Padang, (Antara Sumbar) - Mengantar hewan kurban ke Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang berjuluk bumi Sikerei bukan perkara mudah karena harus menempuh perjalanan laut berjam-jam serta menghadang ayunan ombak samudra, lalu menggiring sapi-sapi berjalan delapan kilometer menuju ke lokasi tujuan akhir.
Pagi itu Fortito, seorang dai muda yang bertugas di Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, berpacu dengan waktu mengantar sapi kurban ke daerah Siberut tengah.
Tidak hanya diburu waktu, dia pun harus menempuh perjalanan laut menaklukan ganasnya ombak samudra dan menghadang musim angin barat yang terkenal dengan ombak besar.
Menggunakan sampan dengan panjang sekitar 10 meter dan lebar 3 meter, dua ekor sapi bakal kurban ditidurkan dengan kondisi keempat kaki diikat di dalam sampan karena tak memungkinkan dibawa dengan posisi berdiri.
Dari Muara Siberut rombongan berangkat menempuh perjalanan dengan risiko besar berupa sampan terbalik karena ditelan gelombang hingga sapi yang mungkin mati dalam perjalanan karena stress terlalu lama di jalan.
Fortito masih ingat betul tahun lalu seekor sapi terpaksa harus disembelih di atas sampan karena keadaannya sudah sekarat.
"Daripada sapinya meninggal duluan terpaksa kami sembelih di sampan, sementara lokasi masih jauh," kata dia.
Ia merasakan betul mendistribusikan hewan kurban di Mentawai butuh perjuangan ekstra tidak hanya dari segi tenaga, namun biaya transportasi yang harus dikeluarkan pun membengkak sebab transportasi antardesa di daerah itu masih menggunakan laut hingga menyusur muara sungai.
Untuk mengantar sapi ke daerah Sagulubek, Siberut Daya yang merupakan wilayah terluar harus menempuh perjalanan laut menggunakan speed boat selama tiga jam dari Muara Siberut dengan ongkos sekali antar Rp7 juta.
"Ongkos angkut seekor sapi dari Padang Rp500 ribu, ditambah ongkos ke lokasi Rp7 juta dan harga sapi Rp13 juta total keseluruhan Rp20,5 juta," kata dia yang merupakan anggota lembaga dakwah khusus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar
Karena sulitnya mengantar sapi hingga ke pelosok, maka pada beberapa desa yang tersedia sapi diputuskan untuk membeli di lokasi tersebut agar biaya yang dikeluarkan lebih murah.
"Tapi sapi di Mentawai tidak sama dengan yang ada di Padang karena di sini hewan dilepasliarkan," ujarnya.
Jika di Padang satu ekor sapi seberat 150 kilogram harganya sekitar Rp13 juta, di Mentawai dengan seekor sapi harganya Rp12 juta tapi beratnya hanya 70 kilogram, lanjut dia.
Menurutnya daripada harus menghadapi risiko di perjalanan seperti ombak besar hingga kematian, akhirnya sapi dibeli di lokasi.
Namun sayangnya tidak semua desa ada warga yang memelihara sapi sehingga pada beberapa daerah terpaksa harus didatangkan, ujarnya.
Oleh sebab itu ia menyarankan bagi donatur yang hendak berkurban ke Mentawai akan lebih efektif membeli di lokasi ketimbang mengirim dari Padang.
Ia menyebutkan pada tahun ini pihaknya menyalurkan sekitar 20 ekor sapi di Siberut yang berasal dari berbagai donatur mulai dari Dompet Dhuafa Singgalang, Lembaga Amil Zakat Mitra Umat, dan lainnya.
Biasanya sapi didistribusikan di desa-desa yang ada warga Muslim. Menariknya di Mentawai daging kurban tidak hanya dibagikan kepada umat Islam, non Muslim yang ada di lokasi juga kebagian.
"Semuanya dapat, Muslim, non-Muslim, pemuka masyarakat hingga perangkat desa," ujarnya.
Ia mengatakan ini merupakan bukti Islam adalah rahmat untuk semua karena pembagian hewan kurban merupakan salah satu sarana mempererat hubungan diantara pemeluk agama yang berbeda.
Fortito mengakui penyaluran hewan kurban di Siberut masih kurang karena masih banyak desa yang belum mendapat bagian.
Jangkau Pelosok
Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Mitra Ummat Madani pada tahun ini mendistribusikan 23 ekor sapi dan satu ekor kambing ke daerah-daerah pelosok di Sumbar yang belum tersentuh hewan kurban.
"Ada tiga kriteria lokasi yang kami pilih untuk menyalurkan yaitu masjid atau mushala yang belum ada hewan kurban, surau-surau yang kurbannya masih kurang dan kantong-kantong mualaf terutama di Mentawai," kata Direktur Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Mitra Ummat Madani Elfiyon Tanjung.
Pada tahun ini kurban disalurkan ke Kabupatan Padangpariaman, Pasaman, Mentawai, Solok Selatan dan Padang.
Menurut dia pihaknya masih menemukan ada daerah yang masjid atau mushala tak memiliki hewan kurban sama sekali karena kondisi masyarakat yang tidak mampu sehingga warga hanya berharap kiriman hewan kurban dari luar.
Ini ada dijumpai di Kabupaten Padangpariaman tepatnya Kecamatan V Koto Timur, bahkan ada satu lokasi di Padang yang hewan kurbannya masih kurang yaitu di Lolo Gunuang Sariak, ujar dia.
Sementara untuk Mentawai pihaknya menyalurkan empat ekor sapi yang disalurkan ke Sikakap, Munte dan Saliguna.
"Kami memilih pakai panitia lokal dengan memanfatkan jaringan dai setempat karena kalau didatangkan dari Padang lebih mahal," lanjut dia.
Untuk mengatasi kendala tersebut pihak penyelenggara bahkan membeli sapi kurban dari warga non muslim di Mentawai karena jika didatangkan dari Padang biaya mahal, katanya.
Masyarakat setempat ada yang memelihara sapi dan menjualnya untuk kebutuhan kurban.
Pada sisi lain ia menemukan ada kompleks perumahan di perkotaan yang hewan kurbannya berlebih sementara masyarakat sekitar kondisinya mampu.
"Ini tidak lepas dari pemahaman bahwa jika berkurban harus melihat darah dan hewannya langsung sehingga kurban menumpuk di perkotaan," kata dia.
Ia berharap pengurus masjid juga harus mengedukasi jamaah bahwa saat berkurban tidak selalu harus melihat darah hewan kurban dan masih banyak daerah-daerah di pelosok yang belum tersentuh kurban.
Hakikat kurban adalah berbagi dan jika masyarakat kesulitan mengirim ke daerah yang belum terjangkau ada banyak lembaga yang bisa membantu, ujarnya.
Menyiasati kondisi ini Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Mitra Ummat Madani menggagas program tabungan kurban yang dapat diangsur selama setahun sebelum Idul Adha.
Dengan demikian masyarakat bisa mencicil dan sejak jauh hari bisa ditinjau lokasi yang paling membutuhkan untuk didistribusikan, kata dia. (*)