Jakarta, (Antaranews Sumbar) - "Indonesia Darurat Narkoba", begitu sering disebut-sebut pemerintah dan sejumlah pihak untuk menggambarkan serbuan narkoba di negeri ini yang belakangan yang ditangkap hingga berton-ton, bukan lagi kilogram apalagi gram.
Penggambaran situasi itu makin nyata, juga karena bertambah banyak selebriti dan figur publik yang tertangkap aparat kepolisian karena mengonsumsi narkoba.
Upaya penegakan hukum jelas dilakukan oleh kepolisian, tetapi upaya pencegahan tentu tidak boleh ditinggalkan. Perlu ada penguatan dan peningkatan kesadaran tentang bahaya narkoba di kalangan anak-anak dan remaja.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan pendidikan karakter antinarkoba menjadi tanggung jawab semua pihak, yaitu guru, orang tua dan masyarakat termasuk pemerintah.
"Khusus untuk peran guru, semua guru harus memainkan perannya sebagai pendidik, bukan hanya mengajar sesuai mata pelajaran yang diampu, untuk menangkap semua pengaruh negatif terhadap murid," katanya.
Unifah mengatakan narkoba dapat mendatangi anak-anak dengan berbagai macam bentuk dan cara. Karena itu, guru dan sekolah harus bisa membangun komunikasi dengan murid dan orang tua murid untuk mengembangkan pendidikan karakter.
Sekolah harus bisa menjadi rumah kedua bagi murid sehingga terbuka ruang untuk dialog. Dialog antara guru dengan murid dan orang tua, akan bisa menjadi pelindung langsung bagi anak-anak dari pengaruh negatif termasuk narkoba.
Orang tua, guru dan masyarakat juga harus memperhatikan pergaulan sebaya anak-anak. Kerap kali narkoba masuk melalui pergaulan sebaya.
Unifah mengatakan masalah narkoba bukanlah sesuatu yang sederhana. Apa pun kesulitan yang dihadapi guru, mereka tetap harus melindungi murid-muridnya dari pengaruh buruk yang mengancam.
"Tidak hanya narkoba, tetapi juga korupsi, penggunaan alat elektronik, kebencian, intoleransi dan lain-lain. Harapan besar untuk melindungi anak-anak ada pada guru," katanya.
Unifah mengatakan pendidikan antinarkoba tidak bisa berupa indoktrinasi, tetapi harus kekinian agar bisa mengena di kalangan generasi milenial.
"Kepala sekolah, guru dan pengurus OSIS harus aktif mencari media-media yang tepat untuk pendidikan antinarkoba kepada murid-murid," katanya.
Menurut Unifah, harus ada upaya sistematis untuk penyuluhan tentang narkoba yang benar dan bahayanya. Karena itu, perlu kreativitas sekolah untuk menciptakan program penyuluhan yang sesuai bagi generasi milenial yang mengaku kekinian.
Bukan lagi melalui indoktrinasi, melainkan bisa saja melalui media film atau berbagai dialog.
PGRI sendiri saat ini tengah membangun pusat pendidikan karakter yang akan mengembangkan inovasi dalam pembelajaran.
Pintu Masuk
Selain memberikan pemahaman dan kesadaran tentang bahaya narkoba, bahaya rokok juga harus menjadi salah satu bagian dalam upaya pemberantasan narkoba. Sebab, kecanduan rokok merupakan pintu masuk termudah bagi narkoba.
"Anak-anak harus dijauhkan dari rokok. Seseorang kalau sudah merokok, akan muncul keinginannya untuk mencoba yang lain. Karena itu sekolah harus betul-betul menjadi kawasan tanpa rokok," katanya.
Unifah mengatakan PGRI cukup serius memandang permasalahan rokok di kalangan murid, anak-anak dan remaja. Karena itu, PGRI bergabung dalam
PGRI bahkan telah mendeklarasikan "Komitmen Guru Indonesia Untuk Pengendalian Tembakau" yang berisi tentang komitmen guru tidak merokok di lingkungan sekolah dan bebas dari intervensi industri rokok sekalipun dalam bentuk program tanggung jawab sosial perusahaan.
"Guru-guru harus jadi teladan untuk tidak merokok. Kami selalu berkeinginan agar guru tidak merokok sehingga murid tidak ikut-ikutan merokok," tuturnya.
Untuk menangkal murid dari bahaya rokok dan narkoba, Unifah mengatakan harus dilakukan pendidikan dan sosialisasi yang mengena di hati mereka.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan pendidikan antinarkoba kepada anak-anak dan remaja seharusnya diawali dengan pengetahuan dan kesadaran tentang bahaya rokok.
"Karena menurut Badan Narkotika Nasional, rokok merupakan pintu gerbang narkoba," katanya.
Lisda mengatakan pendidikan antinarkoba baik dan perlu dilakukan untuk memberikan penguatan kepada anak dan mencegah penyalahgunaannya di kalangan anak-anak, termasuk ketika mereka dewasa.
Namun, melakukan pencegahan dini, yaitu mencegah anak-anak menjadi perokok, akan lebih efektif dalam upaya mencegah mereka terjerat bahaya narkoba.
"Pemerintah mencanangkan darurat narkoba, seharusnya juga mencanangkan darurat rokok. Apalagi, usia merokok di Indonesia semakin muda bukan isapan jempol karena didapat melalui penelitian dan survei yang ilmiah," tuturnya.
Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014 menunjukkan terdapat 20,3 persen remaja Indonesia berusia 13 tahun hingga 15 tahun yang merokok.
Sedangkan data Riset Kesehatan Dasar 2014 menyatakan perokok pemula remaja usia 10 tahun hingga 14 tahun pada 10 tahun terakhir naik dua kali lipat dari 9,5 persen pada 2001 menjadi 18 persen pada 2013.
Kementerian Kesehatan menargetkan prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun menurun menjadi 6,4 persen pada 2016 dan 5,4 persen pada 2019. Namun, prevalensi perokok usia tersebut pada 2015 malah meningkat dari 7,2 persen menjadi 8,8 persen.(*)