Tepuk tangan yang sangat tidak lazim tiba-tiba terdengar di salah satu ruangan di perkantoran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Jumat (22/2).
Adakah lelucon yang membuat puluhan wartawan bertepuk tangan dengan sangat meriah itu?.
Suasana hiruk-pikuk itu muncul setelah Juru Bicara KPK Johan Budi mengumumkan bahwa mantan anggota DPR Anas Urbaningrum yang sekarang lebih dikenal sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat ditetapkan sebagai tersangka terkait pembangunan proyek olah raga di Hambalang, Bogor, yang nilainya tidak kurang dari Rp2,5 triliun.
Kasus ini menjadi sorotan hampir semua kalangan masyarakat di Tanah Air karena berbagai hal antara lain karena Anas adalah ketua umum sebuah partai politik yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono. Sementara itu, putra kedua pasangan ini, Edhie Baskoro menjadi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat.
Selain itu, ada ucapan Anas yang pernah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh para pengamat politik dan juga masyarakat. "Gantung Anas di Monas kalau terbukti korupsi," kata Anas.
Ucapan seperti itu seolah-olah bisa meyakinkan masyarakat bahwa dirinya sama sekali tidak bersalah dalam kasus ini yang juga telah mengakibatkan jatuhnya Andi Alfian Mallarangeng sebagai Menteri Pemuda Olahraga.
Jika Anas di satu pihak terus dengan cara meyakinkan tampil sebagai orang yang tidak berdosa atau bersih, maka di lain pihak KPK sebagai lembaga antikorupsi terus melakukan penyelidikan untuk mencari bukti tentang ada tidaknya bukti keterlibatan Anas dalam pembangunan proyek tahun jamak (multi years) tersebut.
Akibat ketidakjelasan ini, tiba-tiba muncul atau beredar surat perintah penyidikan (sprindik) buatan KPK terhadap Anas, sehingga kemudian muncul anggapan atau tuduhan bahwa ada pimpinan KPK yang sengaja membocorkan sprindik tersebut.
Sorotan terhadap kasus Anas ini juga muncul, karena sampai saat ini masih saja terjadi kelompok- kelompok di kalangan elit Partai Demokrat. Akibatnya, ada klaim bahwa Anas didukung oleh 28 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat, sehingga tidak mungkin Anas bisa digusur.
Karena itulah, Yudhoyono yang merupakan Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Pembina baru-baru ini menyelenggarakan rapat pimpinan nasional di Jakarta untuk menenangkan suasana apalagi pada tahun 2014 akan berlangsung pemilihan umum, yang akan diawali dengan penetapan ratusan atau bahkan ribuan caleg dari partai ini mulai dari DPR hingga DPRD.
Semula menjelang rapimnas ini, banyak orang yang sudah membayangkan bahwa Anas akan "dijatuhkan atau digusur" dari posisinya yang sangat terhormat itu oleh SBY. Namun ternyata SBY yang juga merupakan Presiden Republik Indonesia itu tidak menempuh cara ekstrim. Namun ternyata, sang pendiri partai ini untuk kesekian kalinya menunjukkan kepiawaiannya atau kehebatannya.
Yudhoyono dalam rapimnas yang berlangsung tertutup ini justru memerintahkan atau mengeluarkan sabdanya agar semua jajaran Partai Demokrat untuk "tiarap" atau bertindak "sunyi senyap". Perintah itu dikeluarkan antara lain karena begitu banyak tokoh yang mengeluarkan pernyataan baik yang bersifat pro maupun kontra terhadap Anas yang akhirnya mengakibatkan suara Partai Demokrat menjadi semakin "jeblok" atau anjlok.
Perintah bertindak "sunyi senyap" ini dikeluarkan SBY antara lain karena dia telah mengimbau KPK untuk segera menyelesaikan kasus Hambalang ini. Ternyata permintaan terhadap KPK ini tidak sia-sia atau percuma karena akhirnya muncul surat keputusan KPK tentang status tersangka terhadap Anas Urbaningrum alias AU.
Sang pengganti
Karena KPK sudah menetapkan Anas sebagai salah seorang tersangka kasus Hambalang, maka pertanyaannya adalah apa yang bakal terjadi pada partai ini? Anas langsung mundur, tetapi siapa penggantinya dan apakah semua anak buahnya bakal digusur total oleh ketua umum yang baru?.
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Achmad Mubarok pada Sabtu pagi telah berusaha mengeluarkan analisisnya.
"Apa pun yang dikatakan SBY akan diikuti jajaran Partai Demokrat," kata Mubarok sambil menepis kemungkinan dirinya akan menduduki posisi ketua umum menggantikan Anas, karena usianya yang tidak memungkinkan lagi.
Jika rapimnas lalu masih tidak menggoyahkan posisi Anas, bagaimana caranya mencari nakhoda yang baru Partai Demokrat ini?.
"Hanya dalam waktu satu minggu bisa dilakukan kongres luar biasa (KLB), apalagi cukup dilakukan lewat SMS." kata Mubarok ketika menjelaskan peluang penyelenggaraan bagi KLB tersebut.
Jika ada KLB maka pertanyaan yang berikutnya adalah siapakah yang bakal tampil sebagai pengganti Anas?
Yang pasti adalah pemimpin baru itu haruslah orang yang benar-benar dekat dengan sang pendiri partai, Yudhoyono atau sebaliknya SBY harus betul-betul mengenal baik "anak buahnya" yang baru itu. Ternyata sampai sekarang sudah ada beberapa nama yang beredar.
Yang pertama adalah istrinya sendiri, yakni Ani Yudhoyono. Sebagai salah satu pendiri, maka Ani yang merupakan putri Letnan Jenderal Almarhum Sarwo Edhi Wibowo tentu sudah mengetahui secara mendalam sejarah serta pasang surutnya partai ini. Ani pasti mengenal baik buruknya hampir semua tokoh atau elit partai ini. Namun pertanyaannya adalah apakah bijaksana jika Ani sebagai istri Presiden menjadi ketua umum?
Nama kedua yang kini kerap tampil adalah Pramono Edhi Wibowo, seorang jenderal yang masih menjadi Kepala Staf Tentara Nasional Angkatan Darat atau TNI AD. Pramono dikabarkan akan pensiun sebagai seorang prajurit pada bulan Maret 2013, beberapa hari lagi. Dan jangan lupa adalah Pramono merupakan adik kandung Ani sehingga merupakan ipar Yudhoyono, sehingga tentu SBY sudah mengenal secara mendalam karakter Pramono.
Orang ketiga yang santer disebut adalah sang Sekjen Edhie Baskoro yang tentu sudah dikenal SBY secara luar dalamnya, sepak terjangnya.
Kalau selama ini disebut-sebut 28 DPD menjadi pendukung penuh Anas, maka pertanyaannya adalah apakah para ketua DPD ini masih akan berani membela mati-matian Anas yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan terkena cekal atau cegah tangkal oleh Kementerian Hukum dan HAM?
Bagaimanapun juga SBY masih merupakan Presiden dan tentu SBY tidak ragu mendepak atau menyingkirkan para ketua DPD yang tetap bersikeras membela mati-matian Anas.
Khusus mengenai Anas yang dengan "gagah beraninya" menyatakan siap digantung di Monas, maka pernyataan yang dilontarkan ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua tokoh masyarakat. Janganlah mentang-mentang seseorang sedang menjadi pemimpin negara atau tokoh politik maka kemudian dengan nada jumawa atau sombong berbicara semaunya di depan umum.
Jabatan hanyalah sebuah amanah dari Yang Maha Kuasa dan juga rakyat dan kalau sudah begini masih adakah orang atau tokoh masyarakat berani membela Anas dengan mati-matian? (*)