Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menandatangani Inpres mengenai perpanjangan moratorium izin kehutanan. Inpres No.6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan alam Primer dan Lahan Gambut tersebut berlaku selama dua tahun sampai dengan 2015.
Perpanjangan Inpres moratorium tersebut merupakan bukti nyata komitmen Presiden agar sektor kehutanan bisa dikelola lebih baik, dengan menjaga hutan alam, lahan gambut, termasuk hutan mangrove yang masih baik.
Dalam Konferensi Kehutanan Indonesia yang diselenggarakan oleh CIFOR pada 27 September 2011 di Jakarta, Presiden mengemukakan, "Saya akan terus bekerja dan membaktikan masa tiga tahun terakhir saya sebagai Presiden untuk mencapai pengelolaan hutan dan lingkungan Indonesia yang berkelanjutan."
Pada Inpres moratorium pertama yaitu Inpres No.10 tahun 2010, Presiden menginstuksikan kepada Menteri Kehutanan, Mendagri, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala UKP4, Kepala BPN, Kepala badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepala Bakosurtanal, Kepala Satgas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD, para gubernur dan para bupati/wali kota.
Dalam Inpres tersebut ada tiga hal utama yang harus dikerjakan yaitu perbaikan tata kelola hutan dan gambut, peninjauan izin, serta adanya satu peta kehutanan.
Dari tiga tugas tersebut, hanya ada satu tugas yang telah dilaksanakan yaitu diterbitkannya peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB), bahkan berhasil melakukan revisi peta sebanyak tiga kali dengan mengakomodasi masukan dari masyarakat.
Dari lima tugas dalam Inpres yang dibebankan kepada Menteri Kehutanan, dua tugas belum dikerjakan secara signifikan.
Dua tugas tersebut yaitu menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam, dan meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem.
Padahal dua hal tersebut menjadi fokus utama dari Inpres dan sangat diharapkan pencapaiannya oleh berbagai pihak, terutama oleh LSM. Maka menjadi sangat wajar, kalangan sipil yang berkeinginan kuat agar moratorium dilanjutkan karena belum tercapainya hal-hal utama tersebut.
<b>Deforestasi dan Emisi Turun</b>
Meski dua tugas tersebut belum terlaksana, ada beberapa hal positif tercapai selama masa dua tahun moratorium hutan, seperti misalnya turunnya emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.
Menteri Kehutanan mengklaim laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia berhasil ditekan secara signifikan sekaligus kawasan konservasi hutan dapat dijaga.
"Jika kita lihat dari tahun 1996-2003, laju deforestasi mencapai 3,5 juta hektar per tahun, namun saat ini menjadi 450 hektare saja. Ini artinya, deforestasi tinggal 15 persen," katanya dalam seminar tentang moratorium hutan yang diselenggarakan oleh Yayasan Perspektif Baru di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menhut mengatakan moratorium hutan menjadi implementasi strategi REDD. Capaian penyerapan emisi GRK khusus dari sektor kehutanan dan lahan gambut hingga akhir tahun 2012 mencapai 489.000 juta ton CO2e atau setara dengan 16,57 persen dari target 26 persen di tahun 2020 nanti.
Dia mengatakan kekhawatiran akan terhambatnya investasi di sektor kehutanan tidak terjadi dan pertumbuhan ekonomi kita justru meningkat sebesar 6,3 persen pada 2012. Investasi sektor kehutanan tetap dapat dilakukan di lahan-lahan kritis.
Menhut mengatakan pihaknya bersama kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah harus memperbaiki tata kelola kehutanan, termasuk untuk proses perizinan dengan layanan online, pengaduan masyarakat, konflik tenurial, penyusunan anggaran , pelaksanaan dan pengawasannya.
<b>Penolakan Gapki</b>
Dalam seminar tersebut, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa perkebunan sawit mendukung pembangunan berkelanjutan dengan emisi GRK yang lebih rendah dibanding lahan yang ditanami padi pada lahan gambut, maupun emisi hutan gambut sekunder dan primer.
Tungkot Sipayung Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gapki mengatakan carbon stock pada lapisan atas lahan gambut yang ditanami kelapa sawit makin mendekati carbon stock hutan gambut primer dan di atas carbon stock hutan gambut sekunder setelah umur makin dewasa.
Dan pembangunan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang telah rusak (gambut sekunder) menurunkan emisi GHG lahan gambut.
Sedangkan dalam position paper mereka, Gapki menyatakan mendukung hutan lindung dan hutan konservasi dijaga kelestariannya, mendukung penegakan hukum terhadap pelanggar peraturan dan mendukung penyusunan satu peta untuk pedoman bersama.
Akan tetapi meski menyatakan berbagai hal positif, dalam berbagai kesempatan, Gapki menolak perpanjangan masa moratorium hutan tanpa menjelaskan lebih lanjut alasannya secara logis.
<b>Menjaga Hutan</b>
Tujuan utama Inpres moratorium hutan adalah menjaga luasan hutan di Indonesia, bahkan kalau bisa menambah luasannya.
Dan menjadi kekhawatiran umum, bahwa ketika selesai masa berlaku Inpres No.10/2011 tentang moratorium hutan pada 20 Mei 2013, maka pemegang kuasa mengeluarkan izin-izin pemanfaatan hutan yang selama dua tahun tidak diperbolehkan diterbitkan.
Izin-izin yang terbit pasca berakhirnya Inpres No.10/2010 tersebut sangat dikhawatirkan akan menambah deforestasi hutan yang telah berhasil dijaga selama ini. Oleh karena itu, menjadi sangat wajar bila moratorium dilanjutkan agar tata kelola kehutanan dan perizinan bisa diperbaiki.
Selain itu, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten agar turut menjaga hutan sesuai dengan komitmen pemerintah pusat.
Artinya, dengan perpanjangan ini semua pejabat negara diinstruksikan untuk menjaga keberadaan alam hutan yang tersisa, sehingga tidak boleh ada perizinan untuk hutan alam baik oleh menteri maupun pejabat daerah termasuk untuk tata ruang.
Seperti yang diusulkan oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), mereka bakal untuk mengurangi kawasan hutan konservasi dan lindung di Aceh.
Berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Pemprov Aceh memang diberikan wewenang penuh untuk mengatur seluruh hutan yang ada di wilayahnya.
Akan tetapi Pemprov NAD juga harus melihat dan mendengarkan aspirasi masyarakat yang menginginkan konservasi hutan di Aceh terus dijaga.
Di dalam penyusunan RTWRP ini, apabila menyangkut kawasan hutan, maka Kemenhut akan memberikan persetujuan setelah menerima laporan dari Tim Terpadu. Tim terpadu dibentuk, yang terdiri dari para pakar dan LSM.
Oleh karena itu, tim terpadu sebaiknya bekerja kembali merevisi RTRW yang tidak mengganggu hutan alam karena komitmen dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat jelas untuk menyelamatkan hutan alam.
Presiden menyatakan bahwa hutan dan keanekaragaman hayati Indonesia harus dijaga untuk kehidupan anak cucu kita nanti. (*)
* Nur R Fajar adalah Deputi Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim