Rumah Gadang "Bangkit dari Kubur"

id Rumah Gadang "Bangkit dari Kubur"

Harum surian dari hutan, masih baru. Di dinding itu, terdapat ukiran-ukiran masa lampau yang didatangkan kembali ke masa ini.

Rumah Gadang, di halamannya, masih terasa bau kayu terbakar dan sisa-sisa musibah tahun lalu.

Di kampung itu, banyak Rumah Gadang, rumah adat tradisional Minangkabau diruntuhkan pemiliknya karena sudah rusak dan tidak terawat. Untuk memugarnya kembali, membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Sejauh mata memandang, masih terlihat sejumlah Rumah Gadang yang usianya dapat mencapai seratus tahun lebih. Masih berdiri meskipun lebih banyak yang ditinggalkan dengan kondisi memprihatinkan; atapnya mulai hancur, berlumut dan ditumbuhi semak belukar.

Dahulunya, ada sekitar 200-an rumah gadang yang dibangun sejak abad 16-17, namun kini hanya bersisa sekitar 64 rumah. Lima rumah gadang, berusia di atas 100 tahun baru saja terbakar pada Mei 2013 akibat arus pendek listrik.

Peristiwa kebakaran tersebut seolah membakar masa lalu. Karena itu, warga kini trauma dengan suluh atau obor, sebab sedikit saja dapat menyulut api yang besar di perkampungan mereka.

Rumah Gadang merupakan salah satu pengikat kaum adat masyarakat Minangkabau, namun perkembangan zaman menyebabkan bangunan warisan budaya ini sudah banyak ditinggalkan.

Salah satu penyebab banyaknya Rumah Gadang ditinggalkan penghuninya karena warga setempat kini cenderung ingin memiliki rumah sendiri berbahan beton yang terpisah dari rumah kaumnya.

Rumah gadang yang masih digunakan, lebih banyak hanya dihuni orang suruhan pemilik rumah. Sisanya ditinggalkan, atau rusak dimakan rayap dan kera.

Tapi sekarang, satu di antaranya seolah bangkit dari kubur dan tegak kembali. Rumah Gadang "maimbau pulang", memanggil-manggil orang rantau untuk datang.

Pada Minggu (28/9), dilakukan prosesi menaiki Rumah Gadang. Meskipun belum selesai, Rumah Gadang milik keluarga Etek Nuraini itu sudah bisa digunakan.

"Pembangunannya sudah 80 persen tapi sudah bisa digunakan, tinggal pemasangan plafon, dinding belakang dan ukiran," kata Ketua Pusat Studi Konservasi Arsitektur Universitas Bung Hatta (Pusaka-UBH) Padang, Eko Alvarez, di Tanah Datar beberapa waktu lalu.

Rumah Gadang yang selesai dibangun tersebut, kata Eko, merupakan satu dari lima rumah yang masuk dalam program konservasi dimotori oleh (Pusaka-UBH) dan didukung oleh Tirto Utomo Foundation, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, serta masyarakat setempat.

Ia mengatakan, kegiatan yang dilakukan secara partisipatif ini dilakukan di tengah upaya untuk mewujudkan Sumpur sebagai kawasan Pusaka, pasca terjadi kebakaran pada tanggal 26 Mei 2013 lalu yang menghanguskan 5 rumah gadang dari 68 rumah yang telah didata.

Kerugian akibat kebakaran ini tentunya tidak bernilai harganya mengingat rumah-rumah tersebut berusia di atas 100 tahun.

Eko menjelaskan, hanya berselang lima bulan, perkembangan pembangunan Rumah Gadang itu berlangsung dengan sangat cepat.

"Tradisi yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau ini merupakan tahap lanjut setelah memasang tonggak tua dan menaikkan kerangka rumah," katanya.

Wakil Ketua Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Catrini Pratihari menyambut gembira prosesi adat Naik Rumah Gadang yang dilakukan tersebut.

"Kami berharap Sumpur melalui Kabupaten Tanah Datar dapat berperan aktif dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka Indonesia," katanya.

Hal itu dilakukan, menurutnya, agar beragam Pusaka yang dimiliki baik Pusaka Alam, Pusaka Budaya maupun Pusaka Saujana dapat terjaga dengan baik.

"Sehingga bila hal ini dapat terjaga dengan baik, efek positif atau bonus kedatangan wisatawan lokal maupun mancanegara bukan merupakan hal yang sulit," katanya.

Pertama Kali Setelah 100 Tahun

Konservasi rumah adat tradisional Minangkabau atau Rumah Gadang di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, pertama kali dilakukan setelah 100 tahun.

"Sudah sampai 100 tahun tidak ada lagi proses membangun kembali rumah gadang di nagari Sumpur," kata Eko Alvarez.

Kini merupakan langkah awal karena proses konservasi baru saja dilakukan dan masih ada memiliki empat rumah gadang lainnya yang musnah akibat terbakar.

Ia menyatakan, semangat partisipatif dikedepankan dengan melibatkan masyarakat setempat dan mahasiswa dengan ditopang oleh riset yang mendalam terhadap Rumah Gadang di masa lampau sebagai bahan referensi.

Komunikasi yang baik dengan semua pemangku kepentingan menjadi hal yang kami utamakan agar prosesnya sejalan dengan adat istiadat setempat, katanya.

Pemangku Adat Nagari Sumpur, Amar Dt Basa Nan Tinggi, membenarkan, bahwa pembangunan kembali Rumah Gadang sudah tidak dilakukan selama 100 tahun lebih.

Prosesi sejak awal yang dilakukan secara bersama-sama, menurutnya, merupakan tradisi warga Sumpur dan Minangkabau pada umumnya.

"Karena dengan dibangunnya kembali Rumah Gadang secara partisipatif masyarakat, maka akan dijaga juga oleh masyarakat," katanya.

Sebab selama ini, katanya, Rumah Gadang banyak ditinggalkan oleh pemiliknya yang pergi merantau maupun membangun kembali rumah berbahan beton.

Karena itu, dibutuhkan upaya bersama bagaimana Rumah Gadang bisa bisa dilestarikan.

Ninik-mamak serta pemangku adat harus bisa memastikan RUmah Gadang itu bisa terjaga dengan baik, tegasnya.

Seorang warga yang menempati Rumah Gadang keluarganya di Nagari Sumpur, Fauzi (35), mengaku kini Rumah Gadang yang semula ditempatinya sudah tidak terawat lagi.

"Karena biaya untuk renovasi rumah itu besar, tidak sama dengan biaya renovasi rumah berbahan beton," katanya.

Akhirnya, rumah tersebut dipakai apa adanya meskipun kondisi sebagian lantai dan kamarnya rusak berat karena keropos.

Rumah Gadang, disamping sebagai tempat tinggal, juga digunakan sebagai tempat musyawarah keluarga, tempat mengadakan upacara-upacara, pewarisan nilai-nilai adat, dan reprsentasi budaya matrilineal.

Sebagai tempat tinggal, Rumah Gadang memiliki tata aturan yang unik, dimana perempuan yang telah bersuami mendapat jatah satu kamar dan perempuan yang paling muda mendapat kamar yang paling ujung dan akan pindah ke tengah jika ada perempuan lain atau adiknya yang bersuami.

Sedangkan perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur dan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan untuk laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau (tempat ibadah suku) milik kaumnya masing-masing.

Rumah Gadang juga merupakan tempat bermusyawarah untuk mencari kata mufakat antar anggota keluarga dan tempat untuk membicarakan semua masalah serta dicarikan jalan keluarnya.

Dengan pembagian ruangan itu, maka keselarasan dan keharmonisan antar anggota keluarga dibangun.

Suluh memang tidak akan pudur di Nagari Sumpur. Ia masih akan menyala seterang semangat anak nagari menggalakkan silat dan sekeras tepukan randai pada celana galembong. (*)