Mengenali Al Quran bercorak nusantara

id Al quran, naskah, nusantara

Mengenali Al Quran bercorak nusantara

Al Quran kuno. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng).

Al Quran kuno memiliki spesifikasi tidak memiliki tanda baca, tidak memiliki penomoran ayat, serta tidak mengikuti gaya menulis arab atau kaligrafi dengan benar

Perkembangan penulisan Al Quran di nusantara telah melewati fase yang panjang hingga menjadi sebuah mushaf sempurna sebagaimana yang temui saat ini.

Sebelum beredar luas dalam bentuk cetak yang ada saat ini, pada zaman dahulu, terutama sebelum abad ke duapuluh Al Quran ditulis secara manual oleh ulama-ulama yang ada di nusantara.

Mushaf atau manuskrip Al Quran tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Al Quran nusantara karena tidak ditulis dalam jumlah yang banyak oleh ulama yang bersangkutan.

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Eka Putra Wirman mengatakan manuskrip Al Quran tersebut pada umumnya tersebur di seluruh wilayah nusantara.

"Al Quran kuno memiliki spesifikasi tidak memiliki tanda baca, tidak memiliki penomoran ayat, serta tidak mengikuti gaya menulis arab atau kaligrafi dengan benar," katanya.

Selain itu ia menambahkan pada manuskrip tersebut juga tidak adanya pentashihan atau pengkoreksian terhadap teks Al Quran yang sudah ditulis oleh pihak berwenang, dengan kata lain penulis itulah yang kemudian mentashihkannya sendiri.

Ia menyebutkan, sejatinya mushaf Al Quran kuno tersebut memiliki banyak kesalahan yang tentu saja tidak disengaja oleh penulis.

Hal tersebut terjadi lantaran belum adanya standarisasi serta lembaga berwenang yang akan melakukan pemeriksaan terhadap teks yang sudah ditulis, seperti keberadaan Lajnah Pentasihan Mushaf Al Quran saat ini.

Menurut dia, sekalipun demikian, keberadaan mushaf Al Quran kuno atau manuskrip merupakan saksi sejarah perjalanan Islam di nusantara, terutama di Minangkabau.

Para ulama yang menyebarkan Islam di nusantara biasanya juga gemar menulis, seperti menulis kitab yang berkaitan dengan keagamaan serta Al Quran.

Mushaf Al Quran kuno tersebut tidak dapat diedarkan kepada masyarakat sebagai bacaan sehari-hari, dikarenakan banyaknya kesalahan penulisan di dalamnya.

Akan tetapi menurut Eka keberadaannya dapat menjadi sebuah karya sejarah dan budaya serta sebagai khazanah intelektual ulama nusantara.

Lebih lanjut ia menjelaskan, spesifikasi lain dari Al Quran kuno ialah penggunaan iluminasi atau hiasan yang terdapat pada pinggiran naskah.

Pada Al Quran kuno yang tersebar di daerah Sumbar, hiasan tersebut pada umumnya terpengaruh oleh ragam hias tradisional Minangkabau berupa ukiran.

"Beberapa ragam hias yang kerap ditemukan pada naskah kuno tersebut biasanya memiliki motif floral, seperti Kaluak Paku atau Pucuak Rabuang," katanya.

Ia menambahkan, dalam perkembangannya, terutama pada abad ke duapuluh barulah mulai beredar Al Quran dalam bentuk cetak yang sudah melalui proses pentashihan.

Pada saat sekarang ini, Al Quran yang dicetak dan diedarkan ke masyarakat sudah melalui pemeriksaan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran yang sudah dibentuk sejak tahun 1957.

Keberadaan lembaga ini bertujuan untuk menjamin kesucian teks Al Quran dari berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Al Qur'an tersebut.

Dalam perkembangannya, kemudian lembaga ini memiliki tugas yang lebih luas daripada sekedar memeriksa Al Quran sebelum diedarkan, akan tetapi mulai masuk kepada aspek-aspek lain yang berkaitan dengan Al Quran itu sendiri.

Pada peraturan Mentri Agama Nomor 1 tahun 1982 beberapa tugas dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran diantaranya ialah meneliti dan menjaga mushaf Al Quran, rekaman bacaan Al Quran, terjemah dan tafsir Al Quran secara preventif dan represif.

Selanjutnya mereka juga bertugas untuk mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf Al Quran, Al Quran untuk tunanetra (Al Quran Braille), bacaan Al Quran dalam kaset, piringan hitam dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di Indonesia.

Selain itu lembaga ini juga berwenang untuk menghentikan peredaran mushaf Al Quran yang belum ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran.

Eka menyebutkan, beberapa waktu yang lalu lembaga tersebut telah melaksanakan Workshop Al Quran Nusantara yang di dalamnya dilakukan pembahasan terkait dengan keberadaan Mushaf Al Quran kuno.

Menurutnya, dalam workshop tersebut diperkenalkan model-model Al Quran yang ditulis tangan di Minangkabau, sekaligus waktu penulisan Al Quran berikut langgam tulisan yang digunakan.

Pada kegiatan tersebut juga dijelaskan spesifikasi apa saja yang terdapat pada Al Quran kuno sehingga membedakannya dari Al Quran yang sudah dicetak.

Kegiatan yang merupakan kerjasama antara UIN Imam Bonjol dengan Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran Republik Indonesia itu pun mengahadirkan beberapa pakar, seperti Dr Muchlis M Hanafi, Dr Ali Akbar, Abdul Hakim M.Si, Dr Widia Fitri serta Dr Eka Putra Wirman sendiri.

Sementara itu pakar naskah kuno atau filolog UIN Imam Bonjol Padang, Dr Ahmad Taufik Hidayat mengatakan Naskah Al Quran kuno di Minangkabau biasanya dapat ditemukan pada di surau atau masyarakat secara pribadi.

Ia menyebutkan beberapa naskah Al Quran kuno yang pernah ia temukan, diantaranya berasal dari beberapa surau di Sumbar, seperti di daerah Pasaman dan Ulakkan Padang Pariaman.

"Naskah Al Quran yang ditemukan di Ulakkan Padang Pariaman memiliki keunikan karena ditulis per juz," kata dia.

Selain itu ia menambahkan, secara teori iluminasi yang ada pada naskah Al Quran kuno itu harusnya mengadopsi kebudayaan lokal tempat Al Quran tersebut ditulis, seperti motif serta warna hiasan.

Akan tetapi menurutnya ada beberapa naskah Al Quran yang keluar dari konteks itu, seperti naskah Al Quran yang diemukan di Pasaman yang memiliki motif lain.

Pada naskah tersebut ditemukan hiasan yang tidak lazim digunakan di Minangkabau sebagaimana naskah lainnya, sebab pada naskah tersebut ditemukan motif Turki.

"Hal ini mengindikasikan bahwa naskah Al Quran tersebut tidak ditulis di Minangkabau, melainkan di daerah lain dan kemudian dibawa ke daerah tersebut," katanya.(*)