Padang, (Antara Sumbar) - Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP) Dr. Abna Hidayati berpendapat komunikasi aktif para orang tua membuat stabilnya emosi anak sehingga memberi dampak positif dalam pertumbuhan dan perkembangan dirinya.
"Sangat penting bagi kita orang tua meluang waktu untuk memberi perhatian dan membangun komunikasi dengan anak-anak, termasuk sang ayah. Penerapannya mesti secara konsisten supaya emosi anak stabil," kata Dosen Ilmu Pendidikan UNP di Padang, Rabu.
Menurutnya sentuhan antara ayah dan ibu beda, karena ayah tegas dan biasanya main dengan logika, sehingga ketika anak diantarkan bapaknya ke sekolah, maka anak itu akan merasa diperhatikan dengan baik oleh kedua orangtuanya.
Selain itu, emosi anak akan stabil dengan kehadiran sang ayah tersebut, dikarenakan otak kiri dan kanan sama sama seimbang. Logika ayah lebih main di otak kiri dan perasaan ibu di otak kanan.
"Jadi, kita harus punya keduanya, apalagi anak-anak yang baru tumbuh, otak kiri dan kanan harus seimbang," katanya.
Dampak positif lainnya, kedekatan anak dengan ayahnya dan bisa meluangkan waktu untuk memperhatikan pendidikan, tentu berpengaruh kepada karakter, setidaknya anak bisa malihat ayah bertanggung jawab.
"Tindakan ayah yang mampu meluang waktu mendampingi anaknya ke sekolah di hari pertama tersebut, secara tidak langsung akan menjadi contoh bagi anaknya dalam hal tanggung jawab," katanya.
Ia menilai, langkah orang tua laki-laki yang mau mengantarkan anak di hari pertama sekolah dan menjemput rapor akan membuat percaya diri anak tumbuh secara baik.
Jadi, peran sang ayah ketika mengantarkan anak ke sekolah, dan apalagi ikut terlibat langsung memperhatikan pendidikan anak sejak di lingkungan keluarga, sangat menentukan perkembangan buah hatinya.
Menurutnya penguatan keluarga hal utama dalam mendorong perkembangan pendidikan anak di tengah beragam tantangan saat ini. Bahkan, akan lebih bagus lagi, bila terjadi kolaborasi antara orang tua murid dengan guru dalam penyamaan persepsi tentang pola pembelajaran.
Sebab, dalam realitanya ada kecenderungan anak lebih menjalankan dan mendengarkan apa arahan guru di sekolah ketimbang orang tua, misalnya dalam membuat pekerjaan rumah pandangan orang tua beda dari yang diarahkan guru.
Kondisi demikian terjadi, ia menilai bisa saja anak belum menjadikan orang tua sebagai contoh di lingkungan keluarga, dan mungkin berbeda dengan guru di sekolah.
"Bisa juga anak merasa kurang perhatian keluarga, dan waktu anak-anak lebih lama di sekolah," ujarnya.
Karenanya, untuk menghindari kebingungan terhadap anak didik, maka pilihan-pilihan untuk penyamaan persepsi itu bisa jalan keluar, misalnya adanya pencerahan secara bersamaan antara guru dan orang tua, apakah dalam satu forum diskusi atau bisa lokakarya yang difasilitasi pihak sekolah atau komite.
Bentuk lain, menurutnya para orang tua bisa membentuk wadah secara mandiri, apalagi sekarang sudah ada ilmu parenting yang sudah dikembangkan komunitas-komunitas tertentu, semisal asosiasi orang tua murid, ibu menyusui dan asosiasi lain dalam mendukung pendidikan anak.
Menurutnya adanya pertemuan orang tua murid di awal semester, sebenarnya bisa jadi solusi, sehingga ada kesepakatan antara sekolah dan orang tua mengenai pola pembelajaran.
Sebab, ketidaksamaan pemahaman dalam pola pembelajaran yang diterapkan dapat berdampak terhadap anak yang menjadi bingung, apalagi anak usia perkembangan awal.
Abna menyebutkan dalam teori Piaget, bahwa anak usia awal yakni 2 sampai 12 tahun, mereka harus diajarkan dengan sesuatu yang konkret dan cara mengajarkannya konsisten dengan contoh.
Justru itu, anak seusia itu harus banyak media pembelajaran dan supaya konkret dalam pelaksanaannya, maka guru dan orang tua harus punya ide atau persepsi yang sama.
"Sesuai teori Piaget itu, jika anak bingung dan terganggu psikologisnya sehingga akhirnya tidak mengikuti siapa siapa. Di sisi karakter anak menjadi pasif dan tidak mau beraktivitas karena takut salah," kata Doktor dengan Disertasi membahas tentang pendidikan karakter itu. (*)