Bukittinggi, (ANTARA) - Kota Bukittinggi, Sumatera Barat telah menjadi daerah yang terlampau sesak oleh kendaraan wisatawan sejak beberapa tahun terakhir, terutama pada beberapa titik strategis seperti destinasi wisata sekitar Jam Gadang serta pusat belanja di Pasar Atas dan Aur Kuning.
Pada musim liburan, sulit sekali menemukan hotel yang masih memiliki kamar kosong di kota berhawa sejuk itu jika tidak melakukan pemesanan sejak jauh hari.
Ratusan hotel mulai dari kelas melati hingga bintang empat, terutama yang berada di sekitar Jam Gadang akan penuh. Wisatawan hanya bisa berharap ada kamar yang tersisa di hotel yang agak jauh di pingggiran. Itupun kalau masih beruntung.
Sama halnya dengan hotel, ruas jalan dan parkiran di kota itu juga sudah terlampau sesak. Parkir di pusat kota sulit sekali ditemukan jika musim liburan. Bangunan parkir tingkat empat yang dibangun pemerintah daerah juga belum sanggup menjawab persoalan itu.
Bukittinggi sekarang memang dikenal sebagai kota wisata, tujuan wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang ke Sumbar. Namun sesungguhnya, kota itu punya sejarah panjang, bahkan pernah menjadi Ibu Kota Negara Indonesia.
Itu terjadi pada 19 Desember 1948 setelah Yogyakarta, Ibu Kota Indonesia saat itu, jatuh ke tangan Belanda. Masa itu dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.
Selain wisata dan sejarahnya, Bukittinggi juga dikenal sebagai daerah penghasil bordir krancang di Sumbar. Bordir krancang adalah kain kerajinan hasil jahitan bordir mesin manual dengan ciri khas hasil benang tebal dan berat serta berlubang-lubang.
A. Wachid dalam bukunya "Hajah Rosma dan Nukilan Bordir Sumatera Barat" terbitan 1997 menyebut bordir merupakan suatu bentuk kerajinan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Minangkabau.
Yaitu semenjak dibawa oleh bangsa Cipai suku Keling bekas tentara Rafless yang menjajah Bengkulu. Karena mereka tidak ingin kembali ke negara asalnya, kemudian mereka berangkat dari Bengkulu dan menetap di Pariaman. Ini terjadi pada tahun 1818.
Kerajinan itu baru mulai berkembang di Bukittinggi sekitar 1960 dan mencapai masa jayanya pada dekade 70-an hingga 80-an.
Pasarnya tidak hanya nasional, tetapi merambah ke negara-negara tetangga. Pejabat pusat yang datang ke Bukittinggi pada dekade itu, pasti akan mencari hasil kerajinan ini sebagai buah tangan, termasuk menteri hingga presiden.
Ida Arleni, wanita yang meneruskan usaha mertuanya, Hj Anismar Asri menyebut pada dekade 70-an hingga 80-an itu, usaha sulaman dan bordir di Bukittinggi berkembang amat pesat. Sulaman dan Bordir Ambun Suri merupakan salah satu yang terdepan dengan jumlah pekerjanya mencapai ratusan orang.
Pasarnya tidak hanya dalam negeri, tetapi merambah hingga Malaysia, Singapura hingga Brunei Darussalam.
Berkat usaha itu, sang pemilik Hj Anismar Asri bahkan bisa mengembangkan bisnis hingga bidang perhotelan, yang sekarang masih berdiri di Bukittinggi yaitu Hotel Ambun Suri.
Namun pada dekade 90-an, terutama saat krisis moneter melanda pada 1998, usaha bordir krancang di Bukittinggi meredup bahkan banyak pengusahanya yang gulung tikar karena harga bahan baku yang melambung tinggi serta biaya produksi yang tidak lagi tertanggung. Usaha Sulaman dan Bordir Ambun Suri juga tidak terkecuali.
Produksi massal dihentikan, bordir hanya dibuat dalam jumlah terbatas dan berdasarkan pesanan. Beruntung, pasar di luar negeri masih bergairah hingga cukup membantu usaha itu bertahan melewati badai.
Baru pada 2015 Ambun Suri mulai bisa bangkit kembali dengan dukungan pemerintah daerah dan kemitraan dari PT. Pertamina melalui program CSR.
"Kami diikutsertakan dalam banyak pameran baik dalam dan luar negeri sehingga bordir krancang Ambun Suri kembali dikenal luas," kata Ida.
Pameran itu membuka pasar yang lebih luas bagi Sulaman dan Bordir Ambun Suri sehingga permintaan meningkat cukup signifikan. Tenaga kerja kembali direkrut, 20 orang pekerja tetap dan 20 orang membantu memenuhi pesanan. Berlahan tapi pasti, omzet usaha itu bisa mencapai Rp50 juta per bulan.
Menjaga Ekslusivitas
Perkembangan teknologi yang demikian cepat merambah seluruh bidang kehidupan, termasuk usaha sulaman dan bordir. Jika sebelumnya proses produksi harus dilakukan sendiri, dengan keahlian dan citarasa pengrajin menggunakan "mesin hitam", sekarang semua bisa dikerjakan dengan mesin yang diprogram menggunakan komputer.
Proses produksinya bisa lebih cepat dengan hasil yang banyak. Satu motif bisa dikerjakan oleh belasan bahkan puluhan mesin yang dikontrol komputer. Biaya untuk tenaga kerja juga bisa ditekan.
Bandingkan dengan proses produksi oleh perajin yang hanya bisa mengerjakan satu bordiran dalam waktu yang lama, bahkan bisa satu bulan untuk satu produk tergantung tingkat kesulitannya.
Tidak heran kemudian banyak pengusaha yang beralih menggunakan alat itu dan meninggalkan cara lama yang dinilai kuno dan tidak efektif serta efisien.
Namun Sulaman dan Bordir Ambun Suri tidak terpengaruh dengan hal itu. Mereka tetap mempertahankan bordir krancang sebagai hasil kerajinan yang dibuat dengan tangan, bukan barang produksi massal.
Pimpinan Sulaman dan Bordir Ambun Suri, Ida Arleni mengatakan hasil kerajinan memiliki nilai rasa dan cipta pembuatnya, berbeda dengan hasil kerja komputer. Nilai itulah yang membuat hasil kerajinan menurut dia, tetap lebih unggul dari hasil kerja mesin komputer.
Konsumen menurut dia juga memberikan penghargaan yang lebih baik kepada hasil kerajinan tangan itu sehingga bersedia membayar lebih mahal ketimbang hasil produksi massal menggunakan komputer. Harga produk bordir krancang itu berkisar antara Rp150 ribu hingga Rp4 juta per helai tergantung jenis kain dan tingkat kesulitan motif.
"Kami akan terus menjaga bordir krancang ini sebagai sebuah kerajinan," ujarnya.
Kualitas adalah syarat wajib agar kerajinan itu tetap menjadi yang terdepan. Selain itu variasi motif yang disesuaikan dengan zaman dan selera pasar serta ekslusivitas produk menjadi garansi tersendiri.
Untuk ekslusivitas itu, sulaman dan bordir Ambun Suri tetap menjaga satu motif hanya dibuat satu untuk setiap warna. Kalau konsumen membeli kain atau pakaian bordir krancang warna merah misalnya, ia tidak akan menemukan orang lain menggunakan warna merah dengan motif yang sama. Mungkin ada warna kuning, hijau atau biru. Tetapi warna merah, hanya akan menjadi milik seorang tersebut.
"Kami juga sedang menggali kembali kekayaan motif dari pakaian adat lama Minangkabau untuk dijadikan inspirasi motif yang baru. Selain itu, motif yang disukai oleh kalangan remaja juga akan diperbanyak sehingga bordir krancang ini bukan hanya milik ibu-ibu, tetapi juga remaja milenial," ujarnya.
Motif yang biasa dibuat untuk kerajinan bordir krancang khas Bukittinggi cukup beragam di antaranya motif kaluak paku (lengkungan daun pakis), pucuak rabuang (pucuk rebung/pohon bambu yang baru tumbuh), itiak pulang patang (itik/bebek pulang petang), dan saik ajik (potongan wajik). Kemudian juga ada motif berbentuk bagian dari tumbuhan seperti daun, bunga putik, dan sulur.
Teknik kerancang yang dipakai dalam bordiran juga beragam di antaranya kerancang kursi, kerancang pahat, kerancang silang, kerancang roda-roda,
kerancang sapu, kerancang sapu di tengah dan kerancang kacau atau batu, kerancang papan, kerancang balut, kerancang potong, kerancang rel, serta kerancang mata ikan.
Dalam sebuah produk bordir bisa digabung berbagai macam teknik kerancang agar semakin menarik dan indah untuk dipandang.
Ke depan, Ida bermimpi kerajinan bordir krancang Bukittinggi bisa go international, dikenal sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia seperti halnya batik. (*)