit, Presiden Jokowi menyampaikan pidato di hadapan dua kubu Parlemen Australia, yaitu dari koalisi Partai Liberal dan koalisi Partai Buruh. Sebelum Presiden berpidato, Ketua Partai Liberal sekaligus PM Australia Scott Morrison serta Ketua Partai Buruh Australia Anthony Albanese menyampaikan pidato mengenai Indonesia dan sosok Presiden Jokowi.
Menurut Presiden, Australia selalu berada di samping saat Indonesia terkena musibah. Rakyat Indonesia tidak akan pernah lupa bantuan Australia saat bencana tsunami pada 2004 di Aceh dan Nias. Jokowi mengungkapkan, sembilan tentara Australia telah gugur membantu sahabatnya, rakyat Indonesia, yang tengah berduka di Aceh dan Nias. Mereka adalah patriot, mereka adalah sahabat Indonesia, mereka adalah Pahlawan Kemanusiaan.
Menurut Presiden, Indonesia dan Australia ditakdirkan sebagai tetangga dekat. "Kita tidak bisa memilih tetangga, tidak bisa. Namun kita memilih untuk bersahabat. Australia adalah sahabat paling dekat Indonesia," kata Kepala Negara.
Menurut Presiden, meskipun Indonesia dan Australia memiliki perbedaan budaya yang berbeda, keduanya memiliki nilai-nilai yang sama, yakni keberagaman etnis, menjunjung toleransi, demokrasi, dan penghormatan hak asasi manusia, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Bahkan Kepala Negara mengutip pernyataan Perdana Menteri Australia Robert Menzies pada 1959 saat berkunjung ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, alma mater Jokowi, dengan mengatakan bahwa Indonesia dan Australia memiliki sepuluh kali lebih banyak memiliki kesamaan ketimbang perbedaan.
Meskipun pada masa-masa lalu, hubungan Indonesia dan Australia pernah mengalami pasang surut, bahkan pernah memicu ketegangan, hingga kini hubungan keduanya berjalan baik, bahkan tak sekadar hubungan bilateral yang memiliki makna histrois tetapi juga telah memiliki berbagai program kemitraan yang menunjukkan kedekatan kedua negara.
Hubungan diplomatik Indonesia dan Australia yang resmi berlangsung sejak 27 Desember 1949 memang memiliki sarat makna historis.
Sebagaimana yang dituliskan Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Allistair Cox dalam sebuah artikelnya pada 27 Desember 2019 yang tersiar pada portal Media Indonesia, di masa-masa krusial antara 1945 dan 1949, Australia merupakan salah satu pendukung terbesar Indonesia.
Hanya tujuh pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, Australia menjadi negara asing pertama yang menjalin hubungan dengan mengirim misi diplomatik untuk bertemu dengan Presiden Soekarno guna membangun landasan bagi pengakuan Republik Indonesia.
Tiga pekan sebelumnya, aksi boikot pekerja Australia terhadap seluruh kapal Belanda tujuan Indonesia yang singgah di Australia telah dimulai. Hal itu membangkitkan dukungan luas masyarakat Australia untuk kemerdekaan Indonesia.
Ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama pada Juli 1947, Australia melancarkan protes kepada Dewan Keamanan PBB. Inilah untuk pertama kalinya tindakan semacam itu diambil pada DK PBB yang baru terbentuk.DK PBB membentuk Komisi Tiga Negara untuk membantu menyelesaikan konflik. Presiden Soekarno pun memilih Australia untuk mewakili Indonesia dalam perundingan ini. Proses negosiasi akhirnya berujung pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda.
Kini, tidak ada negara di kawasan Asia Tenggara yang lebih penting bagi Australia selain Indonesia. Kenyataannya, hanya sedikit negara di dunia yang menyamai pentingnya Indonesia bagi Australia.
Lebih dari 50 lembaga pemerintahan Australia bekerja sama dengan mitra Indonesia di lebih dari 100 program kerja. Universitas-universitas terus meningkatkan kerja sama, termasuk di bidang penelitian. Sebagaimana juga berbagai organisasi nonpemerintahan dan masyarakat madani.
Program kerja sama pengembangan yang canggih dan terus berkembang menjadikan Australia mitra yang kuat dalam bidang pengembangan kebijakan dan kelembagaan, tata kelola ekonomi yang berketahanan, dan dalam membangun kapasitas teknis serta intelektual.
Presiden Joko Widodo mengibaratkan kemitraan Indonesia-Australia sebagai tokoh The Avengers untuk mengalahkan berbagai persoalan dunia. Kolaborasi kemitraan Indonesia dan Australia di tengah dunia yang terus dipenuhi ketidakpastian dapat diilustrasikan dalam film Avengers End Games.
Jika kekuatan positif bersatu, The Avengers assemble maka musuh bersama dapat dilumpuhkan. Jika Indonesia dan Australia bekerja sama dan berkolaborasi maka intoleransi, proteksionisme dan ancaman kemiskinan, serta ancaman perubahan iklim dapat diatasi.
Presiden Jokowi pun menggambarkan bahwa usia 70 tahun persahabatan Indonesia dan Australia bukanlah waktu yang sebentar. 70 tahun adalah masa platinum. Sebuah platinum persahabatan yang kokoh, bukan saja persahabatan antarpemerintah dan antarparlemen tetapi juga rakyat kedua negara.
Kedua negara juga telah telah menjalin kemitraan, sebagaimana tertuang dalam Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia atau IA-CEPA (Indonesia Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang telah diratifikasi DPR pada 6 Februari 2020. Ratifikasi itu menyusul penandatanganan kesepakatan IA-CEPA kedua negara yang dilakukan pada 4 Februari 2019 yang sudah dibicarakan selama sembilan tahun.
Kesepakatan kemitraan itu harus bermanfaat bagi rakyat kedua negara, terlebih lagi dalam IA-CEPA itru, bukan hanya menghilangkan tarif di antara kedua negara tetapi juga membuka kesempatan investasi bagi Australia di berbagai bidang. IA-CEPA harus mendorong peningkatan hubungan ekonomi yang fokus pada hal-hal kongkret.
Salah satu contoh dalam perjanjian yang telah ditandatangani tersebut, Indonesia akan memangkas bea impor sebesar 94 persen untuk produk asal Negeri Kanguru secara bertahap. Sebagai gantinya 100 persen bea impor produk asal Indonesia yang masuk ke Australia akan dihapus.
Salah satu keuntungan Indonesia, antara lain penghapusan bea masuk impor seluruh pos tarif Australia sebanyak 6.474 pos menjadi nol persen.
Ekspor Indonesia yang berpotensi meningkat adalah produk otomotif, khususnya mobil listrik dan hybrid sebab IA-CEPA memberikan persyaratan kualifikasi konten lokal yang lebih mudah untuk kendaraan listrik dan hybrid asal Indonesia dibandingkan negara lainnya.
Selain itu, di sektor perdagangan jasa, Indonesia akan mendapatkan akses pasar di Australia seperti kenaikan kuota visa kerja dan liburan yaitu dari 1.000 visa menjadi 4.100 visa di tahun pertama implementasi IA-CEPA dan akan meningkat sebesar 5 persen di tahun-tahun berikutnya.
Investasi Australia di Indonesia pada 2018 mencapai 597,4 juta dolar AS dengan 635 proyek terdiri lebih dari 400 perusahaan Australia yang beroperasi di berbagai sektor seperti pertambangan, pertanian, infrastruktur, keuangan, kesehatan, makanan, minuman dan transportasi.
Sementara perdagangan Indonesia-Australia pada 2018 menurut data Kementerian Perdagangan, totalnya mencapai 8,62 miliar dolar Amerika Serikat dengan ekspor Indonesia ke Australia mencapai 2,8 miliar dolar AS dan impor 5,82 miliar dolar Amerika Serikat alias Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga 3,02 miliar dolar AS.
Ke depan, hubungan Indonesia dan Australia akan makin strategis, tentu saja tak cukup dengan menjalin hubungan hingga 70 tahun, melainkan harus mencapai 100 tahun bahkan lebih dan mesti terus sepanjang masa. (*)
Sejarah baru Australia, termasuk Indonesia tentunya, itu terukir di Gedung Parlemen Australia di Canberra, Senin (10/2). Joko Widodo melakukan lawatan kenegaraan ke Australia pada 9-10 Februari 2019 dalam rangka peringatan 70 tahun hubungan bilateral Republik Indonesia dan Australia.
Sesuai konstitusi Australia, negara federasi itu membuka diri bagi negara asing menyampaikan pidato di Parlemen Australia dimulai pada 29 November 1951 saat memperingati 50 tahun parlemen Australia dengan menghadirkan tiga anggota parlemen dari Inggris Raya yakni Richard Law (dari Partai Konservatif) serta David Rhys Grenfell dan Jo Grimond (dari Partai Buruh).
Kemudian, mulai 1990-an, ketentuan itu diubah menjadi terbuka bagi kepala pemerintahan dan atau kepala negara asing yang terpilih untuk berpidato di hadapan Parlemen Australia.
Pada 2 Januari 1992, Presiden Amerika Serikat (saat itu) George HW Bush menjadi presiden pertama yang berpidato di depan Parlemen Australia dalam pemerintahan Perdana Menteri Australia Paul Keating. Empat tahun kemudian, pada 20 November 1994, Bill Clinton memperpanjang deretan Presiden Amerika Serikat yang berpidato di Parlemen Negeri Kanguru itu, dalam pemerintahan Perdana Menteri John Howard.
Lagi-lagi, tujuh tahun kemudian, George W Bush (anak George HW Bush) kian memperpanjang deretan Presiden AS yang berpidato di Parlemen Australia dan masih dalam pemerintahan Perdana Menteri John Howard.
Sehari setelah Bush Junior, giliran Presiden China Hu Jintao berpidato di Parlemen Australia, disusul tiga tahun kemudian pada 27 Maret 2006 oleh Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
Lalu berturut-turut Perdana Menteri Kanada Stephen Harper (pada 11 September 2007, masih dalam masa pemerintahan Perdana Menteri Australia John Howard), Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (pada 10 Maret 2010, dalam pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd), Perdana Menteri Selandia Baru John Key (pada 20 Juni 2011) dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama (pada 17 November 2011) dalam pemerintahan Perdana Menteri Julia Gillard, dihadirkan pula di parlemen Australia untuk menyampaikan pidato.
Tiga tahun berselang, pada 2014, parlemen Australia menghadirkan tiga kepala pemerintahan asing, yakni Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (pada 8 Juli 2014), Perdana Menteri Inggris David Cameron (pada 14 November 2014), dan Presiden China Xi Jinping untuk berpidato, dalam masa pemerintahan Perdana Menteri Australia Tony Abbott.
Berlanjut pada 2016, giliran Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyampaikan pidato di Parlemen Australia, semasa pemerintahan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull.
Terakhir, setelah berlalu tiga tahun, Presiden Joko Widodo pun berkesempatan untuk menyampaikan pidato dalam forum yang sama. Ia merupakan Presiden Republik Indonesia kedua dan kepala pemerintahan ke-14 dari tujuh negara di dunia yang pernah berpidato di parlemen Australia, sejak 1951.
Dengan demikian presiden Indonesia mendapat kesempatan dua kali berpidato di depan Parlemen Australia, sekaligus hanya ada dua kepala pemerintahan ASEAN yang mendapat kesempatan itu, yaitu Indonesia dan Singapura.
Dalam sejarah Australia, sebagaimana diambil dari portal resmi Parlemen Australia (Australia's Parliament House), www.aph.gov.au, kepala negara yang menyampaikan pidato di Parlemen Negeri Kanguru itu menunjukkan kedekatan hubungan dan kemitraan kedua negara, dan berdasarkan konstitusi, hanya kepala negara terpilih yang diberikan kesempatan untuk berpidato di hadapan Parlemen Australia.
Para kepala pemerintahan dan atau kepala negara itu menyampaikan pandangan tentang arti pentingnya hubungan dengan Australia.
Good Day, Mate !
Presiden Joko Widodo, disaksikan Perdana Menteri Scott Morrison, menyapa parlemen Australia dengan kalimat: Good Day, Mate!, sapaan hangat khas Australia yang menunjukkan keakraban dan keseharian dalam percakapan sehari-hari penduduk Australia. Australia memiliki aksen bahasa Inggris-nya yang tersendiri, termasuk kata-kata khas mereka yang kondang.
Jokowi datang sebagai sahabat bagi Australia. Kepala Negara menyampaikan bahwa Sahabat sejati adalah yang selalu bersama dalam suka dan duka, a friend in need is a friend indeed. Australia mengirimkan kontingen pasukannya menolong Indonesia pada tsunami Aceh dan Nias, sementara Indonesia mengirimkan delegasi TNI-nya membantu Australia memadamkan kebakaran hutan saat ini.
Selama sekitar 16 menit, Presiden Jokowi menyampaikan pidato di hadapan dua kubu Parlemen Australia, yaitu dari koalisi Partai Liberal dan koalisi Partai Buruh. Sebelum Presiden berpidato, Ketua Partai Liberal sekaligus PM Australia Scott Morrison serta Ketua Partai Buruh Australia Anthony Albanese menyampaikan pidato mengenai Indonesia dan sosok Presiden Jokowi.
Menurut Presiden, Australia selalu berada di samping saat Indonesia terkena musibah. Rakyat Indonesia tidak akan pernah lupa bantuan Australia saat bencana tsunami pada 2004 di Aceh dan Nias. Jokowi mengungkapkan, sembilan tentara Australia telah gugur membantu sahabatnya, rakyat Indonesia, yang tengah berduka di Aceh dan Nias. Mereka adalah patriot, mereka adalah sahabat Indonesia, mereka adalah Pahlawan Kemanusiaan.
Menurut Presiden, Indonesia dan Australia ditakdirkan sebagai tetangga dekat. "Kita tidak bisa memilih tetangga, tidak bisa. Namun kita memilih untuk bersahabat. Australia adalah sahabat paling dekat Indonesia," kata Kepala Negara.
Menurut Presiden, meskipun Indonesia dan Australia memiliki perbedaan budaya yang berbeda, keduanya memiliki nilai-nilai yang sama, yakni keberagaman etnis, menjunjung toleransi, demokrasi, dan penghormatan hak asasi manusia, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Bahkan Kepala Negara mengutip pernyataan Perdana Menteri Australia Robert Menzies pada 1959 saat berkunjung ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, alma mater Jokowi, dengan mengatakan bahwa Indonesia dan Australia memiliki sepuluh kali lebih banyak memiliki kesamaan ketimbang perbedaan.
Meskipun pada masa-masa lalu, hubungan Indonesia dan Australia pernah mengalami pasang surut, bahkan pernah memicu ketegangan, hingga kini hubungan keduanya berjalan baik, bahkan tak sekadar hubungan bilateral yang memiliki makna histrois tetapi juga telah memiliki berbagai program kemitraan yang menunjukkan kedekatan kedua negara.
Hubungan diplomatik Indonesia dan Australia yang resmi berlangsung sejak 27 Desember 1949 memang memiliki sarat makna historis.
Sebagaimana yang dituliskan Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Allistair Cox dalam sebuah artikelnya pada 27 Desember 2019 yang tersiar pada portal Media Indonesia, di masa-masa krusial antara 1945 dan 1949, Australia merupakan salah satu pendukung terbesar Indonesia.
Hanya tujuh pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, Australia menjadi negara asing pertama yang menjalin hubungan dengan mengirim misi diplomatik untuk bertemu dengan Presiden Soekarno guna membangun landasan bagi pengakuan Republik Indonesia.
Tiga pekan sebelumnya, aksi boikot pekerja Australia terhadap seluruh kapal Belanda tujuan Indonesia yang singgah di Australia telah dimulai. Hal itu membangkitkan dukungan luas masyarakat Australia untuk kemerdekaan Indonesia.
Ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama pada Juli 1947, Australia melancarkan protes kepada Dewan Keamanan PBB. Inilah untuk pertama kalinya tindakan semacam itu diambil pada DK PBB yang baru terbentuk.DK PBB membentuk Komisi Tiga Negara untuk membantu menyelesaikan konflik. Presiden Soekarno pun memilih Australia untuk mewakili Indonesia dalam perundingan ini. Proses negosiasi akhirnya berujung pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda.
Kini, tidak ada negara di kawasan Asia Tenggara yang lebih penting bagi Australia selain Indonesia. Kenyataannya, hanya sedikit negara di dunia yang menyamai pentingnya Indonesia bagi Australia.
Lebih dari 50 lembaga pemerintahan Australia bekerja sama dengan mitra Indonesia di lebih dari 100 program kerja. Universitas-universitas terus meningkatkan kerja sama, termasuk di bidang penelitian. Sebagaimana juga berbagai organisasi nonpemerintahan dan masyarakat madani.
Program kerja sama pengembangan yang canggih dan terus berkembang menjadikan Australia mitra yang kuat dalam bidang pengembangan kebijakan dan kelembagaan, tata kelola ekonomi yang berketahanan, dan dalam membangun kapasitas teknis serta intelektual.
Presiden Joko Widodo mengibaratkan kemitraan Indonesia-Australia sebagai tokoh The Avengers untuk mengalahkan berbagai persoalan dunia. Kolaborasi kemitraan Indonesia dan Australia di tengah dunia yang terus dipenuhi ketidakpastian dapat diilustrasikan dalam film Avengers End Games.
Jika kekuatan positif bersatu, The Avengers assemble maka musuh bersama dapat dilumpuhkan. Jika Indonesia dan Australia bekerja sama dan berkolaborasi maka intoleransi, proteksionisme dan ancaman kemiskinan, serta ancaman perubahan iklim dapat diatasi.
Presiden Jokowi pun menggambarkan bahwa usia 70 tahun persahabatan Indonesia dan Australia bukanlah waktu yang sebentar. 70 tahun adalah masa platinum. Sebuah platinum persahabatan yang kokoh, bukan saja persahabatan antarpemerintah dan antarparlemen tetapi juga rakyat kedua negara.
Kedua negara juga telah telah menjalin kemitraan, sebagaimana tertuang dalam Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia atau IA-CEPA (Indonesia Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang telah diratifikasi DPR pada 6 Februari 2020. Ratifikasi itu menyusul penandatanganan kesepakatan IA-CEPA kedua negara yang dilakukan pada 4 Februari 2019 yang sudah dibicarakan selama sembilan tahun.
Kesepakatan kemitraan itu harus bermanfaat bagi rakyat kedua negara, terlebih lagi dalam IA-CEPA itru, bukan hanya menghilangkan tarif di antara kedua negara tetapi juga membuka kesempatan investasi bagi Australia di berbagai bidang. IA-CEPA harus mendorong peningkatan hubungan ekonomi yang fokus pada hal-hal kongkret.
Salah satu contoh dalam perjanjian yang telah ditandatangani tersebut, Indonesia akan memangkas bea impor sebesar 94 persen untuk produk asal Negeri Kanguru secara bertahap. Sebagai gantinya 100 persen bea impor produk asal Indonesia yang masuk ke Australia akan dihapus.
Salah satu keuntungan Indonesia, antara lain penghapusan bea masuk impor seluruh pos tarif Australia sebanyak 6.474 pos menjadi nol persen.
Ekspor Indonesia yang berpotensi meningkat adalah produk otomotif, khususnya mobil listrik dan hybrid sebab IA-CEPA memberikan persyaratan kualifikasi konten lokal yang lebih mudah untuk kendaraan listrik dan hybrid asal Indonesia dibandingkan negara lainnya.
Selain itu, di sektor perdagangan jasa, Indonesia akan mendapatkan akses pasar di Australia seperti kenaikan kuota visa kerja dan liburan yaitu dari 1.000 visa menjadi 4.100 visa di tahun pertama implementasi IA-CEPA dan akan meningkat sebesar 5 persen di tahun-tahun berikutnya.
Investasi Australia di Indonesia pada 2018 mencapai 597,4 juta dolar AS dengan 635 proyek terdiri lebih dari 400 perusahaan Australia yang beroperasi di berbagai sektor seperti pertambangan, pertanian, infrastruktur, keuangan, kesehatan, makanan, minuman dan transportasi.
Sementara perdagangan Indonesia-Australia pada 2018 menurut data Kementerian Perdagangan, totalnya mencapai 8,62 miliar dolar Amerika Serikat dengan ekspor Indonesia ke Australia mencapai 2,8 miliar dolar AS dan impor 5,82 miliar dolar Amerika Serikat alias Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga 3,02 miliar dolar AS.
Ke depan, hubungan Indonesia dan Australia akan makin strategis, tentu saja tak cukup dengan menjalin hubungan hingga 70 tahun, melainkan harus mencapai 100 tahun bahkan lebih dan mesti terus sepanjang masa. (*)