Simuntu, Tari Tradisional yang Mulai Tergerus Zaman

id Simuntu, Tari Tradisional yang Mulai Tergerus Zaman

Simuntu, Tari Tradisional yang Mulai Tergerus Zaman

Tari Simuntu

Tari Simuntu, begitu masyarakat Kabupaten Pasaman, Sumater Barat menyebutnya, tari tradisional yang terinspirasi dari perjuangan masyarakat dalam mengumpulkan bantuan, hingga menyusup ke pertahanan musuh saat perang Padri tahun 1803 hingga 1838 di Minangkabau. Tari Simuntu, yang terinspirasi dari perjuangan rakyat saat peperangan tersebut, digambarkan dengan seorang yang bertopeng, dimana seluruh tubuhnya diselimuti dengan jerami, dengan mambawa senjata berbentuk senapan yang terbuat dari pelepah pisang, dan disandang di bahu mereka. Makna dari tari itu sendiri, adalah bagaimana masyarakat di zaman itu, melakukan penyusupan dengan menyamar di hutan seperti pepohonan, hingga meminta bantuan dari warga sekitar tempat yang mereka lewati, tanpa diketahui oleh musuh (penjajah), dan identitas mereka juga terjaga karena adanya kamuflase yang dilakukan dengan memanfaatkan tanaman yang ada. Saat ini tari tersebut tidak lagi banyak diketahui oleh generasi muda, dimana salah satu kelompok yang terus melestarikannya, adalah Tikam Tuo Equator, Bonjol, Pasaman, namun anggotanya sekarang hanyalah mereka yang telah berusia di atas 30 atau 40 tahun ke atas. Karena usia para penari tersebut yang sudah mulai memasuki usia tua, dikhawatirkan, lambat laun, salah satu tari asli Minangkabau ini akan hilang, seiring perkembangan zaman dan era globalisasi, dimana kesenian, terutama tari semacam ini tidak lagi menjadi sorotan dan minat dari generasi muda yang seharusnya dapat terus melestarikan kekayaan daerah tersebut. Inisiator Kelompok Tikan Tuo Equator Bonjol, Fahrudin Siregar, menyatakan, para penari ini terdiri dari ibu-ibu, dengan tarian seperti tengah berperang, dimana di Pasaman, hanya tinggal kelompok ini yang masih melestarikannya. "Kita latihan setiap Sabtu malam, namun memang yang berlatih hanya ibu-ibu, sebab itu kita sebenarnya juga berharap ada generasi muda yang mau dan melirik kesenian tradisional ini, agar dapat bertahan, meski zaman terus berubah," kata Fahrudin. Ia menambahkan, untuk tetap melestarikannya, kita sebenarnya terus membuka diri, jika ada yang mau dan melirik tarian ini, namun karena mulai tidak populernya tarian ini di tengah masyarakat, makanya sekarang kelompok yang ada ini melakukannya dengan mengikuti pertunjukan-pertunjukan, baik yang diadakan oleh pemerintah daerah, ataupun provinsi. Fahrudin menjelaskan, tari ini memiliki unsur sejarah, sebab itu patut untuk tetap dilestarikan, selain itu, kita juga berharap tarian ini juga dapat lebih dikenal di nusantara, terutama bagi para perantau, agar selalu ingat dengan kampung halam mereka. ***