Jakarta dalam bayang-bayang tenggelam

id Jakarta 2050,Jakarta Tenggelam,Jakarta Banjir,Banjir Jakarta

Jakarta dalam bayang-bayang tenggelam

Foto udara suasana wilayah bantaran Sungai Ciliwung di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Minggu (5/1/2020). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pras.)

Jakarta, (ANTARA) - Kisah Jakarta yang menjadi simbol dan representasi Indonesia sepanjang sejarah berdirinya negara ini hingga berusia 74 tahun, berada dalam ancaman terhapus dari peta dunia.

Bukan karena ancaman dari negara-negara di sekelilingnya yang relatif menjaga perdamaian, ataupun ancaman perpecahan di dalam negeri karena friksi politik hingga perpecahan bernuansa SARA. Akan tetapi ancaman tersebut datang dari kondisi perubahan geologis Jakarta dengan campur tangan manusia di dalamnya.

Berbagai jurnal dan pemberitaan media sudah beberapa kali mengulas soal prediksi tenggelamnya Jakarta. Salah satu yang terbaru adalah laporan ilmiah berjudul "New elevation data triple estimates of global vulnerability to sea-level rise and coastal flooding" yang terbit di jurnal Nature Communications pada 29 Oktober 2019.

Laporan tersebut menyebutkan Indonesia, dalam hal ini Jakarta, bersama kota-kota besar lainnya di Asia seperti China, India, Bangladesh, Vietnam, Thailand, Filipina dan Jepang berpotensi tenggelam pada 2050.

Penurunan tanah atau subsiden akibat pengambilan air tanah yang tidak terkendalj dan peningkatan tinggi air laut karena pemanasan global yang mencairkan gletser di kutub diperkirakan menjadi penyebab utama Jakarta dan kota-kota besar lainnya berpotensi tenggelam.

Ahli subsiden tanah dari United States Geological Survey (USGS) Michelle Sneed menyebutkan bahwa tanah Jakarta turun 17 sentimeter (cm) per tahun. Sedangkan pakar oseanografi Universitas Diponegoro Denny Nugroho menyebutkan peningkatan air laut di Ibu Kota Negara mencapai 0,44 cm per tahun.

Jika ditambah dengan prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa akan terjadi peningkatan kejadian curah hujan ekstrem seperti yang terjadi pada 1 Januari 2020, lalu bagaimana nasib Jakarta 30 tahun ke depan?

Di tengah ancaman yang kian nyata, berbagai usaha pun dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Lembaga kerja sama internasional seperti Japan International Cooperation Agency (JICA) turut serta membagi pengalaman mereka untuk membantu mengantisipasinya.

Bahkan beberapa Gubernur DKI Jakarta, termasuk gubernur saat ini, Anies Baswedan memasukan isu penurunan muka tanah yang jadi salah satu faktor yang dapat menenggelamkan Jakarta dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

RPJMD ini sebagai arah pembangunan Jakarta selama masa kepemimpinannya pada 2017 hingga 2022, yang sering ditegaskan pada para stafnya dalam berbagai kesempatan.

"Segera baca RPJMD, lihat janji gubernur, masukan dalam program-program kegiatan, jalankan itu," kata Anies, Rabu (8/1).

Warga memompa air tanah di Pesing, Jakarta Barat, Kamis (19/4/2018). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras)


Kondisi Jakarta

Contoh paling gampang dalam persoalan potensi tenggelamnya Jakarta, dapat dilihat dari kasus Kampung Apung. Kampung seluas sekitar enam hektare (ha) ini semula bernama Kampung Teko, hanya 50-an meter dari Jalan Kapuk Raya di daerah Cengkareng, yang secara administratif termasuk RT 10/RW 01 di Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat.

Kampung yang mulai ramai sejak 1960-1970-an itu, akhirnya terendam tiap hujan besar sejak 1990-an akibat pengaruh puluhan pabrik yang “mengunci” aliran air ke arah selatan kampung. Sementara pemerintah daerah terus meninggikan jalan di Kapuk Raya yang membuat Kampung Teko berevolusi menjadi daerah cekungan dan terjebak air di sekitarnya.

Kondisi ini terus berlangsung hingga kawasan tersebut terendam sedalam hampir dua meter selama puluhan tahun. Kondisi itu akhirnya mengubah namanya sebagai Kampung Apung.

Namun, kejadian itu bukanlah hanya masalah Kampung Apung semata. Hampir seluruh wilayah Ibu Kota Negara ini juga mengalami ancaman serupa. Fakta yang terjadi kota ini memang secara perlahan sedang tenggelam.

Dalam peta penurunan muka tanah yang disertakan dalam dokumen RPJMD DKI Jakarta 2017-2022 disebutkan beberapa daerah mengalami subsiden cukup besar. Penurunan terjadi di Jakarta Barat dan Utara seperti di Kalideres, Cengkareng Barat, Pantai Indah Kapuk sampai dengan Dadap.

Nilai subsiden paling besar terdapat di daerah Muara Baru dan Kalideres yang penurunan tanahnya mencapai 150 hingga di atas 180 centimeter (cm).

Sementara untuk Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan nilai subsidennya relatif kecil, sama seperti Jakarta Timur. Subsiden hanya terjadi di komplek perumahan dan mal dengan angka bervariatif antara 10 hingga 140 cm.

Berdasarkan data satelit hasil pemantauan JICA, kawasan Cengkareng Timur tepatnya di Malibu Estate diperkirakan pernah terjadi penurunan tanah 20 hingga 50 millimeter (mm) per tahun pada 2007 hingga 2010. Sedangkan di kawasan Mall Taman Anggrek, Grogol

Petamburan, yang merupakan contoh kawasan bisnis, penurunan tanah diperkirakan

terjadi di bawah 20 mm per tahun dari 2014 hingga 2018 di area seluas 4.190 kilometer persegi (km2).

JICA juga memperhitungkan tiga lokasi yang berpotensi mengalami penurunan muka tanah yang massif seperti kawasan Malibu Estate Cengkareng dengan karakter kawasan hunian bertingkat, kantor dan toko serta mal. Kemudian kawasan hunian bertingkat milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yakni Rumah Susun Pesakih Cengkareng, area Mall Taman Anggrek Grogol Petamburan dengan karakteristik mall besar, hotel, gedung perkantoran dan kondominium.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ketika dipimpin Imam Santoso menyebutkan, dengan laju penurunan muka tanah di Jakarta yang terus berlangsung, kota ini akan semakin rentan tergenang air pasang laut dan banjir.

Terlebih, kota ini tidak pernah berhenti membangun gedung-gedung pencakar langit yang menjadi penambah beban bagi permukaan tanah. Jenis batuan yang menopang Jakarta adalah aluvial sehingga pemadatan tanah masih terus berlangsung ditambah gaya tektonik aktif yang terus merubah struktur geologi tanah.

"Kondisi itu, juga diperparah pengambilan air tanah yang berlebihan baik oleh industri, komersial, maupun masyarakat umum," kata Imam.

Air Tanah

Ketiadaan aturan daerah mengenai pelarangan penggunaan air tanah, juga menyebabkan praktik penyedotan air tanah terus terjadi tanpa pengawasan dan perpindahan penggunaan air tanah ke air pipa mandek. Padahal aturan tersebut telah dilontarkan Anies dan pasangannya kala itu, Sandiaga Uno, sejak 2018.

Sejumlah mall, hotel, hingga hunian bertingkat di Jakarta diketahui masih menggunakan air tanah dalam operasionalnya. Seperti di kawasan Cengkareng dan Grogol Petamburan Jakarta Barat. Hal tersebut terungkap dari data hasil penelitian sebuah proyek pencegahan penurunan air tanah Jakarta yang dirilis JICA pada November 2019.

Persoalan pengambilan air tanah secara berlebih di Jakarta tidak terlepas dari akses air pipa dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang baru bisa menjangkau sekitar 60 persen wilayah Jakarta, dengan volume distribusi air mencapai sekitar 20.000 liter air per detik.

Untuk mencakup sedikitnya 82 persen wilayah tersambung dengan jaringan air pipa seperti dalam rencana hingga 2023, Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo menyebutkan pihaknya membutuhkan tambahan pasokan 11.000 liter air per detik.

"Jika punya volume segitu, cukup untuk 82 persen cakupan, dengan catatan harus bisa menurunkan risiko kebocoran air," kata Bambang, Jumat (17/1).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam RPJMD 2017-2022 memang mencantumkan fokus menangani penggunaan air tanah yang tidak berkelanjutan dengan cara membatasi penggunaannya agar tidak melewati batas aman 30 persen di saat penggunaannya sudah melewati angka 70 persen.

Namun seakan mencari jalan tengah karena cakupan air pipa yang belum memadai dan belum adanya larangan penggunaan air tanah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru memberlakukan pajak pada penyedotan air tanah. Ini berlaku terutama pada industri dan komersial yang sebagian besar menggunakan sumber air aliran bawah atau deep well 40-150 m.

Meski mengenakan pajak pada penyedotan air tanah, namun hingga kini Jakarta belum memiliki ataupun belum merilis peta dan angka pasti berapa jumlah sumur air tanah yang ada di Jakarta. Peta dan angka pasti jumlah sumur air tanah diperlukan untuk monitoring subsiden dan akan menjadi database pengguna air tanah jika nantinya diterapkan aturan pelarangan penggunaan air tanah.

Sebenarnya, survei mengenai penggunaan air tanah sempat dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Energi (DPE) DKI Jakarta. Namun dinas tersebut kini dileburkan bersama empat SKPD lain, yakni Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM, Dinas Bina Marga (pencahayaan kota), Dinas Sumber Daya Air (bidang sanitasi) dan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (inspeksi gedung).

Sementara daratan Jakarta terus mengalami penurunan dan menjadikannya sebuah cekungan, permukaan air laut di pesisir juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Itu membuat air yang seharusnya mengalir ke laut menjadi terhambat, bahkan tidak sampai ke laut dan menyebabkan banjir rob yang sudah sering terjadi beberapa tahun terakhir.

Hunian bertingkat

Sejumlah mall, hotel, hingga hunian bertingkat diketahui masih menggunakan air tanah dalam operasionalnya.

Menurut data satelit hasil pemantauan JICA, kawasan Cengkareng Timur pernah terjadi penurunan tanah yang besar. Terdapat kawasan Malibu Estate dengan perkiraan penurunan tanah terjadi lebih 20-50 milimeter per tahun

pada 2007 hingga 2010.

Namun pada pengamatan sepanjang 2014-2018, penurunan tanah melambat. Salah satu kemungkinan alasannya karena suplai air perpipaan dari Palyja telah mencukupi tahun 2010, kemudian pengambilan air tanah secara berangsur terhenti.

Cakupan air perpipaan di wilayah tersebut sudah sekitar 89 persen. Artinya penggunaan air tanah di kawasan tersebut sudah berkurang secara drastis.

Kemudian kawasan Mall Taman Anggrek Grogol Petamburan yang merupakan contoh kawasan bisnis. Penurunan tanah diperkirakan terjadi di bawah 20 milimeter per tahun dari 2014-2018 di area seluas 4.190 kilometer persegi.

Kawasan tersebut kini sudah terjangkau air perpipaan sekitar 46 persen. Artinya 54 persen kawasan tersebut masih menggunakan air tanah.

Sementara di Rusun Pesakih, yang ditujukan untuk pengembangan kawasan hunian besar terpadu, menurut data JICA, kawasan tersebut belum sama sekali tersalurkan air perpipaan.

Kepala Seksi Perencanaan Sistem Pengendali Banjir, Air Baku, Air Bersih, dan Air Limbah Suku Dinas Sumber Daya Air Jakarta Barat, Wira Yudha Bhakti saat dikonfirmasi mengenai data JICA membenarkan adanya penurunan tanah di kawasan itu.

Tiga kawasan tersebut memang akan menjadi proyek rintisan JICA untuk penanggulangan penurunan permukaan tanah. Terutama pada Rusun Pesakih.

"Ini masih project, 'water coverage' masih nol persen karena semua masih pake air tanah, daru data mereka. Belum ada jaringan air bersih (perpipaan)," ujar Wira.

Wira menyebut catatan riil penggunaan air tanah terkini memang ada di Suku Dinas Perindustrian dan Energi. Namun institusi tersebut sudah melebur dan menjadi bagian dari Suku Dinas UMKM, Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan dan SDA.

"Kalau di Dinas SDA memang ada di Bidang Air Bersih, ini memang baru. Tugas baru SDA di sini mencatatkan pemakaian air tanah untuk warga membayarkan pajak air tanah ke BPRD (Badan Pajak dan Retribusi Daerah)," ujar Wira.

Stop air tanah?

Sebagai langkah antisipasi, JICA yang telah memberikan paparan bagaimana penanganan subsiden di Jepang pada November 2019 kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejumlah langkah dapat diambil dan diterapkan di DKI Jakarta.

Antara lain mulai dengan pembangunan sumur pantau subsiden di 14 lokasi dengan prioritas daerah kritis, yakni Muara Angke, Rorotan, Tongkol serta PAM Jaya Dharmawangsa dan Pulomas yang berfungsi sebagai pembanding di wilayah selatan dan pemantau berkurangnya subsiden.

Kedua, JICA mengusulkan adanya regulasi yang mengatur pelarangan penggunaan air tanah dengan mulai pada semua yang memiliki jalur air pipa di daerahnya.

Selain itu mengatur agar memiliki penampung air dengan kapasitas setidaknya dua hari pemakaian serta menerapkan tindakan yang tegas bagi para pelanggar, mulai dari sanksi administratif hingga kriminal.

Selanjutnya, menyiapkan peta rawan bencana; memperkirakan dan menyiapkan biaya penanganan subsiden dan pemasangan rambu keterangan subsiden dengan pantauan langsungnya sehingga warga juga dapat sadar mengenai bahaya subsiden yang mengancam.

Pemprov DKI Jakarta dalam RPJMD di era Anies Baswedan ini, telah memasukan isu mengenai Jakarta tenggelam, berada dalam visi-misi keempat, yakni menjadikan Jakarta kota lestari, dengan pembangunan dan tata kehidupan yang memperkuat daya dukung lingkungan dan sosial.

Misi itu dijabarkan dalam tujuan mewujudkan pembangunan yang memperkuat daya dukung lingkungan dan sosial.

Sayangnya, pengalaman Jepang yang disampaikan JICA belum dimasukan dalam RPJMD DKI. Fokus Pemprov DKI Jakarta dalam dokumen itu, antara lain, menangani penggunaan air tanah tidak berkelanjutan dengan cara membatasi penggunaan yang kini sudah melewati batas aman (30 persen) hingga lebih dari 70 persen.

Kedua, akan dilakukan penerapan lebih baik untuk memastikan cukupnya kapasitas resapan air hujan pada bangunan-bangunan dan mengelola kegiatan pembangunan infrastruktur besar di beberapa titik wilayah Jakarta yang mengalami penurunan permukaan tanah secara ekstrem.

Ketiga, mendorong optimalisasi adanya sumur-sumur resapan kolektif dan "giant biopori" serta alternatif-alternatif untuk memaksimalkan penyerapan air di ruang-ruang publik guna membantu menghentikan penurunan muka tanah di sejumlah kawasan.

"Implementasi dari seluruh strategi ini dilakukan dengan pelibatan penuh gerakan masyarakat," kata Anies dalam RPJMD itu.

Dirut PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo menjelaskan memang seharusnya ada pemetaan dan data penggunaan air tanah hingga adanya aturan yang mendorong peralihan penggunaan air tanah menjadi air pipa.

Tapi pemprov saat ini sedang berencana untuk membuat pergub tentang "zero deep well" yang mengatur daerah-daerah yang dilayani dengan jaringan pipa dan tidak boleh menggunakan air tanah terlebih aliran yang dalam.

"Ini sedang dikerjakan," kata Bambang yang juga menyebutkan telah ada disinsentif pajak bagi para pengguna air tanah dari segi nila.

Nilainya akan lebih mahal hingga tiga kali lipat dibanding menggunakan air pipa.

Pihaknya sedang mengupayakan pada 2023, sebesar 82 persen wilayah Jakarta akan teraliri air pipa. Caranya menambah lagi volume air 11,2 ribu liter per detik dari saat ini sebesar 20 ribu liter per detik.

Selain itu penambahan jaringan perpipaan ke wilayah yang belum terjangkau, melakukan usaha penurunan tingkat kebocoran dan melakukan edukasi ke warga yang ada jalur perpipaan agar beralih.

Namun, yang paling vital adalah peningkatan volume debit air sekitar 11,2 ribu liter per tahun lagi dari sekarang 20 ribu. Itu terbagi pada Jatiluhur akan menyumbang 4 ribu liter per detik, Karian sebanyak 3.200 liter per detik, pengolahan internal sebanyak 950 liter per detik, dan peningkatan fasilitas di Buaran sebanyak 3.000 liter per detik.

Saat ini jaringan PDAM panjangnya 11.779.035 meter sampai Kamal Muara (mencakup 60 persen wilayah). Namun selain meningkatkan volume debit air, yang harus dipikirkan juga adalah untuk mengakomodir hingga 82 persen.

"Itu butuh investasi yang tidak sedikit. Sekitar Rp15-Rp17 triliun totalnya," kata Bambang.

Dengan pipanisasi yang diharap menjadikan ekstraksi air tanah berkurang dan ditambah dengan optimalisasi drainase vertikal atau sumur resapan yang direncanakan 1,8 juta unit, diharapkan tidak ada lagi "land subsidence".

Untuk mengantisipasi naiknya air laut, di utara Jakarta sedang dibangun tanggul laut National CapitalIntegrated Coastal Development (NCICD) yang dibangun bersama antara pemerintah pusat, daerah dan pihak swasta.

Tanggul yang akan membentang ratusan kilometer sepanjang bibir pantai utara Jakarta itu, masih dalam tahap pembangunan fase A yang memiliki panjang 62,62 kilometer. Pemprov DKI dan pemerintah pusat memiliki kewajiban masing-masing delapan kilometer.

Namun pembangunan ini sempat mandek karena adanya perubahan lokasi kerja pembangunan tanggul laut raksasa yang awalnya dilakukan pihak swasta.

Rencana awalnya, pengerjaan tanggul laut raksasa ini juga ada dari swasta. Ternyata ada pembagian beberapa lokasi yang dulu dikerjakan swasta, kemudian diambilalih oleh Pemprov DKI dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Hingga saat ini, Pemprov DKI Jakarta bersama Kementerian PUPR sedang memastikan pembagian lokasi yang harus dikerjakan Pemprov DKI dan Kementerian PUPR. Itu

mengakibatkan pembangunannya bisa tertunda lagi dan air laut bisa naik lebih tinggi lagi.

Berbagai penelitian telah dilakukan, berbagai literatur telah mempublikasikan kemungkinan bencana ini. Pemprov DKI Jakarta-pun telah menggulirkan upaya untuk mengantisipasi tenggelamnya Jakarta pada 2050.

Kini publik menunggu seperti apa efeknya yang terjadi jika semua usulan dan rencana yang dibuat telah dikerjakan.

Akan tetapi, dalam keadaan seperti ini, tidak bisa hanya pemerintah saja yang bergerak sendiri. Harus ada peran serta dunia usaha, industri dan masyarakat secara umum agar sadar terhadap lingkungannya sehingga bencana yang mengintai tidak benar-benar terjadi. (*)