Tuberkulosis masih ditemukan di Kota Solok, 134 kasus dalam tujuh bulan

id Tuberkulosis ,TBC,Kota Solok,Berita Solok

Tuberkulosis masih ditemukan di Kota Solok, 134 kasus dalam tujuh bulan

Penderita tuberkulosis (Foto: Antaranews)

Solok (ANTARA) - Dinas Kesehatan Kota Solok, Sumatera Barat menemukan 134 kasus Tuberkulosis (TBC) di daerah itu sepanjang tujuh bulan, Januari hingga Juli 2019.

"134 kasus ini data dari empat puskesmas kami, RSU Mohammad Natsir dan Rumah Sakit Tentara (RST), sebagian pasien juga merupakan warga Kabupaten Solok yang berobat ke Kota Solok," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Solok Ambun Kadri melalui Kabid Kesmas Peppy, di Solok, Jumat.

Ia menyebutkan pihaknya memang ditargetkan menemukan kasus TBC lebih banyak atau meningkat 65 persen dari kejadian tahun sebelumnya. Sebab Kementerian Kesehatan menargetkan dilakukan eliminasi penyakit tersebut pada 2030.

Sedangkan pada 2018 ditemukan 168 Kasus Tuberkulosis di Kota Solok, dengan Basil Tahan Asit (BTA) Positif 77 orang, Tuberkulosis BTA Negatif 29 orang, Kasus TBC anak sebanyak 38 orang, TBC Ekstra paru 17 orang dan kasus kambuh sebanyak tujuh orang, sebutnya.

Ambun menjelaskan penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban Tuberkulosis antara lain belum memadainya tata laksana Tuberkulosis, terutama di fasilitas pelayanan kesehatan yang belum menerapkan layanan Tuberkulosis sesuai dengan standar pedoman nasional.

"Sedangkan penyebab TBC yang paling berpengaruh yaitu kebersihan sanitasi seperti Mandi, Cuci, Kakus (MCK). Jadi target penjaringan pasien TBC dari rumah masyarakat kumuh padat dan kumuh miskin, katanya.

Ia mengatakan bahwa Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangannya telah dilakukan di banyak negara sejak 1995.

Jumlah kasus Tuberkulosis di Indonesia menurut laporan WHO diperkirakan ada 1 juta kasus baru pertahun (399 per 100.000 Penduduk).

Standar pedoman nasional seperti penemuan kasus atau diagnosis yang tidak baku, panduan obat yang tidak baku, tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan yang baku.

"Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan sektor dalam penanggulangan Tuberkulosis baik kegiatan maupun pendanaan. Besarnya masalah kesehatan lain juga bisa berpengaruh terhadap resiko terjadinya Tuberkulosis," ujarnya.

Secara signifikan seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV), Gizi Buruk, Diabetes Mellitus, merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh, tuturnya.

Sementara itu, perwakilan Koalisi Organisasi Profesi Indonesia Tuberkulosis (KOPI TBC) Sumbar Rizki Amelia Hardi, mengatakan sehubungan dengan target eliminasi TB di Indonesia dipercepat, yang sebelumnya ditargetkan pada 2035 tercapai menjadi 2030.

"Maka perlu upaya-upaya strategis, untuk mencapai target tersebut, salah satunya meningkatkan penemuan kasus dengan melibatkan District Public Private Mix (DPPM), dengan koalisi organisasi profesi yang bertujuan menguatkan jejaring layanan pemerintah atau swasta," ujarnya.

Rizki juga berharap Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota dapat melakukan koordinasi dan memfasilitasi pembentukan jejaring dan memastikan setiap komponen jejaring tersebut berjalan aktif.

"Keberhasilan program TBC bukan saja tanggung jawab petugas puskesmas ataupun rumah sakit, namun juga melibatkan lintas sektor dalam mencapai eliminasi TBC di Indonesia," ujarnya.