Mukhtar Luthfi di Pengasingan Boven Digoel

id Mukhtar Luthfi di Pengasingan Boven Digoel

Mukhtar Luthfi di Pengasingan Boven Digoel

Mukhtar Luthfi

Nasionalis dan Radikal Sosok Mukhtar Luthfi terpengaruh ide-ide nasionalis dan radikal didigoelkan dengan SK No. 15 tanggal 19 Juli 1934. Ia adalah seorang tokoh terkemuka Permi di Sumatera Barat. Pendidikan keagamaan diperolehnya di Kairo, Mesir. Selama di Mesir, Mukhtar Luthfi dan seorang rekannya, Iljas Jakub yang kemudian didigoelkan. Di bawah bendera Permi dan kawan-kawan lebih menitikberatkan perjuangan organisasinya kepada perjuangan politiknya dalam menentang penjajahan. Perjuangan tersebut ditempuh melalui penyelenggaraan kursus-kursus, sekolah-sekolah, dan pidato di depan umum. Bersama dengan Iljas Jakup, ia memimpin Islamic College di Padang. Tujuan perguruan yang memiliki 13 cabang dengan sejumlah murid yang tersebar di Sumatera Barat itu adalah untuk mendidik kader. Mukhtar Luthfi dinilai banyak kawannya di Permi, piawai berpidato. Rupanya pidato-pidato politiknya itulah yang kemudian menyeretnya ke kepengasingan di belantara Digoel. Permi yang dipimpinnya dibubarkan tahun 1942. Eksplorasi Digoel Mengutip dari buku yang ditulis Purnama Suwardi, SE (putera Selayo-Solok, Mantan Direktur TVRI Sumbar dan Kini Manajer Pemberitaan TVRI Pusat) yang berjudul Koloni Pengucilan Boven Digoel. Merujuk pada buku tersebut rencana Humas Setdako Padang Panjang akan mendokumentasikan dengan format film dokumenter dengan maksud lintas generasi tidak kehilangan sejarahnya. Dalam buku Koloni Pengucilan Digoel itu banyak hal mengupas seputar keberadan Digoel, para tawanan dan penderitaannya. Memasuki abad ke 20, Boven Digoel atau Digoelitas yang terletak sekitar 300 km memudiki Sungai Digoel, tetapi merupakan daerah terpencil dan berbahaya. Daerah tersebut di huni oleh berbagai suku, mulai dari suku Muyu hingga suku Kaya-Kaya yang masih memiliki kebiasaan mengayau atau memenggal kepala manusia. Bahkan sampai pada permulaan abad ke -20 kawasan sepanjang tepian Sungai Digoel memang dihuni berbagai suku yang primitif. Nama Digoel sendiri berasal dari kata Dugu yang dalam bahasa suku Maring berarti sungai di tengah hutan rimba yang berawa-rawa. Daerah yang berawa-rawa sangat sulit ditempuh, selain ditutupi hutan belantara, daerah yang terletak di tepian Sungai Digoel juga terkenal dengan buaya serta nyamuk malaria yang mematikan. Secara geografis, Daerah Boven Digoel terletak di Kecamatan Mandobo, Kabupaten Merauke, Papua. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, secara administratif Papua masuk dalam Keresidenan Maluku sesuai dengan keputusan Gubernur Timur Besar. Khusus kawasan Selatan Papua, Zuid Nieuw Guinea, sejak tahun 1902 diputuskan pemerintah Belanda menjadi satu afdeling tersendiri, tapi kemudin daerah itu dihapus dan dipersempit dengan membentuk onderafdeling yang masing-masing dipimpin oleh seorang controleur dan di bawahnya berada apa yang disebut beusterresort di Boven Digoel dan empat bestuurresort di Merauke. Eksplorasi pertama pertama atas Daerah Boven Digoel dilakukan pada tahun 1905, ketika Sungai Digoel diarungi oleh kapal uap Valk dengan menempuh jarak 540 dari kilkometer dari muara sungai. Eksplorasi tersebut tercatat mencapai suatu daerah yang terletak sekitar 30 kilometer dari hilir sungai yang kemudian dinamai Tanah Tinggi. Penjara Digoel dan Orang Buangan Selain membangun pos Tanah Merah, Kapt L.Th. Becking juga melakukan ekspedisi menyusuri beberapa sungai di Wilayah Selatan Papua. Sungai-ungai itu diantaranya Sungai Mandobo,Sungai Kau, Sungai Muyu, Sungai Birin dan anak Sungai Alice di wilayah Papua Timur. Bersandar kepada laporan hasil ekspedisi tersebut, kolonial Belanda sampai pada satu ketetapan yaitu menjadikan pos Tanah Merah sebagai pusat koloni isolasi bagi para pemberontak. Pembukaan Boven Digoel dengan Ibu Kotanya Tanah Merah sebagai koloni isolasi atau pengucilan yang dimaksud adalah antara lain: Menyembuntikan sekaligus mengasingkan para pejuang agar mereka tidak lagi menyuarakan gagasan-gagasan perlawanan mereka; Menjauhkan pengaruh para pejuang dengan terhadap rakyat; Memutuskan kontak politik para pejuang, baik kontak politik dalam negeri maupun luar negeri; Mematahkan semangat perlawanan terhadap kolonial Belanda melalui pengucilan total yang meruntuhkan moral para pejuang. Tokoh nasional yang sangat fenomenal pernah didigoelkan adalah Mohammad Hatta atau Bung Hatta selama satu tahun yaitu periode 1935-1936, juga bersamaan penahanannya dengan Soetan Syahrir, kelahiran Padang Panjang, 5 Maret 1909 di Padang Panjang. Derita Hidup Para Digoelis Gambaran yang memprihatinkan kondisi yang dialami para digoelis setidaknya tercermin dari surat seorang digoelis kepada Bung Hatta yang intinya menyebutkan bahwa Digoel tidak lagi sebuah tempat. Kematian terus menerus tersenyum kepada kami. Ia menjadi timbunan penderita paru-paru dan penderita malaria, penderita sakit jiwa dan setengah gila, di bawah panas menyengat khatulistiwa yang tak kenal ampun, dikelilingi rawa-rawa yang tak sehat di tengah-tengah hutan belantara yang bisa ditembus. Gambaran yang ditulis dalam buku itu sama halnya yang diceritakan Husna, kakak sulungnya, Azmi Luthfi menderita demam tinggi hingga sampai meninggal di Digoel. Hari-hari yang dijalani selama pengasingan itu dilalui dengan penderitaan yang tak berkesudahan. Penyakit malaria adalah serangan yang paling mematikan, nyaris tak ada yang sembuh jika telah berurusan jika telah kena erangan malaria. [***] Penulis adalah Kasubag Media Penerangan Humas Setdako Padang Panjang