Menanti Beroperasinya PLTP Pertama di Sumbar

id Panas Bumi, Supreme Energy, Solok Selatan

Menanti Beroperasinya PLTP Pertama di Sumbar

(FOTO ANTARA/Iggoy el Fitra)

Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, menyimpan potensi sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan listrik di Sumatera.

Kabupaten yang berada di bagian timur Sumatera Barat itu, memiliki puluhan sungai besar dan kecil yang arusnya kini dimanfaatkan untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro, Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro bahkan bisa pada skala Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Lokasi Solok Selatan yang berada di kaki Gunung Api aktif Kerinci, juga dianugerahi potensi panas bumi (geothermal) yang bisa digunakan untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi.

Adalah Supreme Energy. Perusahaan yang dipimpin oleh Supramu Santosa telah melakukan survei lapangan awal potensi panas bumi di Solok Selatan pada 2008.

Setelah bersaing dengan PT Indonesia Power, PT Supreme Energy berhasil memenangkan tender perebutan wilayah kerja panas bumi (WKP) dan proyek pembangunan pembangkit berkapasitas 2x110 megawatt (MW) di Liki Pinangawan Muara Laboh, Kabupaten Solok Selatan.

Kini, PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML), anak perusahaan PT Supreme Energy, dalam tahap eksploitasi serta mulai melakukan pembangunan konstruksi, seperti pembangkit dan pipanisasi, dengan target produksi listrik pada 2019.

Untuk tahap awal, menurut Senior Manager Bisnis Relations PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML) Ismoyo Argo perusahaan tersebut menargetkan mampu memproduksi listrik sebesar 86 Mega Watt (MW).

"COD (commercial operation date) kami targetkan Agustus 2019. Namun tidak seluruhnya kami jual ke PLN, sebesar 6 MW kami gunakan sendiri," ujarnya.

Listrik yang dihasilkan oleh SEML akan dijual ke PT PLN , yang merupakan pembeli tunggal listrik di Indonesia. Listrik tersebut akan dialirkan ke jaringan transmisi Sumatera.

Listrik produksi SEML berkontribusi dalam pencapaian target 7.000 MW energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah hingga 2025.

"Untuk di Sumbar, kontribusi listrik SEML pada 2019 sebesar 10,58 persen dengan beban puncak 756 MW," ujarnya.

Dalam upaya pencapaian target 86 MW tersebut, imbuhnya, pihaknya akan melakukan pengeboran 13 sumur lagi yang terdiri atas delapan sumur produksi, tiga sumur injeksi serta dua cadangan.

Setelah tahap pertama selesai, sebutnya PT SEML akan melanjutkan ke tahap kedua untuk mencapai target 2x110 MW.

Potensi yang dilirik ke arah selatan, yakni Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan "lampu hijau" pemanfaatan panas bumi atau geothermal untuk energi baru terbarukan (EBT) di kawasan konservasi sebagai bentuk dukungan terhadap ketahanan dan kedaulatan energi serta penurunan target emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Regulasi untuk pemanfaatan geothermal di kawasan konservasi, yakni Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Lalu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.46/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2016 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi pada Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Ismoyo menyebutkan, potensi listrik yang berada di bagian selatan mencapai 140 MW.

Chief Development Geologist PT SEML Herwin Azis menambahkan pihaknya telah melakukan studi di bagian selatan pada jarak 12 kilometer persegi, yang sebagian masuk di kawasan TNKS.

Di Gunung Patah Sembilan, yang diduga bekas gunung api, potensi panas bumi untuk PLTP cukup besar dengan suhu uap mencapai 311 derajat celcius.

Namun, imbuhnya, topografi Gunung Patah Sembilan berbukit serta masih berupa hutan asli. "Ini mungkin akan menjadi salah satu kendalanya," ujarnya.

Ramah Lingkungan

Ismoyo menyebutkan selain bersih karena bebas emisi, operasional PLTP tidak bermasalah bagi lingkungan.

Dalam pengoperasionalan PLTP, sebutnya yang diambil dari dalam bumi adalah uap panas yang akan disalurkan melalui pipa. Uap panas tersebut yang akan menggerakan turbin untuk memproduksi listrik.

Sementara air yang dihasilkan uap panas tersebut, imbuhnya akan dikembalikan ke bumi.

"Ini yang disebut energi terbarukan, tidak seperti energi dari fosil yang bisa habis," ujarnya.

Pengeboran panas bumi, menurutnya tidak rentan menimbulkan bencana alam, seperti pengeboran minyak bumi dan gas di Sidoarjo, Jawa Timur.

Karena, imbuhnya, jenis sedimen pada lokasi pengeboran panas bumi merupakan bebatuan, sementara untuk gas dan minyak bumi berupa lempung dan pasir.

Yang menjadi ketakutan, katanya jika terjadi longsor akibat gempa bumi yang bisa mengakibatkan pipa penyaluran uap panas patah atau terjepit.

"Kami juga telah mengantisipasi adanya kebocoran uap panas," ujarnya.

Solok Selatan dilintasi sesar Sumatera pada Segmen Suliti. Segmen ini terbentang dari Liki, Solok Selatan, hingga Alahan Panjang, Kabupaten Solok.

Kendati panas bumi merupakan energi bersih dan ramah lingkungan, namun memerlukan biaya yang besar dan waktu yang cukup lama untuk sampai pada tahap produksi.

Direktur Utama PT Supreme Energy, Supramu Santosa menyebutkan sejak 2008 hingga kini, pihaknya telah menggelontorkan lebih Rp2 tiliun dengan perkiraan total investasi mencapai Rp7,5 triliun.

"Untuk eksplorasi, kami menggunakan duit sendiri karena bank tidak ada yang percaya. Sementara pada tahap eksploitasi, kami mendapatkan pinjaman dari sejumlah bank luar negeri," ujarnya.

Menurut pria kelahiran Bojonegoro pada 21 Mei 1948 ini, ada dua langkah yang mesti ditempuh pemerintah agar investor bersedia berinvestasi di bidang geothermal atau panas bumi di Indonesia.

Yang pertama, sebutnya pemerintah harus menaikkan harga jual listrik.

Ia mengatakan nilai investasi proyek geothermal yang besar, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai pada tahap produksi dan memiliki risiko gagal yang tinggi, mencapai 50 persen.

Yang kedua, imbunya pemerintah yang melakukan eksplorasi, sementara swasta masuk pada tahap eksploitasi.

"Jika pola ini diterapkan, bisa saja nilai jual listrik lebih murah," ujarnya.

Namun dengan kondisi keuangan negara saat ini hal tersebut mustahil eksplorasi panas bumi akan bisa dilakukan pemerintah.

"Pasti pemerintah akan mempertimbangkan, untuk kebutuhan lain, seperti membangun infrastruktur atau eksplorasi panas bumi," ujarnya.

Namun jika swasta yang melakukan eksplorasi harus diimbangi dengan harga listrik yang layak.

Selain berkontribusi dalam mencapai target nasional tahap kedua 35.000 MW, keberadaan PLTP di Solok Selatan akan memberikan tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi kabupaten yang berjarak sekitar 135 Kilometer dari ibukota Sumbar, Padang.

Pendapatan bagi daerah itu berupa royalti sebesar Rp821 juta setiap bulan dan bonus produksi Rp503 juta per bulan dengan total satu bulan Rp1,3 miliar, sedangkan dalam setahun R16 miliar.

"Royalti dan bonus produksi ini telah diatur oleh pemerintah. Itu belum termasuk pendapatan iuran tahunan, pajak dan retribusi," ujar Senior Manager Bisnis Relations PT SEML Ismoyo Argo.

Asisten III Setdakab Solok Selatan Yul Amri mengatakan Solok Selatan sangat terbuka dengan investasi dan PLTP merupakan yang terbesar nilai investasinya.

"Kemajuan daerah tidak terlepas dari investasi karena dengan banyaknya investasi akan menumbuhkan perekonomian masyarakat," katanya.

Ia mengharapkan dengan sudah beroperasinya PLTP nantinya bisa mengatasi krisis listrik di kabupaten itu yang sudah terjadi cukup lama.

"Saat ini masih sering terjadi listrik padam, bahkan hingga tiga kali sehari. Semoga kehadiran Supreme mampu mengatasi permasalahan ini," ujarnya. (*)