Istri-istri Gubernur, "MICE" dan SOP evakuasi kebencanaan

id sop kebencanaan

Istri-istri Gubernur, "MICE" dan SOP evakuasi kebencanaan

Papan informasi saat peringatan HKG PKK ke-47 di Padang. Tidak ada memuat informasi rambu evakuasi bencana. Padahal itu sangat penting dalam kerangka mitigasi. (ANTARA SUMBAR/ Miko Elfisha)

Padang, (ANTARA) - Awal Januari 2017, sebuah acara kecil yang digelar di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) HB Saanin Padang, Sumatera Barat membuat saya tercengang takjub.

Bukan karena pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit yang khusus melayani pasien gangguan mental itu, tetapi caranya memulai acara.

Jangan dibayangkan Rumah Sakit itu menampung orang gangguan jiwa, lalu acara akan dimulai dengan ala orang gila. Tidak! Acara di tempat itu dimulai dengan penyampaian informasi tentang strandar operasional (SOP) evakuasi kebencanaan.

Pembawa acara yang ditunjuk dadakan, karena acara waktu itu memang inspeksi mendadak Wakil Gubernur Nasrul Abit, dengan fasih menjelaskan langkah evakuasi jika saat acara tiba-tiba terjadi bencana.

Ia menjelaskan kondisi ruang pertemuan yang berada di lantai dua. Ada dua pintu keluar di samping kiri dan kanan kemudian menginformasikan titik kumpul terdekat untuk evakuasi darurat.

Berkali-kali ia menyampaikan agar tidak panik dan tetap tenang jika bencana terjadi agar evakuasi bisa berjalan baik.

SOP itu bisa untuk bencana apa saja. Namun, sepertinya agak lebih dititik beratkan pada gempa, bencana yang paling mengancam di Sumbar.

Sumbar memang punya riwayat bencana gempa besar yang meluluhlantakkan infrastruktur di beberapa daerah pesisir pantai, terutama Padang pada 2009.

Bencana yang merenggut ribuan nyawa dan ratusan ribu bangunan mengalami kerusakan itu seolah titik awal penyadaran bagi masyarakat Sumbar tentang pentingnya mitigasi bencana.

SOP evakuasi kebencanaan saat acara yang melibatkan orang banyak, adalah salah satu implementasinya. Dan penerapannya di RS Jiwa mungkin menjadi contoh paling baik dari penerapan itu.

Rasanya tidak mungkin instansi lain di Sumbar, yang lebih "normal" akan kalah pula dengan RS J Hb Saanin itu, bukan? Begitu logika sederhananya. Tapi benarkah demikian?

Pada awal 2019, dua bulan setelah gempa dan tsunami menghantam Banten akhir Desember 2018, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo mengunjungi Sumbar.

Ia memimpin Rapat Koordinasi Mitigasi dan Penanganan Bencana Gempa dan Tsunami dengan kepala daerah se-Sumbar.

Rapat itu dinilai penting untuk memastikan kesiapsiagaan dan koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana berjalan dengan baik.

Ia menyebut Sumbar punya ancaman megathrust yang dapat mengakibatkan gempa dan tsunami. Juga ada ancaman banjir, longsor, hingga bencana vulkanologi dengan adanya gunung api yang aktif yakni Gunung Marapi, Gunung Talang, dan Gunung Kerinci.

Karena itu mitigasi bencana tidak hanya penting tetapi menjadi kewajiban pemangku kepentingan dan seluruh masyarakat untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan dari bencana.

Dia juga meminta kepala daerah terutama dengan risiko daerahnya potensial terjadi gempa dan tsunami untuk meningkatkan sosialisasi dan mitigasi serta menyiapkan sarana prasarana antisipasi dampak kerugian yang lebih besar.

Salah satu saran yang disampaikannya adalah agar pemerintah daerah di wilayah pesisir untuk menanam pohon cemara udang di sepanjang pantai.

Doni menyebut berdasarkan evaluasi tsunami Banten, pohon-pohon itu mampu menjadi "benteng" yang membendung gelombang tsunami ke daratan sehingga bisa meminimalkan kerusakan yang mungkin diakibatkan.

Ia juga mengingatkan efek negatif dari batu grib di pinggir pantai yang bisa menjadi "mata pisau" jika tsunami terjadi.

Namun sebelum acara tentang mitigasi itu dimulai, SOP evakuasi kebencanaan seperti di RSJ HB Saanin, ternyata tidak dilakukan. Entah Doni yang khilaf atau BPBD Sumbar? Tidakkah ia tahu kalau Kantor Gubernur tempat acara itu digelar berada dalam zona merah?

Ironis sekali dalam acara berskala nasional dengan tamu Ketua BNPB sendiri, yang seharusnya menjadi percontohan bagi instansi-instansi lain di Indonesia, terutama untuk daerah-daerah rawan bencana, SOP evakuasi bencana itu juga luput dari perhatian.

Atau mungkinkah anggota BNPB, BPBD itu sudah benar-benar berteman dengan bencana sehingga bencana enggan mencelakai mereka? Kalau benar begitu, lalu bagaimana dengan peserta lain yang bukan anggota BPBD? - Ah...

Kita lihat pula pelaksanaan Peringatan Hari Kesatuan Gerak (HKG) PKK Nasional ke-47 yang dipusatkan di lapangan Imam Bonjol yang berada sekitar 800 meter dari bibir pantai Padang.

Setidaknya ada 34 Ketua TP PKK tingkat provinsi yang biasanya dijabat oleh istri gubernur atau wakil gubernur yang datang dalam acara itu. Belum lagi Ketua TP PKK tingkat kota dan kabupaten yang berjumlah ratusan.

Ketua Umum Tim Penggerak PKK Pusat dr. Erni Guntarti Tjahjo Kumolo bersama suami, Menteri Dalam Negeri ikut hadir membuka acara itu.

Peringatan HKG PKK itu sungguh meriah. Pelaksanaannya sukses. Semua yang ditampilkan, baik seni budaya saat pembukaan maupun pameran kerajinan dan produk unggulan dari 34 provinsi di Indonesia mampu menyedot perhatian ribuan orang. Tidak saja undangan dari berbagai kota, kabupaten serta provinsi, tetapi juga masyarakat Sumbar.

Ribuan orang tumpah ruah di lapangan itu selama tiga hari pelaksanaan acara. Aroma kopi gayo yang menjadi idola mengapung diantara derai gelak tawa dan suara genit ibu-ibu menawar harga perhiasan permata dari NTB hingga kaum Adam yang malu-malu bertanya minyak lintah di stan Papua.

Stan milik Pemprov Sumbar yang memamerkan produk unggulan lokal mulai dari produk kuliner hingga kerajinan songket dan sulam juga menjadi incaran. Tidak sedikit tamu-tamu dari berbagai daerah di Indonesia itu main borong hingga pemilik stan kewalahan.

Begitu meriah. Tidak salah rasanya jika Gubernur Sumbar Irwan Prayitno berharap pelaksanaan HKG di provinsi itu akan dikenang sebagai salah satu pelaksanaan terbaik dari 47 kali pelaksanaannya.

Seminggu setelah acara itu usai dilaksanakan, kenangannya masih tersisa. Semua tamu sudah kembali ke kampungnya masing-masing, tetapi keceriaan yang dibawa seakan masih terasa.

Tapi di luar itu semua, Pemprov Sumbar patut bersyukur (benar-benar bersyukur) tidak ada bencana gempa dan tsunami yang terjadi saat acara berlangsung. Karena jika itu terjadi, maka tidak akan sanggup daerah itu menanggung bebannya.

Bagaimana cara menanggung beban yang mengakibatkan seluruh gubernur di Indonesia menjadi duda karena istri-istri mereka hilang terkena gempa dan tsunami? - Untung tidak benar-benar terjadi. Alhamdulillah.

Bukan membesar-besarkan persoalan. Itu benar-benar bisa terjadi kalau gempa dan tsunami menerjang. Sejak awal digelarnya acara berskala nasional dan dihadiri oleh tokoh maupun isteri tokoh penting di Indonesia itu, memang tidak pernah disampaikan SOP evakuasi kebencanaan.

Yah, bila acara yang digawangi BNPB saja, SOP itu tidak sampaikan, bagaimana bisa berharap instansi lain akan melakukan?

Tapi karena hal itu, seluruh peserta menjadi "buta". Orang-orang yang datang dari seluruh Indonesia itu tidak tahu kemana menyelamatkan diri jika gempa dan tsunami datang, padahal posisi mereka hanya 800 meter dari bibir pantai.

Sementara "golden time", waktu emas untuk bisa menyelamatkan diri itu menurut BNPB hanya 20 menit. Bayangkan bagaimana cara mengatur orang "buta" dalam kepanikan yang akut?

Bagaimana caranya istri-istri gubernur se-Indonesia itu, istri Mendagri itu, akan tahu di mana lokasi shelter terdekat dari lokasi agar bisa melakukan evakuasi jika sejak awal tidak diberi tahu?

Begitu pentingnya SOP evakuasi kebencanaan itu sehingga untuk daerah rawan bencana seperti Sumbar, tidak boleh tidak, harus menyampaikannya setiap acara akan dimulai.

Dalam SOP evakuasi kebencanaan itu diberikan informasi secara lengkap. Jika gempa besar dan peringatan tsunami terdengar, peserta tidak boleh panik dan tetap tenang menuju titik kumpul.

SOP itu menginformasikan jalur evakuasi yang harus dilalui oleh peserta jika terjadi bencana agar tidak menumpuk pada satu jalan keluar. Jalur evakuasi itu harus pula dilengkapi oleh rambu yang jelas.

SOP itu juga harus menginformasikan lokasi beberapa shelter terdekat dengan tempat acara yang bisa dituju peserta secepatnya. Sehingga dalam 20 menit pertama itu, seluruh peserta bisa melakukan evakuasi secara mandiri.

SOP itu juga harus menyampaikan bahwa informasi yang harus diikuti peserta hanya boleh dari anggota BPBD atau pihak lain yang ditunjuk, yang dapat dikenali dengan atribut tertentu agar tidak menjadi kebingungan saat proses evakuasi.

SOP itu, yang merupakan urat nadi dari evakuasi darurat, yang merupakan satu-satunya benang harapan yang bisa dipegang untuk bisa selamat saat terjadi bencana, ternyata tidak pernah disampaikan dalam acara-acara penting yang dihadiri ribuan orang seperti itu di Sumbar.

Ah, betapa akan berdukanya negara ini bila seluruh istri kepala daerahnya ditimpa bencana di Sumbar? - Bersyukur Tuhan Semesta Alam masih menyayangi Pemprov Sumbar sehingga tidak harus menanggung beban kesalahan itu.

Persoalan SOP evakuasi kebencanaan itu hanya bagian kecil dari semesta mitigasi bencana. Program yang dibiayai hingga milyaran rupiah oleh pemerintah pusat dan daerah setiap tahun. Lalu bisakah keberhasilan program mitigasi bencana itu dinilai dari kealpaan penerapan SOP ini? - Entahlah.

Pejabat Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD) Sumbar Rumainur mengatakan SOP evakuasi kebencanaan itu sebenarnya telah dirancang pascagempa besar 2009. Namun harus diakui penerapannya masih sangat lemah. Sedikit sekali instansi yang telah menerapkannya dalam setiap kegiatan.

Selain SOP evakuasi kebencanaan itu, juga pernah diinisiasi pembuatan papan informasi yang mencolok tentang lokasi shelter untuk dipasang di ruang publik, atau setidaknya agar lebih murah dari segi biaya, di halaman instansi-instansi pemerintahan. Informasi itu berupa peta sedernana mencantumkan lokasi dan alamat shelter terdekat radius 1 kilometer dari papan informasi.

Maka setiap papan informasi yang dipasang, tidak bisa "copy paste" dari papan informasi lain, karena masing-masing papan akan berisi informasi yang berbeda, tergantung lokasi pemasangannya.

Rumainur menyebut, hal itu akan menjadi catatan bagi BPBD Sumbar dan kabupaten/kota yang berada di pesisir pantai.

Sumbar sebagai tujuan wisata "MICE"

Iklim pariwisata di Sumbar boleh dikatakan makin membaik sejak beberapa tahun belakangan, terbukti dengan banyaknya destinasi baru yang menjadi idola menyaingi Kota Wisata Bukittinggi.

Wisatawan tidak melulu ingin mengunjungi jam gadang di Bukittinggi, sebagian kini ingin menikmati aroma pesisir di Padang, Pesisir Selatan, Pariaman hingga Agam dan Pasaman Barat.

Sebagian ingin menikmati wisata alam dan budaya di Solok, Sijunjung maupun Solok Selatan. Sebarannya menjadi merata meski Padang dan Bukittinggi tetap yang utama karena ditunjang ketersediaan hotel yang memadai.

Sejumlah agenda wisata menarik seperti festival juga lahir seperti cendawan di musim hujan meski sebagian harus digarap lebih maksimal.

Pola kunjungan wisatawan juga semakin beragam, tidak lagi terbatas kunjungan khusus berwisata dengan keluarga, tetapi juga wisata berbalut konvensi atau rapat kerja yang lebih dikenal dengan "Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition" (Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran) atau "MICE".

Ribuan orang datang ke Sumbar, menyewa ruang konvensi di hotel-hotel, membahas pekerjaan, kemudian satu atau dua hari terakhir dimanfaatkan untuk wisata.

Wisata jenis itu disambut antusias Pemprov Sumbar, bahkan gubernur menyediakan waktu khusus mengundang tamu-tamu yang mengadakan acara di provinsi itu menikmati jamuan makan malam.

Makin tingginya angka kunjungan wisata itu, seharusnya juga menyadarkan pemerintah daerah terutama BPBD untuk memastikan setiap hotel di daerah itu harus punya SOP evakuasi kebencanaan dan menginformasikannya setiap kali acara akan dimulai.

Hal itu seharusnya bukan lagi sebuah imbauan atau dorongan, tapi sebuah kewajiban bahkan jika perlu disangkutkan jadi syarat perizinan. Hotel yang tidak punya SOP evakuasi kebencanaan, tidak boleh beroperasi di Sumbar karena bisa membahayakan jiwa tamu-tamu yang menginap di hotel tersebut.

Apalagi sebagian besar hotel di Sumbar, terutama di Kota Padang berada di daerah rawan. Zona merah.

SOP evakuasi kebencanaan itu bukan pertakut bagi wisatawan, malah jadi sebuah "kartu garansi" keselamatan. Bahwa wisatawan tidak perlu cemas jika terjadi bencana saat berwisata di Sumbar, karena hotel telah punya SOP untuk keselamatan.

Itu tentu akan lebih memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi wisatawan yang datang berwisata ke Sumbar.

Ketua Komis V DPRD Sumbar Hidayat juga pernah mengingatkan terkait SOP tersebut, meski ia membahas agak lebih luas terutama rantai komando saat bencana terjadi dan kepala daerah tidak berada di tempat.

Rantai komando itu penting agar setiap instansi tidak jalan sendiri dalam proses evakuasi maupun tanggap darurat. Agar masyarakat tahu, instruksi siapa yang musti diikuti dalam kondisi darurat itu.

Demikian penting SOP itu, tidakkah Pemprov Sumbar malu dengan RSJ HB Saanin, tempat orang gangguan mental tetapi ternyata dalam implementasinya lebih paham tentang pentingnya mitigasi? (*)