Sosok yang Hanya Dikenal Sebagai Nama Jalan dan Swalayan

id Sosok yang Hanya Dikenal Sebagai Nama Jalan dan Swalayan

Sosok yang Hanya Dikenal Sebagai Nama Jalan dan Swalayan

Adinegoro bersama Presiden Soekarno (http://www.iisg.nl/collections)

"Adinegoro, siapa tuh?". Ah, Adi Nugroho kali, Mas, kata Asih Yulistia, salah seorang pelajar SMK di Padang. Kalau Adi Nugroho, saya tahu. Presenter ganteng yang suka nongol di TV itu kan , celoteh Asih menanggapi pertanyaan wartawan antara-sumbar.com beberapa waktu lalu tentang seorang tokoh pers, Adinegoro. Bagi insan pers, mungkin jawaban yang dilontarkan gadis manis berseragam putih abu-abu itu akan membuatnya mengurut dada atau tersenyum miris. Insan pers, khususnya di Sumbar pasti tahu benar siapa itu Adinegoro. Pria yang memiliki nama lengkap Djamaluddin Datuk Maradjo Sutan adalah putra Talawi, Sawahlunto. Ia mempunyai peran penting dalam dunia jurnalistik di Indonesia sejak mengenyam pendidikan kewartawanan di Munchen (Jerman) dan Amsterdam (Belanda) sebelum kembali ke tanah air tahun 1931. Sesampai di tanah air, Adinegoro sendiri langsung mengemban amanah untuk menjadi Pemimpin Redaksi Panji Poestaka untuk kemudian memimpin surat kabar Pewarta Deli dan sejumlah media cetak lain, seperti, Kita Sumatra Shimbun di Medan, dan Kedaulatan Rakyat hingga akhirnya wafat di Jakarta 8 Januari 1967. (http://pwi.or.id/index.php/Berita-PWI) Bagi republik dan PWI yang hari ini(9 Februari), genap berusia 63 tahun, sosok Adinegoro adalah salah satu sosok yang sangat dihargai. Setiap tahun, PWI selalu memberikan penghargaan bagi pewarta brilian di Indonesia berupa Anugerah Jurnalistik Adinegoro. Di sejumlah daerah, nama Adinegoro-pun diabadikan sebagai nama jalan, termasuk Kota Padang. Untungnya, namanya yang disematkan pada nama jalan itu cukup 'ampuh' untuk sekedar memberitahu nama Adinegoro, bukan sosok seorang Adinegoro. Sejumlah pelajar yang ditemui antara-sumbar.com ternyata memang tahu dengan nama jalan Adinegoro, --jalan yang terbentang di pintu masuk Padang dari sisi utara hingga 9 Km ke arah Selatan--, tapi tak mengenal siapa itu Adinegoro. Defryanda Asfar, siswa kelas 3 IPA 4 SMA 1 Padang ini mengaku tidak mengenal sosok Adinegoro selain nama jalan. Sama dengan Defryanda, Cakra, siswa kelas 3 jusrusan IPS dari SMA Adabiah juga memberikan penjelasan yang sama saat ditanya tentang Adinegoro. Berbeda dengan yang lainnya, YB. Tito(18) siswa kelas 3 Madrasah Aliyah Tarbiyah Islamiah, Batang Kabung, Padang malah memberikan jawaban tidak biasa. Selain nama jalan, Adinegoro juga merupakan nama swalayan. Saya tahu kok, kata Tito dengan PD(percaya diri). Munculnya nama Adinegoro sebagai nama jalan bukan merupakan hal yang kebetulan belaka. Menurut Is Sikumbang pada, http://urangminang.wordpress.com/2008/01/17/adinegoro/, Pada suatu hari, di tahun 1985 menjelang HUT PWI ke-39, dirinya yang waktu itu Ketua PWI Cabang Sumatera Barat, akan meresmikan pemberian nama gedung PWI Sumatra Barat sekarang dengan nama Balai Wartawan Djamaluddin Adinegoro. Putra Beliau, Adiwarsita Adinegoro telah berjanji akan hadir pada upacara peresmian nama Balai Wartawan Padang tersebut dengan nama ayahnya. Sementara pihak kemenakannya di Talawi (menurut garis ibu) juga telah mengizinkan pemakaian nama pamannya itu yang akrab dipanggilnya dengan Om Djamal. Pada waktu itu, bukan Balai Wartawan Padang saja yang diberi nama Adinegoro, tapi juga nama-nama jalan di Sumatra Barat. Selaku Ketua PWI Cabang Sumatra Barat Is menulis surat kepada Walikota Padang, H. Syahrul Udjud, SH, Walikota Bukittinggi, Drs. Umar Gafar dan Bupati KDH Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, H, Noer Bahri Said Pamuncak (Alm) berikut kepada masing-masing Ketua DPRD-nya yang meminta kiranya Pemerintah Daerah yang bersangkutan berkenan memberi nama salah satu jalan di kota atau di wilayahnya dengan nama Djamaluddin Adinegoro. Ternyata permohonan atau permintaan PWI Sumbar tersebut mendapat sambutan hangat dari ketiga Pemda yang tersebut di atas. Pada masing-masing nama jalan tersebut, kami ikut meresmikannya bersama Gubernur Sumbar, H. Azwar Anas Dt. Rajo Sulema Dari respon pemerintah(saat itu), jika dilihat saat ini, mungkin pesan yang ingin mereka sampaikan sepertinya belum kesampaian. Memprihatinkan. Kira-kira itulah perasaan yang akan kita dapat bila mendengar jawaban si siswa akan sosok Adinegoro tadi jika dibandingkan dengan respon pemerintah(saat itu). Tak satupun dari siswa tadi yang mengetahui siapa itu Adinegoro. Mereka hanya mengenal nama Adinegoro itu lebih sebagai nama jalan atau swalayan. Kondisi ini mungkin bisa dimaklumi karena sosialisasi akan Adinegoro itu sendiri sangat minim. Dilihat di buku-buku sejarah pendidikan, di tingkat dasar maupun menengah, nama Adinegoro nyaris 'tenggelam'. Namun, bagi Ketua PWI Sumbar, Basril Basyar hal ini seharusnya menjadi tantangan bagi pelajar Sumbar untuk giat mencari sejarah di negeri ini, khususnya bagi sosok-sosok besar kelahiran Sumbar. Kata BB--sapaan akrab Basril Basyar oleh rekan-rekan seangkatannya, Adinegoro yang lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat pada 14 Agustus 1904 merupakan tokoh yang harus dibesarkan oleh pers sendiri, baik melalui tulisan, maupun produk pers lainnya. Sejauh ini memang masih ada pers yang memperhatikan sosok seperti Adinegoro, tapi tak terlalu banyak. Kami selaku organisasi tempat berhimpun wartawan, mengaku salut bagi media yang mengangkat kembali sosok Adinegoro itu. "Dari PWI sendiri, kami akan menggelar sejumlah kegiatan untuk mengenang pahlawan pers, khususnya sosok Adinegoro,"kata pria yang juga dosen di Fakultas Peternakan Universitas Andalas ini. Sebenarnya, Adinegoro yang tahun 1974 lalu, diberi penghargaan dan ditetapkan sebagai PERINTIS PERS INDONESIA bisa menjadi motivasi bagi wartawan Sumbar dengan kerap meluangkan waktunya untuk menulis, apakah itu tentang Adinegoro sendiri atau hal lain. Tiap tahun PWI selalu memberikan anugerah kepada wartawan yang mampu membuat sebuah tulisan yang bernas berupa Anugerah Jurnalistik Adinegoro. Sayangnya, hingga saat ini, baru seorang wartawan Sumbar yang memperoleh penghargaan itu, yakni Khairul Jasmi yang kini Pemred Harian Singgalang. Saat itu, KJ--sapaan akrabnya--, masih bertugas sebagai koresponden Harian Republika untuk Sumatera Barat. "Waktu itu, ambo manulih se nyo. Ndak ado pangana ambo ka mandapek (anugerah) adinegoro tu do. Ado duo puluah tulisan yang ambo kirimkan waktu tu. Tapi nan manang, tulisan nan ndak ambo sangko sabalumnya. Ambo hanyo manulih se waktu tu nyo (Saat itu saya hanya menulis. Tidak ada bayangan akan mendapat (anugerah) Adinegoro itu. Ada 20 tulisan yang saya kirimkan. Tapi yang menang adalah tulisan yang tidak saya kira sebelumnya. Saya hanya (suka) menulis saja saat itu," kata KJ yang tak lagi ingat judul tulisan yang ia menangkan tahun 2004 itu. Di tanah kelahirannya sendiri, nama Adinegoro juga tak banyak dikenal karena Adinegoro muda, lebih banyak berkiprah di rantau. Namun, nama lengkapnya Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan lebih dikenal di kampungnya. Welmar(74) tokoh masyarakat Talawi menyebutkan sejak 1926, Adinegoro memutuskan untuk berlayar dengan kapal laut menuju Berlin, Jerman. Di negeri 'Hitler' itu, adik Muhammad Yamin ini memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitiknya hingga tahun 1930 dan tak lagi kembali ke kampung halamannya. Di tanah kelahirannya, lanjut Welmar, Adinegoro tidak terlalu banyak dikenal, sebab Adinegoro lebih banyak berbuat dan berjuang di Pulau Jawa. "Saat ini keluarga Adinegoro sudah menetap di Jalan Banyumas No 1, Jakarta Pusat," tambahnya. Ibnu Hajar (85), tokoh masyarakat Talawi Sawahlunto kepada antara-sumbar.com Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib putra Talawi seorang Asisten Demang Belanda kala itu, dan ibunya bernama Sadarijah, istri ketiga Usman, sebagai ibu rumah tangga. Adinegoro yang lahir 14 Agustus 1904 memiliki seorang istri bernama Alidas yang berdarah Sulit Air Solok. Mungkin banyak yang bertanya, kenapa seorang Djamaluddin harus berganti nama menjadi Adinegoro. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Adinegoro, ia terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di STOVIA, Jakarta, ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.(***)