Padang, (Antara Sumbar) - Berawal dari keprihatinan atas rendahnya pendidikan masyarakat dan adanya anak-anak putus sekolah di perkampungan nelayan Kampung Batu, Kelurahan Batang Harau, Kecamatan Padang Selatan, Sumatera Barat membuat Ghan Se Pioe (78) menggagas terbentuknya kampung literasi.
Warga keturunan Cina yang akrab di sapa Pak Gani itu memahami betul membaca memiliki banyak manfaat yaitu menambah ilmu pengetahuan, menguasai informasi juga dapat meningkatkan kreativitas.
Kini di Kampung Batu berdiri sebuah pustaka, dinamai Pustaka Rumah Gadang yang merupakan gerbang ilmu bagi masyarakat di daerah itu untuk mendapatkan buku yang ingin dibaca.
Selain itu, Pustaka Rumah Gadang juga berfungsi sebagai sarana belajar, terutama anak putus sekolah, meskipun tidak mengenyam pendidikan di kursi sekolah formal, mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Berdirinya Kampung Literasi, tidak terlepas dari peranan masyarakat sekitar yang menjadi inisiator untuk menjadikan daerah itu sebagai Kampung Literasi.
Ia menekankan meskipun berpendidikan rendah, bukan alasan untuk tidak memiliki pengetahuan yang luas.
Gani hanya menamatkan pendidikan sampai bangku kelas lima sekolah dasar, meskipun tidak pernah merasakan duduk di perguruan tinggi, tetapi semangatnya untuk berjuang dalam dunia literasi begitu tinggi.
"Saya hanya berpendidikan hingga S5, kelas 1,2,3,4, dan kelas 5 SD," ujarnya sembari tertawa.
Tetapi hal itu, tidak menjadi penghalang, untuk terus berkarya dan memajukan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Ia mengatakan tidak ingin masyarakat terutama anak-anak yang ada di sana, miskin akan ilmu pengetahuan, biarpun miskin harta, dengan adanya ilmu akan berasa kaya juga.
Menurutnya pustaka diberi nama Pustaka Rumah Gadang sesuai dengan salah satu fungsi rumah gadang itu sendiri sebagai tempat berkumpul untuk bermusyawarah dan mufakat dalam mengambil suatu keputusan.
"Pendirian Pustaka Rumah Gadang ini berdasarkan swadaya masyarakat," ujarnya.
Koleksi buku yang terdapat di pustaka Rumah Gadang itu berjumlah 400 buku, berasal dari sumbangan masyarakat Kota padang dan donatur.
Dia memberikan kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat daerah itu maupun dari luar, yang mempunyai keinginan untuk menyumbangkan buku, dapat memberikan buku tersebut ke Kampung Literasi itu.
Buku yang disumbangkan dapat berupa buku pelajaran maupun buku cerita anak-anak.
Semakin banyak yang memberikan bantuan, maka akan semakin menambah koleksi buku di kampung ini, sehingga semakin banyak yang bisa dipelajari, tuturnya.
Gani berharap dengan adanya Kampung Literasi dapat menambah minat masyarakat setempat untuk membaca dapat menjadi lebih tinggi.
Minat Baca
Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumbar Alwis menilai rendahnya minat baca masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya yakni tidak memiliki akses terhadap buku.
Kemudahan akses merupakan salah satu hal yang dapat meningkatkan minat baca, sehingga peran pemerintah diperlukan dalam upaya mendorong dan memberikan dukungan.
Hal ini yang coba difasilitasi melalui Kampung Literasi yaitu dengan memberikan lima buah buku kepada setiap rumah tangga, khususnya di Kelurahan Batang Arau.
"Setiap orang akan diberi pinjaman lima buku selama satu bulan, kemudian buku tersebut diambil dan dipinjamkan kembali kepada tetangga mereka secara bergantian," katanya.
Sementara, Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah saat meresmikan peluncuran kampung literasi pada 18 Mei 2017 mengimbau masyarakat menyumbangkan buku, pemikiran, pengalaman dan pengetahuan dalam rangka memajukan Batang Arau tersebut sebagai Kampung Literasi.
"Semoga ke depan dapat lahir relawan-relawan baru yang dapat bergerak, memajukan masyarakat," katanya.
Ia mengapresiasi kehadiran Kampung Literasi di Padang karena dapat menjadi percontohan bagi kampung lainnya, agar lebih inovatif dan kreatif dalam memajukan daerah.
Sebelumnya, Sastrawan Taufik Ismail menyampaikan keresahannya mengamati fenomena rendahnya minat baca di kalangan pelajar pada suatu seminar yang dilaksanakan di kota Padang, Sumatera Barat.
Ia mengungkapkan budaya baca pelajar dan generasi muda Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga di kawasan Asia apalagi negara maju seperti Eropa dan Amerika.
Berdasarkan perbandingan yang pernah dilakukan, rata-rata pelajar sekolah menengah atas di Singapura dan Thailand membaca 5-7 buku dalam tiga tahun, di negara Eropa dan Amerika hingga 32 buku, namun di Indonesia nol buku dalam tiga tahun, ujar dia.
Taufik mengatakan jika tidak ada satu pun buku yang diwajibkan dibaca dalam tiga tahun wajar kemampuan menulis juga menjadi lemah.
Ia menceritakan di zaman Hindia Belanda, pelajar setingkat sekolah menengah atas di Indonesia diwajibkan membaca 25 buku dalam tiga tahun. Hasilnya lahir para tokoh pejuang dan pemimpin yang handal dan juga mahir dalam menulis.
Tetapi, ironisnya setelah Indonesia merdeka, kebijakan itu dihapus karena pemerintah lebih fokus membangun infrastruktur sehingga perhatian terhadap pelajaran bahasa dan sastra menjadi terabaikan.
Bahkan yang memprihatinkan menurutnya terbentuk pandangan bahwa yang hebat itu adalah pelajaran eksata. Sementara bahasa, sastra dan menulis jadi kurang dipandang. Akibatnya sering dijumpai murid yang pintar matematika, fisika dan lainnya , namun tidak bisa membuat karangan atau tulisan, lanjut dia.
Di tengah gempuran era gawai yang membuat orang kian malas untuk membaca buku, upaya yang digagas masyarakat di Kampung Batu layak didukung karena membaca adalah jendela pembuka pintu dunia yang akan melahirkan generasi melek informasi dan berwawasan luas menuju kebangkitan Indonesia. (*)