Hotspot kebakaran hutan dan dampaknya pada kualitas udara Sumbar

id hotspot

Hotspot kebakaran hutan dan dampaknya pada kualitas udara Sumbar

Hotspot potensi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. (Istimewa)

Bukittinggi, (ANTARA) - Sejak Kamis (12/9) pekan ini kabut asap terpantau di sebagian besar wilayah Sumatera Barat. Jarak pandang di Padang dan Bukittinggi mencapai jarak terendah yaitu sekitar kurang dari 5 kilometer.

Secara kasat mata dengan pandangan visual ini saja sudah menunjukkan adanya partikel dan gas polutan lainnya yang masuk ke atmosfer melebihi jumlah biasanya. Sudah tentu hal ini berpotensi mengganggu kesehatan manusia dan juga makhluk hidup lainnya.

Berdasarkan informasi hotspot dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) terpantau masih terdapat ribuan hotspot di Kalimantan dan Sumatera hingga hari ini.

Adapun di Sumbar sendiri pada Kamis (12/9) terdapat lebih dari 10 hotspot yang tersebar terbanyak di Kabupaten Dharmasraya. Kondisi ini menjadi indikasi bahwa peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan masih terus meningkat.

Peningkatan hotspot ini berkaitan dengan masih rendahnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. BMKG sendiri telah merilis bahwa awal musim hujan 2019/2020 akan mengalami kemunduran. Artinya musim kemarau 2019 menjadi lebih panjang dari biasanya.

Dengan ini maka setidaknya beberapa provinsi di Indonesia yang rawan dengan kebakaran hutan meliputi Riau, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Aceh, dan Kalimantan Tengah menjadi semakin sulit mengatasi munculnya hotspot kebakaran hutan.

Hotspot sebagai indikator kebakaran hutan

Hotspot merupakan indikator awal informasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P 12/ PMenhut-II/ 2009.

Hotspot sendiri merujuk pada definisi LAPAN dinyatakan sebagai suatu area di mana suhu area tersebut cenderung lebih tinggi dibanding suhu di sekitarnya. Adanya kontras suhu tersebut kemudian dideteksi menggunakan satelit.

Selanjutnya posisi area di mana kontras suhu tersebut terjadi ditandai sebagai suatu titik dengan koordinat bujur dan lintang tertentu. Beberapa satelit yang digunakan LAPAN untuk mendeteksi keberadaan hotspot tersebut antara lain Satelit NOAA, Terra/Aqua MODIS, SNPP dan satelit penginderaan jauh lainnya.

Dalam menginterpretasi keberadaan hotspot sebagai indikator awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan, menurut LAPAN perlu memperhatikan hal-hal berikut:

Tolerasi koordinat hotspot dari satelit sekitar 2 kilometer. Maka keberadaan suatu titik hotspot di lapangan jika disusuri akan berada dalam radius sejauh 2 kilometer.

Jumlah hotspot belum tentu mencerminkan jumlah kebakaran di lapangan. Pada beberapa kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam jarak 500 meter terdeteksi sebagai satu hotspot saja. Sebaliknya satu kebakaran kecil tetapi kontras suhunya sangat tinggi dapat terdeteksi oleh satelit menjadi lebih dari satu hotspot.

Hotspot memang menjadi indikator kebakaran hutan dan lahan namun hotspot belum tentu berkembang menjadi firespot atau titik api kebakaran hutan. Jika mempertimbangkan faktor meteorologis seperti rendahnya curah hujan maka dapat saja hotspot dijadikan indikasi awal potensi penurunan kualitas udara.

Hotspot dan Kualitas Udara Sumatera Barat

Kualitas udara ditentukan oleh komposisi gas yang masuk ke atmosfer. Jika yang masuk ke udara adalah zat pencemar maka sudah tentu kualitas udara akan menurun.

Pencemaran udara yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas udara menurut PP nomor 41 tahun 1999 didefinisikan sebagai keadaan berupa masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia. Dampaknya adalah mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu sehingga udara ambien tersebut tidak dapat memenuhi fungsinya.

Secara umum sumber-sumber bahan pencemar yang mempengaruhi kualitas bersumber dari industri dan pembangkit energi, kegiatan pertanian, transportasi, serta penggunaan energi dalam rumah tangga.

Fenomena yang masif menyebabkan penurunan kualitas udara secara signifikan dan selalu berulang setiap tahun adalah kebakaran hutan dan lahan. Sampai 2019 saja berdasarkan laman Sipongi KemenLHK luas area yang terbakar se Indonesia telah lebih dari 300 ribu hektare.

Kebakaran hutan dan lahan akan menyebabkan munculnya asap yang menyebar ke mana-mana hingga jauh dari sumber kebakarannya sendiri. Asap kebakaran hutan dan lahan memproduksi polutan partikulat (particulate matter - PM).

Polusi Partikulat atau Particulate Matter ini merupakan zat mikroskopis yang terdiri dari padatan atau juga tetesan cairan. Polusi Partikulat in dapat mengambang di atmosfer hingga berminggu-minggu.

Hal yang cukup menjadi ironi adalah Sumatera Barat bukan merupakan provinsi penyumbang kebakaran hutan dan lahan namun selalu menerima dampak jika terjadi kebakaran hutan pada wilayah sekitarnya.

Faktor meterorologis berupa arah angin yang menuju Sumatera Barat dari wilayah-wilayah yang memiliki kejadian hotspot menyebabkan asap dari kebakaran hutan di wilayah tersebut masuk ke wilayah Sumatera Barat.

Sejak awal September 2019 pemantauan dari Stasiun Pemantau Atmosfer Bukit Kototabang atau yang lebih dikenal sebagai Stasiun GAW menunjukkan konsentrasi polutan partikulat PM10 yang bervariasi level baik ke sedang.

Sejak Kamis(12/9) nilai PM10 bertahan pada level sedang. Parameter lain berupa Atmosphere Optical Depth (AOD) yang merupakan indikator kekeruhan udara berada pada index 1.3. Nilai AOD lebih dari 1 menunjukkan bahwa udara di sebagian besar wilayah Sumatera Barat telah terpapar polutan yang umumnya berjenis partikulat.

Stasiun Pemantau Atmosfer Bukit Kototabang merupakan stasiun khusus BMKG guna mengamati kualitas udara guna kepentingan global. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program Global Atmosphere Watch (GAW) yang dikoordinar Badan Meteorologi Dunia (WMO).

Imbauan BMKG

Penanganan polusi udara merupakan kegiatan yang tidak bisa dilakukan hanya satu pihak dan satu negara saja. Kontribusi seluruh elemen masyarakat, swasta dan pemerintah dalam kerjasama global adalah hal mutlak. Dari unsur terkecil kita selaku pribadi dapat memulai mencegah penurunan kualitas udara dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak membuka lahan dengan membakar dan selalu menggunakan peralatan yang hemat energi. ***

*) Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang